Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts Today

Antropolog: Masyarakat Lokal Belum Arif terhadap Alam

Written By Unknown on Rabu, 31 Oktober 2012 | 12.40

Antropolog: Masyarakat Lokal Belum Arif terhadap Alam

Rabu, 31 Oktober 2012 | 00:42 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Masyarakat lokal Indonesia belum arif terhadap alam, karena masih mengeksploitasi alam, kata antropolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Pujo Semedi Hargo Yuwono.

"Jadi, pandangan publik tentang masyarakat adat atau lokal yang secara arif mengelola hutan atau lingkungan sekitarnya tidak sepenuhnya benar," katanya dalam orasi bertema "Wawasan Kebangsaan dan Kearifan Lokal" di Yogyakarta, Selasa.

Menurut Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, studi atau kajian antropologi menunjukkan bahwa dari zaman ke zaman, manusia terus mengeksploitasi alam secara besar-besaran, bahkan melampaui daya dukung alam.

"Ide menggabungkan nilai kearifan lokal dengan wawasan kebangsaan dalam praktik pembangunan dan pengelolaan lingkungan merupakan gagasan yang bagus. Namun, masyarakat lokal masih belum sepenuhnya bersikap arif terhadap lingkungan," katanya.

Misalnya, masyarakat suku Dayak Punan di Kalimantan Barat, yang hidup dari berburu dan meramu sehingga menyebabkan habisnya sumber daya fauna di sekitarnya. Di daerah itu saat ini tidak pernah terdengar lagi kicauan burung-burung atau hewan yang terlihat karena habis diburu.

Ia mengatakan Indonesia tidak memiliki kearifan lokal yang benar-benar dianggap lokal. Kearifan lokal yang dimiliki berasal dari konstruksi global.

"Kearifan lokal itu memang ada di setiap daerah di Indonesia, tetapi jangan dipuja-puja sebagai sesuatu yang lokal. Adat istiadat Indonesia itu tidak ada yang betul-betul asli, tetapi berasal dari konstruksi global," katanya.

Contohnya, masyarakat Jawa menganggap alat musik gamelan adalah seni tradisi asli dari Jawa. Namun, alat musik itu juga dapat dijumpai di negara lain seperti Thailand dan Vietnam.

"Begitu pula kearifan lokal yang ada di masyarakat Papua bisa ditemukan di Afrika dan Selandia Baru. Jadi, jangan diimajinasikan kearifan lokal yang ada itu benar-benar lokal," kata Pujo.


12.40 | 0 komentar | Read More

Indonesia Belum Optimal Catat Warisan Budaya

DENPASAR, KOMPAS.com--Antropolog Universitas Indonesia Dr Yophie Septiady mengatakan, Indonesia dinilai belum optimal melakukan pencatatan terhadap warisan budaya tak benda.

"Hal ini sangat memprihatinkan, karena Indonesia sangat kaya dengan warisan budaya tak benda, di antaranya tradisi adat istiadat, cerita rakyat, praktek agama dan kesenian," kata Yophie saat acara "Sosialisasi Pencatatan Warisan Budaya Tak Benda" di Denpasar, Selasa.

Ia mengatakan, kelemahan yang paling mendasar adalah dimana warga Indonesia menganggap semua warisan budaya tak benda tersebut sebagai satu hal yang biasa-biasa saja, tanpa makna berarti, apalagi mau dipelajari dan diteliti.

"Banyak kekayaan warisan budaya tak benda di Tanah Air yang hingga saat ini belum bisa dicatat karena berbagai penyebab. Selain orang Indonesia sendiri menganggap hal-hal seperti itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja," ujarnya.

Selain itu, kata dia, masyarakat Indonesia yang tidak mengetahui akar budaya dari warisan budaya tak benda tersebut.

"Mengetahui akar budaya itu sangat penting karena bisa menjadi landasan bagi Indonesia soal kepemilikan dan bisa dijelaskan bila terjadi pengklaiman dari pihak-pihak yang tak bertanggung jawab," ujarnya.

Yophie menilai, hingga saat ini proses pencatatan belum terintegrasi dengan baik dan masih banyak muatan kepentingan dan politik lainnya.

Kepala Sub Direktorat Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan mengatakan,saat ini baru sekitar 2.108 warisan budaya tak benda yang sudah dicatat.

"Masih ada ribuan warisan budaya tak benda lainnya yang belum dicatat karena berbagai faktor. Salah satunya adalah tidak bisa diterjemahkan ke dalam konsep ilmiah karena terputusnya informasi dan sejarah yang minim," ujarnya.

Ia mengatakan, kegiatan pencatatan ini bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah,  tetapi tanggung jawab semua pihak mulai dari masyarakat, LSM, pemerhati budaya, akademisi dan sebagainya.

Saat ini, kata dia, pemerintah sedang mengusahakan pembangunan rumah budaya di seluruh provinsi sebagai ruang ekspresi budaya terutama budaya tak benda.

Selain itu pemerintah juga akan terus melakukan sosialisasi ke seluruh daerah di Indonesia tentang argumentasi dan pentingnya pencatatan warisan budaya tak benda, prosedur pencatatan, serta berbagai aktualisasi lainnya.

"Kami akan terus melakukan sosialisasi ke daerah-daerah, sehingga budaya tersebut tidak sampai punah ditengah era globalisasi," katanya.


12.40 | 0 komentar | Read More

Banjir di Cibaresah

Written By Unknown on Selasa, 30 Oktober 2012 | 12.40

OLEH ABA MARDJANI

Maksum menguap sebelum matanya menguak di pagi lembab. Sendirian di pos jaga desa Cibaresah pada hari kesekian belas, laki-laki setengah baya itu buru-buru menarik kain sarungnya, melindungi tubuhnya dari dingin pagi yang basah.

Sesaat kemudian, ia memaksakan diri bangkit, menyibak air banjir yang tak kunjung surut untuk berwudu. Ia ingat, belum mengerjakan shalat subuh.

Maksum bersedekap setelah menyelesaikan kewajiban paginya. Gubuk kecil berupa panggung yang kini ditempatinya masih dikepung air. Sejauh mata memandang, Maksum belum menemukan tanda-tanda kehidupan. Orang-orang masih malas keluar rumah, pikirnya. Orang-orang lebih suka mengungkung diri di dalam rumah. Bercanda dengan anak dan bini. "Sementara aku sendirian di sini," Maksum melenguh dalam hati seraya meraba saku celana mencari bungkus rokoknya.

Tapi, dia tak lagi menemukannya. Ia menyerapahi Kasdul yang kini entah berada di mana. Kasdul, satu-satunya kawan yang setia menemaninya di pos jaga dipastikannya membawa beberapa batang rokok tersisa sebelum keduanya terlelap bersama kecipak air. Diingatnya Kasdul buru-buru pergi sebelum terdengar suara azan subuh. Meninggalkannya sendirian.

Matahari mulai menampakkan sinarnya bersama waktu yang beringsut siang begitu lambat dirasakan Maksum. Laki-laki itu menatap genangan air yang tak juga surut. Tingginya tetap selutut. Banjir ini datang perlahan-lahan bersama deras hujan entah berapa belas hari lalu. Meskipun hujan tak turun setiap hari, tinggi air setiap hari justru bertambah. Pada hari pertama cuma semata kaki. Keesokan harinya naik dua kali lipat. Hari-hari berikutnya, tanpa hujan pun air tetap tak surut. Bertambah dan bertambah hingga melewati lutut orang dewasa. Kini, Maksum tak ingat lagi sudah berapa belas hari Cibaresah direndam air.

"Mungkin karena makin banyak vila berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai makin menyempit," Maksum menggumam. "Orang-orang makin tak peduli pada ruang untuk air."

Maksum berdiri. Meregang tubuh. Otot-ototnya terasa kaku karena tak banyak bergerak. Ia ingin setiap hari meninggalkan pos jaga itu dan pulang ke rumahnya seperti sebelum banjir datang. Tapi ia mengurungkan niat karena tahu takkan menemukan siapa-siapa lagi di sana. Istrinya yang usianya terpaut hampir 12 tahun darinya, raib entah ke mana. Ada yang bilang Raisah dibawa seekor buaya yang naik ke daratan pada hari ketiga banjir melanda Cibaresah. Lalu Sawiyah, putrinya yang baru berusia 15 tahun, juga mengalami hal yang sama seperti ibunya, dibawa buaya dua hari berikutnya. Maka lengkaplah derita Maksum. Ia pernah menangis untuk dua orang yang amat dicintainya itu, namun tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi, nasib yang sama juga dialami laki-laki lain di desanya. Banyak wanita muda, para janda, dan gadis-gadis muda hilang entah ke mana. Kabarnya, pada malam hari, banyak buaya masuk kampung yang tengah dilanda banjir dan mencari korban perempuan. Dua anak perempuan dan istri Kasdul juga mengalami peristiwa yang sama. Dan seperti Maksum, Kasdul pun cuma bisa pasrah.

"Buaya-buaya itu seperti punya otak," keluh Kasdul semalam ketika ia dan Maksum kembali berjaga berdua di pos jaga. "Aneh, mereka cuma mengambil perempuan. Muda, cantik."

Maksum tak bersuara. Larut dalam kenangan duka pada Raisah dan Sawiyah.

"Banjir inilah awal petakanya," Kasdul menyeringai menahan geram.

Matahari makin naik ketika Maksum menyudahi olahraga ringannya di atas pos jaga. Di hari sesiang ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia juga belum melihat tanda-tanda kehidupan di desanya. Pintu-pintu rumah masih tetap terkatup rapat. Cibaresah jadi serupa desa mati tanpa penduduk dan penghuni. Atau apakah memang para penduduk Cibaresah semuanya telah mati? Lintasan pikiran itu membuat bulu kuduk Maksum tiba-tiba merinding seraya terus memutari pandangannya ke seluruh penjuru kampung. Memang tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, kecuali air yang deras mengalir ke hilir dengan ketinggian hampir setengah meter.

Maksum baru saja menyelesaikan shalat zuhurnya ketika dari kejauhan ia melihat Kasdul melangkah tertatih melawan arus air. "Ah, ternyata Kas masih ada," Maksum bergirang hati. "Aku belum benar-benar sendirian."

Dengan serapahnya Kasdul naik ke atas panggung pos jaga. Tak lupa ia menyerahkan sebungkus nasi untuk makan siang Maksum seperti biasanya. "Ke mana orang-orang, Kas?" Maksum langsung menyergap Kasdul dengan pertanyaan yang disimpannya sejak tadi. "Mengapa kampung kita jadi seperti kampung mati?" Pertanyaan itu entah sudah berapa kali diulangnya setiap hari.

Kasdul tak segera menjawab. Merebahkan tubuhnya seperti ingin melepas beban yang mengimpit. Ditariknya napas dalam-dalam.

"Kas?" Maksum memburu tanpa menghiraukan bungkus nasi yang dibawa Kasdul.

"Ternyata keadaannya makin gawat, Sum," menjawab Kasdul sambil mengeluarkan bungkus rokok dari saku bajunya.

"Maksudmu?" Maksum mematri pandangan pada wajah Kasdul yang masih rebah.

Kasdul bangkit, melepas napas beratnya.

"Orang-orang makin tak berani keluar rumah, Sum," suara Kasdul terdengar lemah, nyaris tenggelam oleh derak-derak air yang terus berebutan mengalir ke hilir.

"Apa sebabnya?"

"Banjir."

"Aku tahu."

"Banjir yang berlama-lama ini menjadi petaka besar bagi kampung kita, Sum. Yang mengancam keselamatan warga saat ini bukan cuma buaya yang pada malam hari mencari mangsa para perempuan," Kasdul berhenti sesaat. Maksum masih belum menyentuh makanannya. Ia lebih tertarik mendengar cerita Kasdul. Cerita yang tak selalu sampai ke telinganya karena ia lebih banyak berada di pos jaga di ujung kampung itu.

"Di pinggir-pinggir kampung, macan belang juga mulai berkeliaran mencari mangsa," Kasdul melanjutkan.

"Macan belang? Bukankah macan belang biasanya cuma ada di hutan-hutan?"

"Betul. Tapi entah mengapa, pada saat banjir seperti sekarang, macan-macan belang itu justru keluar mencari mangsa ke kampung-kampung. Juga pada malam hari. Macan-macan itu memangsa kambing-kambing, kerbau-kerbau, ayam-ayam, bahkan manusia pun disantapnya."

"Di belakang macan belang, selalu mengintil serigala, Sum. Dia menyantap serpih-serpih dan sisa makanan si macan belang," Kasdul melanjutkan.

Maksum terperangah. "Tapi, mengapa kita di sini tak pernah mendengarnya?"

Kasdul menghela napas. "Itu karena orang-orang takut bercerita. Mereka dilanda ketakutan. Ada yang bilang, warga yang mengadu soal hewannya yang hilang, esoknya dia sendiri yang hilang."

"Betul begitu, Kas?"

"Masih ada yang lainnya. Yang tak kalah menakutkan."

"Apa itu?"

"Ular."

"Ular?"

"Ya ular. Mengerikannya, banyak ular yang berkeliaran itu punya dua kepala. Dia menggigit, mematuk. Dan anehnya, orang yang digigitnya tidak langsung mati. Cuma badannya yang kurus kering."

Maksum bergidik. Matanya nyalang menyisir sisi-sisi pos jaganya. Ia khawatir ular berkepala dua yang diceritakan Kasdul tiba-tiba muncul dan mematuk kakinya.

"Kamu serius, Kas?" Maksum penasaran.

"Serius! Bahkan bukan cuma itu, Sum."

"Hah? Apa lagi, Kas?"

"Segala macam binatang mengancam kampung kita. Ada tomcat yang gigitannya bisa membuatmu meriang. Bahkan kupu-kupu pun kini sudah menggigit manusia."

"Kupu-kupu?" Maksum ternganga. Benar-benar ternganga.

"Kupu-kupunya aneh pula, Sum."

"Apa anehnya?"

"Yang digigit biasanya cuma laki-laki. Siapa pun yang digigitnya langsung hilang ingatan. Lupa diri. Gila. Tak ingat pulang. Pergi entah ke mana. Membiarkan anak dan istrinya di rumah."

"Kamu bergurau, Kas," Maksum menggumam.

"Tidak. Aku tidak sedang bercanda. Aku menceritakan yang sebenarnya."

"Lalu apa lagi, Kas?"

Mata Kasdul menerawang jauh menembus hamparan putih langit.

"Ada tikus, anjing, ulat, kecoa, cacing. Semuanya mengancam kita orang-orang kampung ini."

Maksum terdiam. Menunggu lanjutan cerita Kasdul.

"Tikus-tikus rakus mengerat makanan apa saja di kampung kita. Begitu juga anjing-anjingnya. Memakan apa saja yang bisa dimakan. Ulat-ulat menghabiskan dedaunan pohon, membuat pohon-pohon tersisa batang-batang. Kecoa juga ada di mana-mana. Kotorannya bertebar di mana-mana. Dan cacing-cacingnya, Sum...."

"Mengapa cacing-cacing itu, Kas?"

"Cacing-cacing itu masuk ke dalam rumah warga begitu saja. Mereka bisa menembus dinding papan, dinding batu. Mulut-mulut cacing itu seperti punya bor."

"Ah, kamu benar-benar bercanda, Kas," Maksum memotong tanpa mampu mengurangi debar-debar ketakutan dalam dadanya.

"Masih ada lainnya lagi, Sum."

Maksum menarik kain sarungnya seolah ingin melindungi dirinya dari serangan hewan-hewan yang barusan diceritakan Kasdul.

"Setan-setan," kata Kasdul melanjutkan tanpa diminta. "Pada malam hari, setan-setan gentayangan di kampung kita. Menakut-nakuti warga. Setan-setan itu seolah ingin kampung kita kosong. Mereka seolah ingin warga kampung kita pergi. Ke mana saja."

"Tapi, kenapa aku baru tahu sekarang, Kas?"

"Itu karena kau selalu berada di sini. Kau cuma menjaga kampung kita yang sebenarnya tak perlu dijaga."

"Apakah kau sudah tahu lama soal ini?"

Kasdul mengangguk.

"Tapi kenapa baru kau ceritakan sekarang?"

"Aku tak ingin kau ketakutan."

"Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita akan diam saja?"

Kasdul terdiam sesaat.

"Kita harus bertindak, Kas, untuk menyelamatkan kampung kita," suara Maksum mengusik lamunan Kasdul.

"Tidak bisa, Sum. Tidak bisa. Kita bisa ikut mati atau kurus kering seperti yang lain. Diri kita saat ini sama terancamnya dengan yang lain. Dari tengah desa, wabah akan terus menyebar hingga ke seluruh desa selama banjir tak juga surut."

"Lalu kita akan diam saja?" suara Maksum meninggi. Ia seolah menemukan keberaniannya kembali.

Kasdul tak segera menjawab.

"Sore ini juga kita harus pergi ke rumah kepala desa, Kas. Harus! Kita harus minta pertanggungjawaban Pak Kades. Dia harus bisa membebaskan kampung kita dari banjir yang tak kunjung surut. Dan dari segala hewan yang mengancam warga," Maksum nampak sangat bersemangat.

"Kau berani?"

"Demi kebaikan, kita harus berani. Kau dan aku harus melakukannya."

Melihat Maksum yang begitu bersemangat, Kasdul menyerah. Di rembang petang, kedua penjaga pos itu pun melangkah hati-hati menembus banjir yang masih selutut. Tujuan mereka cuma satu, rumah kepala desa.

Sepanjang perjalanan, Maksum dan Kasdul sama sekali tak menemukan warga desa. Pintu-pintu rumah masih tetap tertutup. Kehidupan sudah lama berlalu di desa itu rupanya. Keduanya juga tak tahu lagi apakah rumah-rumah itu masih berpenghuni atau sudah kosong ditinggalkan pemiliknya. Anak-anak yang di awal banjir asyik bermain air, kini tak lagi nampak. Para lelaki yang awalnya tetap melakukan kegiatan, kini raib entah ke mana. Para wanita yang pada mulanya juga masih bisa ditemukan melangkah tertatih di tengah-tengah banjir, sekarang sama sekali tak terlihat.

Setelah melangkah susah payah hampir dua puluh menit, Maksum dan Kasdul tiba di halaman depan rumah kepala desa yang juga tak luput dari sergapan banjir. Keduanya menghentikan langkah dan tak berani lebih mendekat begitu mendengar suara aum macan belang.

Dari kejauhan, Maksum dan Kasdul melihat macan belang itu berjongkok di depan pintu rumah kepala desa. Di jendela-jendela, serigala bertengger diam. Buaya-buaya besar berseliweran di sekeliling rumah besar itu bersama banyak sekali ular berkepala dua. Dinding-dindingnya penuh kecoa dan cacing. Sesekali terdengar lolong anjing dan dengus babi. Tikus-tikus nampak asyik bermain-main. Kupu-kupu beterbangan. Sebagian keluar masuk ke dalam rumah. Sesekali, berkelebat warna hitam setan-setan seolah mengancam siapa pun yang berani mendekati rumah itu.

Maksum dan Kasdul menahan gemetar.


12.40 | 0 komentar | Read More

Mendekatkan Kesenian dengan Ruang Publik

KOMPAS.com - Seorang lelaki tua berjalan terbungkuk-bungkuk sambil merintih sengsara. Ia menatap monumen patung para pejuang kemerdekaan di depan stasiun Senen. Ia mengelus monumen itu lalu mengeluarkan harmonica dari balik saku bajunya dan memainkannya.

Rupanya ia merasa menemukan ada mata air disitu. Namun sekejap dia tersadar. "Apakah ini mata air ? Ah kurasa tidak!" dengusnya keras.  Ia menghentakkan kakinya yang berat lalu meninggalkan monumen itu diam membisu.

Itulah penggalan adegan monolog yang diperankan Dadang Badoet dengan judul dehidrasi. Pentas di ruang terbuka itu berlangsung akhir pekan lalu di sekitar Stasiun Senen. Memerankan sosok orantua bungkuk, Dadang berinteraksi dengan benda-benda dan suasana di sekitar stasiun Senen.            

Pentas monolog di ruang terbuka ini menjadi bagian dari kegiatan Invitasi Teater yang diadakan oleh Federasi Teater Indonesia (FTI), 10 Oktober - 1 Desember mendatang. Invitasi Teater ini diadakan untuk menjaring bibit-bibit seniman teater dari seluruh Indonesia. Sistem penjaringan dilakukan di tingkat provinsi di 11 wilayah seleksi, antara lain Padang, Surabaya, Palu, Solo, Medan, Mataram, Makassar, Bandung, Balikpapan, Jakarta, dan lain-lain.

Seleksi akhir akan menjaring 11 kelompok teater terbaik dari 11 wilayah  dan akan dikompetisikan di tingkat nasional. Monolog di ruang public merupakan upaya yang dilakukan FTI untuk mendekatkan tontonan kepada masyarakat. Tantangan bagi seniman adalah bagaimana merespon ruang public menjadi sebuah produk seni yang menyatu dengan geliat situasi setempat.

"Cara ini dilakukan untuk membuka wawasan bagi para seniman bahwa pertunjukan teater tidak harus diadakan di dalam gedung. Masyarakat juga bisa menonton teater tanpa datang ke gedung pertunjukan," kata Zainal Abidin Domba, salah satu juri festival monolog.

Pentas di ruang public sebenarnya merupakan tradisi masyarakat Indonesia. Kita mengenal konsep alun-alun sebagai tempat berkumpul masyarakat dan menggelar tontonan. Pentas di ruang publik juga menjadi bagian dari ritual masyarakat seperti pesta setelah panen, persiapan tanam padi, upacara pernikahan, dan lain-lain.

Penulis dan penyair, Afrizal Malna, mengatakan, meski kesenian merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, namun pada kenyataannya posisi kesenian justru semakin jauh dari kehidupan masyarakatnya.

Dalam kegiatan di ruang publik, produk subkultur kota seperti gelar fashion atau produk iklan lebih banyak dilibatkan, sementara kesenian tersingkir. Ia menjadi jauh dari masyarakatnya.

"Kesenian dan publiknya menjadi jauh karena pemerintah tidak bisa menjembatani," ungkap Afrizal.  Monolog di ruang public merupakan jembatan bagi seni dan masyarakatnya. Subkultur bisa hidup dan diangkat terus karena ada modal dibalik itu.

Festival monolog itu diikuti 22 peserta dari berbagai daerah. Peserta diberi tantangan untuk merespon ruang public seperti stasiun kereta, jembatan, rumah sakit, terminal sebagai ide karyanya. Zuriati, peserta dari Padang mencoba mengangkat peristiwa yang pernah dialaminya sebagai penderita kanker payudara.

Di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Zuriati mencoba menyelami kembali masa-masa ia melewati masa pengobatan yang menekan psikologisnya. Ruang public merupakan laboratorium yang bisa dimanfaatkan seniman untuk mengeksplorasi ide.

Dalam menciptakan karya, para seniman sudah seharusnya turun langsung ke lapangan untuk menyelami geliat kehidupan karena disitulah terjadi pergumulan antara manusia dengan segala problematikanya.   (LUSIANA INDRIASARI)


12.40 | 0 komentar | Read More

Berharap Indonesia Menjadi Rumah Budaya Dunia

Written By Unknown on Senin, 29 Oktober 2012 | 12.40

YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Ada harapan sekaligus kecemasan menjadikan Indonesia tuan rumah diskusi budaya dunia di Bali tahun depan. Itulah yang sempat terlontar saat menyimak forum diskusi kebudayaan bertajuk "Grand Strategy Meeting" yang diselenggarakan di Hotel Inna Garuda Yogyakarta pada Sabtu, 27 Oktober 2012. Pernyataan tersebut disampaikan oleh budayawan Taufik Rahzen yang menjadi salah satu pembicara dalam forum tersebut.

Menurut Taufik, penyelenggaraan World Culture for Development Forum (WCF) – "Bali Forum" 2013 serta menjadikan Indonesia menjadi Rumah Budaya Dunia bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi juga bukan pekerjaan yang mustahil bisa dilaksanakan.

Taufik lalu menyebut, betapa beberapa kota semacam Roma, Paris, dan kota-kota besar dunia lainnya, melalui berbagai upaya untuk menjadikan negaranya sebagai Rumah Budaya Dunia, tidak terwujud sampai kini.

Namun, lanjut Taufik, di antara keterbatasan yang dimiliki, toh negeri Indonesia sebetulnya juga memiliki modal pengalaman menyelenggarakan peristiwa internasional. Menurut Taufi, jika menengok ke belakang, kita sebetulnya memiliki jejak rekam sebagai bangsa yang hebat, yang pernah menyelenggarakan peristiwa berkelas dunia seperti Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, serta peristiwa-peristiwa internasional lainnya. "Jadi, tidak ada alasan untuk kita berkecil hati, meski waktu yang disediakan tinggal setahun lagi," tutur Taufik.

Pada diskusi tersebut, Taufik juga memberi saran-saran, di antaranya, peserta karnafal yang akan menjadi puncak acara "temu budaya dunia" itu, sebaiknya diawali dengan karavan dari Aceh dan Papua yang akan bertemu di Bali. "Jadi seluruh masyarakat akan merasakan denyut peristiwa ini," imbuh Taufik.

Keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai "Rumah Budaya Dunia", bukan ide yang tiba-tiba. Setidaknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah melontarkan gagasan menyelenggarakan World Culture for Development Forum (WCF) pada tahun 2008. Demikian disampaikan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan Prof. Wiendu Nuryanti Phd saat memberikan sambutan dalam acara "Grand Strategy Meeting" tersebut.

Gagasan menjadi tuan rumah untuk dialog kebudayaan dunia, menurut Wiendu, merupakan prakarsa yang tepat, "Karena Indonesia memiliki potensi budaya yang hebat dan secara geografis sangat strategis. "Diharapkan, forum ini menjadi forum permanen yang dilaksanakan secara terus menerus, bisa dua tahun sekali, atau tiga tahun sekali. Kita ingin agenda pembangunan dunia lahir di Indonesia," tutur Wiendu. Selain itu, pemerintah juga berharap Indonesia melengkapi titik segitiga dari dua titik yang sudah ada, masing-masing Davos (Switzerland) dalam penyelenggaraan World Economic Forum (WEF) dan Rio de Janeiro (Brazil) dalam penyelenggaraan International Environment Forum (IEF).

Selanjutnya Wiendu mengungkap, melalui forum tersebut bisa didiskusikan isu-isu utama di bidang kebudayaan dalam rangka membangun hubungan yang harmonis antarbangsa, menilai keunikan dan keragaman kebudayaan, dan meningkatkan kemakmuran di kalangan komunitas global.

Selanjutnya, Wiendu juga berharap, melalui acara ini,  Indonesia bisa menjadi "Global Home for the International Cultural Agenda" untuk mendiskusikan isu-isu strategis dan merekomendasikan kebijakan-kebijakan bagi pembangunan kebudayaan yang berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan yang ada akan difokuskan pada pelestarian dan revitalisasi kebudayaan baik di tingkat nasional maupun lokal dalam rangka menghadapi globalisasi, dan memaksimalkan kontribusi budaya lokal bagi pembangunan peradaban dunia.

Kondisi dunia dirasa semakin dinamis dan terbuka seiring dengan adanya pola perjalanan dan perdagangan yang tidak lagi mengenal batas wilayah. Berbagai berita dunia menyebar luas dan cepat dapat dengan mudah diakses selama 24 jam setiap hari melalui  media massa dan jejaring sosial.  Kecenderungan  yang dikenal sebagai proses globalisasi ini memberikan tantangan sekaligus peluang.

Proses globalisasi dan berbagai tantangannya menuntut negara-negara di dunia untuk tidak membentengi dan melarikan diri dari berbagai dampaknya, namun lebih kepada memaksimalkan proses manajemen dampak tersebut sehingga seluruh bangsa di dunia dapat memperoleh manfaat dalam membangun sebuah dunia yang damai, adil dan bersahabat.

Sehubungan dengan itu, penting untuk dievaluasi peran strategis kebudayaan dalam menciptakan dan menguatkan persahabatan antarnegara; melalui saling menghargai perbedaan kebudayaan dan dalam upaya membangun kebijakan-kebijakan yang memungkinkan kebudayaan nasional dan lokal berkembang di era globalisasi, yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Mengevaluasi peran strategis kebudayaan dalam menciptakan dan menguatkan persahabatan antarnegara melalui hubungan kemasyarakatan; penghargaan terhadap perbedaan budaya; dan diskusi tentang bagaimana budaya nasional dan lokal dapat berkembang di era globalisasi.

Memulai/mengawali pertemuan tahunan di tingkat internasional guna mendiskusikan isu-isu utama di bidang kebudayaan dalam rangka membangun hubungan yang harmonis antarbangsa, menilai keunikan dan keragaman kebudayaan, dan meningkatkan kemakmuran di kalangan komunitas global.

Selanjutnya, dari event ini dapat diujudkan Indonesia sebagai "Global Home for the International Cultural Agenda" untuk mendiskusikan isu-isu strategis dan merekomendasikan kebijakan-kebijakan bagi pembangunan kebudayaan yang berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan yang ada akan difokuskan pada pelestarian dan revitalisasi kebudayaan baik di tingkat nasional maupun lokal dalam rangka menghadapi globalisasi, dan memaksimalkan kontribusi budaya lokal bagi pembangunan peradaban dunia.

Pelaksanaan World Culture for Development Forum (WCF) – "Bali Forum" 2013 akan mendorong usaha-usaha pelestarian kebudayaan Indonesia, yang meliputi upaya-upaya pelindungan, revitalisasi, dan pembangunan kebudayaan yang menyangkut bidang ekonomi, media, kepemudaan, gender, dan lingkungan.


12.40 | 0 komentar | Read More

Banjir di Cibaresah

OLEH ABA MARDJANI

Maksum menguap sebelum matanya menguak di pagi lembab. Sendirian di pos jaga desa Cibaresah pada hari kesekian belas, laki-laki setengah baya itu buru-buru menarik kain sarungnya, melindungi tubuhnya dari dingin pagi yang basah.

Sesaat kemudian, ia memaksakan diri bangkit, menyibak air banjir yang tak kunjung surut untuk berwudu. Ia ingat, belum mengerjakan shalat subuh.

Maksum bersedekap setelah menyelesaikan kewajiban paginya. Gubuk kecil berupa panggung yang kini ditempatinya masih dikepung air. Sejauh mata memandang, Maksum belum menemukan tanda-tanda kehidupan. Orang-orang masih malas keluar rumah, pikirnya. Orang-orang lebih suka mengungkung diri di dalam rumah. Bercanda dengan anak dan bini. "Sementara aku sendirian di sini," Maksum melenguh dalam hati seraya meraba saku celana mencari bungkus rokoknya.

Tapi, dia tak lagi menemukannya. Ia menyerapahi Kasdul yang kini entah berada di mana. Kasdul, satu-satunya kawan yang setia menemaninya di pos jaga dipastikannya membawa beberapa batang rokok tersisa sebelum keduanya terlelap bersama kecipak air. Diingatnya Kasdul buru-buru pergi sebelum terdengar suara azan subuh. Meninggalkannya sendirian.

Matahari mulai menampakkan sinarnya bersama waktu yang beringsut siang begitu lambat dirasakan Maksum. Laki-laki itu menatap genangan air yang tak juga surut. Tingginya tetap selutut. Banjir ini datang perlahan-lahan bersama deras hujan entah berapa belas hari lalu. Meskipun hujan tak turun setiap hari, tinggi air setiap hari justru bertambah. Pada hari pertama cuma semata kaki. Keesokan harinya naik dua kali lipat. Hari-hari berikutnya, tanpa hujan pun air tetap tak surut. Bertambah dan bertambah hingga melewati lutut orang dewasa. Kini, Maksum tak ingat lagi sudah berapa belas hari Cibaresah direndam air.

"Mungkin karena makin banyak vila berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai makin menyempit," Maksum menggumam. "Orang-orang makin tak peduli pada ruang untuk air."

Maksum berdiri. Meregang tubuh. Otot-ototnya terasa kaku karena tak banyak bergerak. Ia ingin setiap hari meninggalkan pos jaga itu dan pulang ke rumahnya seperti sebelum banjir datang. Tapi ia mengurungkan niat karena tahu takkan menemukan siapa-siapa lagi di sana. Istrinya yang usianya terpaut hampir 12 tahun darinya, raib entah ke mana. Ada yang bilang Raisah dibawa seekor buaya yang naik ke daratan pada hari ketiga banjir melanda Cibaresah. Lalu Sawiyah, putrinya yang baru berusia 15 tahun, juga mengalami hal yang sama seperti ibunya, dibawa buaya dua hari berikutnya. Maka lengkaplah derita Maksum. Ia pernah menangis untuk dua orang yang amat dicintainya itu, namun tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi, nasib yang sama juga dialami laki-laki lain di desanya. Banyak wanita muda, para janda, dan gadis-gadis muda hilang entah ke mana. Kabarnya, pada malam hari, banyak buaya masuk kampung yang tengah dilanda banjir dan mencari korban perempuan. Dua anak perempuan dan istri Kasdul juga mengalami peristiwa yang sama. Dan seperti Maksum, Kasdul pun cuma bisa pasrah.

"Buaya-buaya itu seperti punya otak," keluh Kasdul semalam ketika ia dan Maksum kembali berjaga berdua di pos jaga. "Aneh, mereka cuma mengambil perempuan. Muda, cantik."

Maksum tak bersuara. Larut dalam kenangan duka pada Raisah dan Sawiyah.

"Banjir inilah awal petakanya," Kasdul menyeringai menahan geram.

Matahari makin naik ketika Maksum menyudahi olahraga ringannya di atas pos jaga. Di hari sesiang ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia juga belum melihat tanda-tanda kehidupan di desanya. Pintu-pintu rumah masih tetap terkatup rapat. Cibaresah jadi serupa desa mati tanpa penduduk dan penghuni. Atau apakah memang para penduduk Cibaresah semuanya telah mati? Lintasan pikiran itu membuat bulu kuduk Maksum tiba-tiba merinding seraya terus memutari pandangannya ke seluruh penjuru kampung. Memang tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, kecuali air yang deras mengalir ke hilir dengan ketinggian hampir setengah meter.

Maksum baru saja menyelesaikan shalat zuhurnya ketika dari kejauhan ia melihat Kasdul melangkah tertatih melawan arus air. "Ah, ternyata Kas masih ada," Maksum bergirang hati. "Aku belum benar-benar sendirian."

Dengan serapahnya Kasdul naik ke atas panggung pos jaga. Tak lupa ia menyerahkan sebungkus nasi untuk makan siang Maksum seperti biasanya. "Ke mana orang-orang, Kas?" Maksum langsung menyergap Kasdul dengan pertanyaan yang disimpannya sejak tadi. "Mengapa kampung kita jadi seperti kampung mati?" Pertanyaan itu entah sudah berapa kali diulangnya setiap hari.

Kasdul tak segera menjawab. Merebahkan tubuhnya seperti ingin melepas beban yang mengimpit. Ditariknya napas dalam-dalam.

"Kas?" Maksum memburu tanpa menghiraukan bungkus nasi yang dibawa Kasdul.

"Ternyata keadaannya makin gawat, Sum," menjawab Kasdul sambil mengeluarkan bungkus rokok dari saku bajunya.

"Maksudmu?" Maksum mematri pandangan pada wajah Kasdul yang masih rebah.

Kasdul bangkit, melepas napas beratnya.

"Orang-orang makin tak berani keluar rumah, Sum," suara Kasdul terdengar lemah, nyaris tenggelam oleh derak-derak air yang terus berebutan mengalir ke hilir.

"Apa sebabnya?"

"Banjir."

"Aku tahu."

"Banjir yang berlama-lama ini menjadi petaka besar bagi kampung kita, Sum. Yang mengancam keselamatan warga saat ini bukan cuma buaya yang pada malam hari mencari mangsa para perempuan," Kasdul berhenti sesaat. Maksum masih belum menyentuh makanannya. Ia lebih tertarik mendengar cerita Kasdul. Cerita yang tak selalu sampai ke telinganya karena ia lebih banyak berada di pos jaga di ujung kampung itu.

"Di pinggir-pinggir kampung, macan belang juga mulai berkeliaran mencari mangsa," Kasdul melanjutkan.

"Macan belang? Bukankah macan belang biasanya cuma ada di hutan-hutan?"

"Betul. Tapi entah mengapa, pada saat banjir seperti sekarang, macan-macan belang itu justru keluar mencari mangsa ke kampung-kampung. Juga pada malam hari. Macan-macan itu memangsa kambing-kambing, kerbau-kerbau, ayam-ayam, bahkan manusia pun disantapnya."

"Di belakang macan belang, selalu mengintil serigala, Sum. Dia menyantap serpih-serpih dan sisa makanan si macan belang," Kasdul melanjutkan.

Maksum terperangah. "Tapi, mengapa kita di sini tak pernah mendengarnya?"

Kasdul menghela napas. "Itu karena orang-orang takut bercerita. Mereka dilanda ketakutan. Ada yang bilang, warga yang mengadu soal hewannya yang hilang, esoknya dia sendiri yang hilang."

"Betul begitu, Kas?"

"Masih ada yang lainnya. Yang tak kalah menakutkan."

"Apa itu?"

"Ular."

"Ular?"

"Ya ular. Mengerikannya, banyak ular yang berkeliaran itu punya dua kepala. Dia menggigit, mematuk. Dan anehnya, orang yang digigitnya tidak langsung mati. Cuma badannya yang kurus kering."

Maksum bergidik. Matanya nyalang menyisir sisi-sisi pos jaganya. Ia khawatir ular berkepala dua yang diceritakan Kasdul tiba-tiba muncul dan mematuk kakinya.

"Kamu serius, Kas?" Maksum penasaran.

"Serius! Bahkan bukan cuma itu, Sum."

"Hah? Apa lagi, Kas?"

"Segala macam binatang mengancam kampung kita. Ada tomcat yang gigitannya bisa membuatmu meriang. Bahkan kupu-kupu pun kini sudah menggigit manusia."

"Kupu-kupu?" Maksum ternganga. Benar-benar ternganga.

"Kupu-kupunya aneh pula, Sum."

"Apa anehnya?"

"Yang digigit biasanya cuma laki-laki. Siapa pun yang digigitnya langsung hilang ingatan. Lupa diri. Gila. Tak ingat pulang. Pergi entah ke mana. Membiarkan anak dan istrinya di rumah."

"Kamu bergurau, Kas," Maksum menggumam.

"Tidak. Aku tidak sedang bercanda. Aku menceritakan yang sebenarnya."

"Lalu apa lagi, Kas?"

Mata Kasdul menerawang jauh menembus hamparan putih langit.

"Ada tikus, anjing, ulat, kecoa, cacing. Semuanya mengancam kita orang-orang kampung ini."

Maksum terdiam. Menunggu lanjutan cerita Kasdul.

"Tikus-tikus rakus mengerat makanan apa saja di kampung kita. Begitu juga anjing-anjingnya. Memakan apa saja yang bisa dimakan. Ulat-ulat menghabiskan dedaunan pohon, membuat pohon-pohon tersisa batang-batang. Kecoa juga ada di mana-mana. Kotorannya bertebar di mana-mana. Dan cacing-cacingnya, Sum...."

"Mengapa cacing-cacing itu, Kas?"

"Cacing-cacing itu masuk ke dalam rumah warga begitu saja. Mereka bisa menembus dinding papan, dinding batu. Mulut-mulut cacing itu seperti punya bor."

"Ah, kamu benar-benar bercanda, Kas," Maksum memotong tanpa mampu mengurangi debar-debar ketakutan dalam dadanya.

"Masih ada lainnya lagi, Sum."

Maksum menarik kain sarungnya seolah ingin melindungi dirinya dari serangan hewan-hewan yang barusan diceritakan Kasdul.

"Setan-setan," kata Kasdul melanjutkan tanpa diminta. "Pada malam hari, setan-setan gentayangan di kampung kita. Menakut-nakuti warga. Setan-setan itu seolah ingin kampung kita kosong. Mereka seolah ingin warga kampung kita pergi. Ke mana saja."

"Tapi, kenapa aku baru tahu sekarang, Kas?"

"Itu karena kau selalu berada di sini. Kau cuma menjaga kampung kita yang sebenarnya tak perlu dijaga."

"Apakah kau sudah tahu lama soal ini?"

Kasdul mengangguk.

"Tapi kenapa baru kau ceritakan sekarang?"

"Aku tak ingin kau ketakutan."

"Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita akan diam saja?"

Kasdul terdiam sesaat.

"Kita harus bertindak, Kas, untuk menyelamatkan kampung kita," suara Maksum mengusik lamunan Kasdul.

"Tidak bisa, Sum. Tidak bisa. Kita bisa ikut mati atau kurus kering seperti yang lain. Diri kita saat ini sama terancamnya dengan yang lain. Dari tengah desa, wabah akan terus menyebar hingga ke seluruh desa selama banjir tak juga surut."

"Lalu kita akan diam saja?" suara Maksum meninggi. Ia seolah menemukan keberaniannya kembali.

Kasdul tak segera menjawab.

"Sore ini juga kita harus pergi ke rumah kepala desa, Kas. Harus! Kita harus minta pertanggungjawaban Pak Kades. Dia harus bisa membebaskan kampung kita dari banjir yang tak kunjung surut. Dan dari segala hewan yang mengancam warga," Maksum nampak sangat bersemangat.

"Kau berani?"

"Demi kebaikan, kita harus berani. Kau dan aku harus melakukannya."

Melihat Maksum yang begitu bersemangat, Kasdul menyerah. Di rembang petang, kedua penjaga pos itu pun melangkah hati-hati menembus banjir yang masih selutut. Tujuan mereka cuma satu, rumah kepala desa.

Sepanjang perjalanan, Maksum dan Kasdul sama sekali tak menemukan warga desa. Pintu-pintu rumah masih tetap tertutup. Kehidupan sudah lama berlalu di desa itu rupanya. Keduanya juga tak tahu lagi apakah rumah-rumah itu masih berpenghuni atau sudah kosong ditinggalkan pemiliknya. Anak-anak yang di awal banjir asyik bermain air, kini tak lagi nampak. Para lelaki yang awalnya tetap melakukan kegiatan, kini raib entah ke mana. Para wanita yang pada mulanya juga masih bisa ditemukan melangkah tertatih di tengah-tengah banjir, sekarang sama sekali tak terlihat.

Setelah melangkah susah payah hampir dua puluh menit, Maksum dan Kasdul tiba di halaman depan rumah kepala desa yang juga tak luput dari sergapan banjir. Keduanya menghentikan langkah dan tak berani lebih mendekat begitu mendengar suara aum macan belang.

Dari kejauhan, Maksum dan Kasdul melihat macan belang itu berjongkok di depan pintu rumah kepala desa. Di jendela-jendela, serigala bertengger diam. Buaya-buaya besar berseliweran di sekeliling rumah besar itu bersama banyak sekali ular berkepala dua. Dinding-dindingnya penuh kecoa dan cacing. Sesekali terdengar lolong anjing dan dengus babi. Tikus-tikus nampak asyik bermain-main. Kupu-kupu beterbangan. Sebagian keluar masuk ke dalam rumah. Sesekali, berkelebat warna hitam setan-setan seolah mengancam siapa pun yang berani mendekati rumah itu.

Maksum dan Kasdul menahan gemetar.


12.40 | 0 komentar | Read More

Menjaring Aspirasi Sebelum Sampai ke Bali

Written By Unknown on Minggu, 28 Oktober 2012 | 12.40

YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Pagi ini, Sabtu 27 Oktober 2012 ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menggelar Grand Strategy Meeting, sebuah forum penjaringan aspirasi dan masukan yang melibatkan partisipasi masyarakat akademisi dan organisasi kepemudaan Yogyakarta dari berbagai bidang, seperti ekonomi dan bisnis, media, kepemudaan, gender, dan lingkungan.

Acara yang diselenggarakan di Hotel Inna Garuda yang terletak di Jalan Malioboro  Yogyakarta, ini akan dibuka oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayan, Wiendu Nuryanti dan menghadirkan narasumber tokoh-tokoh kebudayaan dan akademisi seperti; Mohtar Masoed, Taufik Rahzen, Bambang Sunaryo, Rahayu Supanggah, Hermien Kusmayati, dan Heddy Shri Ahimsa Putra.

Menurut Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, Grand Strategy Meeting Yogyakarta ini merupakan lanjutan dari Grand Strategy Meeting di Bali pada tanggal 22 Oktober 2012. Dari hasil Grand Strategy Meeting  di Bali kemarin, akan dibahas kembali dan diperdalam di Yogyakarta. Bentuk persiapan khusus dalam rangka penyelenggaraan WCF 2013 dengan cara menampung aspirasi dan masukan dari berbagai pihak, baik budayawan, akademisi di beberapa bidang seperti ekonomi dan bisnis, media, kepemudaan, gender, dan lingkungan.

Lebih jauh, perhelatan yang diniatkan sebagai persiapan menuju WCF ini akan mendiskusikan aspek-aspek strategis dalam pembangunan kebudayaan serta pematangan tema dan sub tema yang diangkat dalam World Culture for Development Forum (WCF) – ''Bali Forum'' 2013. Grand Strategy Meeting diharapkan juga menjadi program komunikasi yang baik demi tercapainya pemahaman dan kesadaran masyarakat luas akan pentingnya penyelenggaraan WCF bagi Indonesia maupun Dunia.

World Culture for Development Forum (WCF) – "Bali Forum" 2013 direncanakan akan diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia di Bali, pada tanggal 24 – 29 November 2013. WCF – "Bali Forum" 2013 dihelat untuk mempererat hubungan harmonis antar bangsa, menciptakan peradaban dunia yang harmonis, menjunjung tinggi dan menghargai keunikan dan keanekaragaman budaya, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kegiatan ini juga untuk menjadikan Indonesia sebagai "Rumah Dunia" bagi pertemuan dan diskusi berbagai isu strategis dalam bidang kebudayaan, khususnya terkait dengan perdamaian, pelestarian, pembangunan dan globalisasi. Hal ini mengacu pada peran Davos (Switzerland) dalam penyelenggaraan World Economic Forum (WEF) dan Rio de Janeiro (Brazil) dalam penyelenggaraan International Environment Forum (IEF).


12.40 | 0 komentar | Read More

Kemedikbud Akan Bangun Rumah Budaya Indonesia di 8 Negara

Kemedikbud Akan Bangun Rumah Budaya Indonesia di 8 Negara

Penulis: Kontributor Yogyakarta, Gandang Sajarwo | Minggu, 28 Oktober 2012 | 01:42 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI akan mendirikan rumah budaya Indonesia di delapan negara yang dianggap strategis di dunia, diantaranya Amerika, Belanda dan Perancis. Rumah budaya ini untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada masyarakat dunia.

"Tahun 2013 mendatang akan kita mulai di delapan negara. Pendirian rumah budaya ini dimaksudkan untuk membangun citra positif kehidupan budaya Indonesia di negara-negara strategis," kata wamendikbud bidang kebudayaan, Prof Dr Wiendu Nuryati usai membuka Grand Strategy Meeting Dalam Rangka Persiapan World Culture for Development Forum 2013, Sabtu (27/10/2012), di Inna Garuda Yogyakarta.

Wiendu menambahkan, adanya rumah budaya tersebut semakin menegaskan Indonesia sebagai satu-satunya tempat bagi dunia dalam membangun dialog kebudayaan, di samping memberikan dampak citra positif tentang kehidupan budaya Indonesia, pada masyarakat di negara-negara yang dipandang strategis tersebut.

"Rumah budaya ini kian memperkuat jaringan kita ke dunia luar," katanya.

Kekayaan geografis dan budaya Indonesia yang memiliki ratusan etnis, bahasa, dan budaya menjadi pilihan bagi pengembangan kemajuan kebuadayaan dunia. "Bila negara maju berorientasi pada politik dan ekonomi, maka Indonesia akan menjadi rujukan untuk dialog kebuadayaan," katanya.

Lebih lanjut Wiendu menambahkan, selain membangun rumah budaya di luar negeri, di dalam negeri pun akan dibangun pusat-pusat kebuyaan. Selain sebagai bahan kajian dan berbagai penelitian kebudayaan, diharapkan juga menjadi pusat pariwisata. Salah satu pusat kebudaayaan yang akan dibangun tersebut adalah pengembangan museum budaya gunung di berbagai daerah di Indonesia.

"Saat ini kita tengah mendisain museum budaya gunung Merapi di DIY. Dalam museum budaya gunung Merapi itu nantinya akan kita sajikan budaya dan kesenian masyarakat di sekitar gunung sebelum terjadi erupsi, situasi dan budaya yang berkembang di masyarakat saat erupsi dan pasca erupsi. Tahun 2013 kita harapkan pembangunan sudah dapat dimulai," kata Wiendu.

Editor :

Aloysius Gonsaga Angi Ebo


12.40 | 0 komentar | Read More

Nonton Tari Topeng di Singapura

Written By Unknown on Sabtu, 27 Oktober 2012 | 12.40

Genap seminggu yang lalu, pada Kamis 18 Oktober 2012, saat senja baru saja melingkupi angkasa Singapura, saya berada di lantai IV Art Science Museum yang terletak di salah satu bangunan Marina Bay Sands Singapura.

Petang itu, selain hendak menyaksikan pameran topeng berjudul "The Majesty Mask", saya juga berniat menonton pertunjukan tari topeng yang di"impor" langsung dari Indonesia ke negeri "Singa" itu. Dua nama di belakang tarian topeng itu sungguh membuat penasaran saya. Yang pertama, tentu saja Rahayu Supanggah, seorang Guru Besar Etnomusikologi dan Komposisi Institut Seni Indonesia Surakarta yang kini menjabat sebagai Rektor Institut Seni Indonesia Surakarta yang akan bertindak sebagai penata musik pertunjukan tari topeng tersebut.

Sedang nama kedua adalah Rama Soeprapto, putra artis Marini dari hasil pernikahannya dengan Tinton Soeprapto; pendatang baru di dunia tata tari Indonesia. Rama, yang mengawali karier tarinya di Swara Mahardika asuhan Guruh Sukarnoputra serta sebagai asisten sutradara di lakon I La Galigo.

Jika menyimak jejak rekam karya keduanya, tentulah cukup menjanjikan mereka akan menyuduhkan pertunjukan yang menarik.

Di layar muncul sinopsis tentang drama tari 'Sekartaji' disertai munculnya gambar topeng. Panggung lalu senyap dan legam, sebelum akhirnya muncul siluet perempuan bertopeng yang memerankan Dewi Sekartaji dalam balutan busana dan topeng warna putih.

Di latar belakang, musik gamelan mengalun sendu, sebelum bergegas meninggi seiring dengan munculnya tokoh bertopeng merah dan berbaju hitam.

Adegan pertama usai, panggung gelap. Muncul gunungan wayang Bali di antara cahaya lilin. Gamelan bali dan seruling, kian menguatkan nuansa Bali.
Dari balik layar muncul penari lelaki berbusana dan bertopeng putih. Lantas muncul dua anak-anak bertopeng lucu yang menyandang gendang bali. Mereka mulai berinteraksi dengan penonton, terlebih saat penari bertopeng putih tadi berganti topeng pria berkumis yang humoris.

Panggung kini menjadi tegang, di layar gambar matahari berputar-putar. Dua lelaki dengan keris terhunus saling beradu jiwa. Saat suasana genting, muncul seorang perempuan yang menengahi dua pria yang sedang berlaga.

Perempuan itu kini sendiri. Dia bernyanyi dan menari dalam suasana yang sunyi. Tapi kesunyian itu tak bertahan lama, dua penari lelaki muncul menemani si wanita. Mereka bertiga menari dalam gerak yang atraktif. Kadang lembut penuh kedalaman, saat lain kadang lincah. Adegan ini diakhiri gerakan memutar tubuh oleh seorang penari laiknya tarian sufi.

Saya, dan seluruh penonton bertepuk-tangan riuh begitu pertunjukan usai. Rahayu Supanggah bersama kawan-kawan musisi lainnya dari STSI Surakarta menunjukan performanya sebagai kampiun di bidang tata musik kontemporer yang berpijak pada tradisi Jawa. Demikian juga Rama Soeprapto, pada senja itu dia --bersama penari topeng dari Cirebon, Solo dan Bali-- telah menunjukan kelasnya yang berkualitas.

Rahayu dan Rama, bukan saja telah menggetarkan hati penonton dengan sajian yang mistis sekaligus dinamis, namun juga telah menambah kebanggaan warga Indonesia yang berada di Singapura.

"Saya bangga menjadi warga Indonesia, karya mereka luar biasa," ujar sekumpulan pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di negeri tetangga itu.

Ya, para pelajar Indonesia itu memang pantas berbangga hati, sebab memang pertunjukan tari topeng oleh para seniman Indonesia, telah membuat kagum penonton asing yang memberikan apresiasi tinggi dengan tepuk tangan panjang untuk seniman-seniman Indonesia yang tampil senja itu di Singapura.


12.40 | 0 komentar | Read More

Menjaring Aspirasi Sebelum Sampai ke Bali

YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Pagi ini, Sabtu 27 Oktober 2012 ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menggelar Grand Strategy Meeting, sebuah forum penjaringan aspirasi dan masukan yang melibatkan partisipasi masyarakat akademisi dan organisasi kepemudaan Yogyakarta dari berbagai bidang, seperti ekonomi dan bisnis, media, kepemudaan, gender, dan lingkungan.

Acara yang diselenggarakan di Hotel Inna Garuda yang terletak di Jalan Malioboro  Yogyakarta, ini akan dibuka oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayan, Wiendu Nuryanti dan menghadirkan narasumber tokoh-tokoh kebudayaan dan akademisi seperti; Mohtar Masoed, Taufik Rahzen, Bambang Sunaryo, Rahayu Supanggah, Hermien Kusmayati, dan Heddy Shri Ahimsa Putra.

Menurut Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, Grand Strategy Meeting Yogyakarta ini merupakan lanjutan dari Grand Strategy Meeting di Bali pada tanggal 22 Oktober 2012. Dari hasil Grand Strategy Meeting  di Bali kemarin, akan dibahas kembali dan diperdalam di Yogyakarta. Bentuk persiapan khusus dalam rangka penyelenggaraan WCF 2013 dengan cara menampung aspirasi dan masukan dari berbagai pihak, baik budayawan, akademisi di beberapa bidang seperti ekonomi dan bisnis, media, kepemudaan, gender, dan lingkungan.

Lebih jauh, perhelatan yang diniatkan sebagai persiapan menuju WCF ini akan mendiskusikan aspek-aspek strategis dalam pembangunan kebudayaan serta pematangan tema dan sub tema yang diangkat dalam World Culture for Development Forum (WCF) – ''Bali Forum'' 2013. Grand Strategy Meeting diharapkan juga menjadi program komunikasi yang baik demi tercapainya pemahaman dan kesadaran masyarakat luas akan pentingnya penyelenggaraan WCF bagi Indonesia maupun Dunia.

World Culture for Development Forum (WCF) – "Bali Forum" 2013 direncanakan akan diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia di Bali, pada tanggal 24 – 29 November 2013. WCF – "Bali Forum" 2013 dihelat untuk mempererat hubungan harmonis antar bangsa, menciptakan peradaban dunia yang harmonis, menjunjung tinggi dan menghargai keunikan dan keanekaragaman budaya, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kegiatan ini juga untuk menjadikan Indonesia sebagai "Rumah Dunia" bagi pertemuan dan diskusi berbagai isu strategis dalam bidang kebudayaan, khususnya terkait dengan perdamaian, pelestarian, pembangunan dan globalisasi. Hal ini mengacu pada peran Davos (Switzerland) dalam penyelenggaraan World Economic Forum (WEF) dan Rio de Janeiro (Brazil) dalam penyelenggaraan International Environment Forum (IEF).


12.40 | 0 komentar | Read More

Kukar Gelar "Fashion Art Carnival"

Written By Unknown on Jumat, 26 Oktober 2012 | 12.40

TENGGARONG, KOMPAS.com--Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) akan menggelar Kukar Fashion Art Carnival (KFAC) dengan tema "Exploring Borneo" pada Sabtu (27/10), dengan menampilkan beraneka ragam kostum unik dan menarik.

Kepala Disbudpar Kukar Sri Wahyuni yang dihubungi dari Tenggarong, Kukar, Kamis, mengatakan, penyelenggaraan KFAC diharapkan akan memberikan hiburan yang berbeda bagi pengunjung dan warga Tenggarong, Kukar.

Menurut Sri Wahyuni, KFAC dengan kegiatan Fashion On The Street atau peragaan busana di jalan raya itu, rencananya dimulai pukul 13.30 Wita dengan rute dari Kantor Bupati Kukar, Jalan Wolter Monginsidi hingga berakhir di depan Sekretariat Gerbang Raja, Jalan KH Akhmad Mukhsin.

Sri Wahyuni mengatakan KFAC itu akan diikuti 89 orang yang merupakan hasil binaan melalui workshop KFAC yang dilaksanakannya beberapa waktu lalu, yang menghadirkan instruktur dari Jember Fashion Carnival. "60 orang merupakan pelajar SLTA dan 29 lainnya peserta umum," ujarnya.

Di hari yang sama pada malam harinya mulai pukul 20.00 Wita, katanya, Pemkab Kukar juga menggelar Pesta Langit Malam (PLM).

Sri menjelaskan pada gelaran PLM tersebut akan diwarnai dengan menerbangkan 1.500 lampion berwarna-warni di Pulau Kumala, Kukar.

Kegiatan KFAC dan PLM tersebut dilaksanakan masih dalam rangkaian Festival Kota Raja (FKR) untuk mempeingati hari jadi Kota Raja Tenggarong ke-230.

Menurut Sri, kedua kegiatan yang baru pertama kali dilaksanakan di Kukar tersebut sangat meneraik untuk disaksikan, pasalanya pada KFAC menampilkan busana yang unik ditambah dengan koreografi yang menarik pula, sehingga bukan sekadar karnaval biasa.

Ia menambahkan, kegiatan PLM akan sangat menarik karena dari Pulau Kumala akan beterbangan lampion berwarna-warni yang menghiasi langit Tenggarong, sehingga dari tepi Mahakam bisa dilihat keindahan cahaya lampion tersebut. "Dua kegiatan ini sangat menarik, jadi silakan datang dan saksikan," ujarnya. 


12.40 | 0 komentar | Read More

Seribuan Penari Meriahkan HUT Balekambang

SOLO, KOMPAS.com--Seribuan siswa sekolah dasar membawakan tari kijang sebagai tanda dibukanya Pasar Seni dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun Ke-91 Taman Balekambang Kota Solo, Kamis.

Tarian massal yang melibatkan seribuan siswa dari 40 SD di Kota Solo tersebut, diprakarsai oleh Sanggar Tari Eka Santi Surakarta pimpinan Agus Sumanto mengambil tema Pasar Seni dan Budaya.

Tarian massal yang dibawakan pelajar dengan mengenakan kostum mirip hewan kijang dengan warna kuning tersebut, sangat meriah dan mendapat perhatian ratuasan pengunjung yang memadati Taman Balekambang yang dulu bernama Partini Tuin (Taman Air Partini dan Partinah Bosch (Hutan Kota Partinah).

Menurut Kepala UPTD Taman Balekambang, Disbudpar Kota Surakarta Endang Sri Murniati, Pasar Seni Balekambang sebuah even rutin yang diadakan dalam rangka HUT Ke-91 Balekambang 2012 ini yang keempat kalinya.

Ia menjelaskan, Taman Balekambang yang dulu bernama, Partini Tuin dan Partinah Bosch dibangun oleh GPAA Mangkunegoro VII pada 26 Oktober 1921.

Taman tersebut dibangun sebagai perwujudan rasa kasih sayang seorang ayah kepada putri-putrinya itu, dulu berfungsi sebagai daerah resapan air, tandon air dan paru-paru kota.

Selain itu, Taman Balekambang juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan khusus kerabat Mangkunegaran, tetapi setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia kemudian dibuka untuk umum.

Menurut dia, Taman Balekambang setelah dibuka untuk masyarakat, kemudian ada hiburan rakyat antara lain ketoprak lesung hingga sekarang masih eksis.

Taman Balekambang para era 1970-an juga dihiasi hiburan kelompok Srimulat yang memunculkan seniman-seniman terkenal seperti Timbul, Gepeng, Djujuk, Tarsan, Mamik, dan Nunung.

Pada masa kepemimpinan Wali Kota Surakarta Joko Widodo, tahun 2007-2008, Taman Balekambang kemudian direvitalisasi dikembalikan kepada fungsinya semula yakni daerah resapan dan paru-paru kota.

"Taman Balekambang sebagai ruang terbuka juga berfungsi sebagai taman seni dan budaya, Taman botani, Taman Edukasi dan untuk rekreasi," paparnya.

Pada HUT Taman Balekambang tahun ini, kata dia, menyelenggarakan pasar seni yang merupakan tempat berkarya, pameran, pementasan, dan kegiatan kesenian. Kegiatan ini untuk mendorong semangat berkarya dan berkreasi bagi para seniman di samping membangun jembatan apresiasi antara seniman dan masyarakat.

Kegiatan pasar seni Balekambang antara lain "workshop" dan pameran kerajinan seni seperti tatah sungging wayang, batik, keris, blangkon, ukir logam, kreasi barang bekas, dan lukisan.

Selain itu, lanjut dia, pementasan musik, sendratari, dan ketoprak. Serta, kuliner UKM, permainan tradisional antara lain egrang, dakon, bekelang bakiak, gobak sodor yang kini mulai terkikis oleh perkembangan zaman.


12.40 | 0 komentar | Read More

Keliling Taiwan Hanya dengan Biaya Rp 3 Juta

Written By Unknown on Kamis, 25 Oktober 2012 | 12.40

Judul Buku: Rp 3 Juta Keliling Taiwan
Penulis : Claudia Kaunang
Penerbit : B first (PT Bentang Pustaka) Yogyakarta
Cetakan : I, September 2012
Tebal : x + 226 halaman
ISBN : 978-602-8864-63-3

 
Taiwan termasuk negara yang sangat bersahabat bagi para pelancong. Baik pemula, maupun yang telah terbiasa keliling dunia. Baik yang budget-nya sangat terbatas sampai yang terbatas. Semua bisa menikmati keindahan negara yang disebut sebagai Ilha Formosa (Pulau yang Cantik) ini.

Ketika mendengar negara Taiwan disebut, ada dua hal yang biasanya langsung tercetus dalam benak publik; susah berkomunikasi dan sulitnya menemukan makanan halal di sana. Meski tak salah, tapi anggapan tersebut tak sepenuhnya benar. Selama ini, Taiwan masyhur sebagai Republic of China (ROC) yang memiliki bahasa nasional Mandarin. Dialek atau bahasa yang jamak diterapkan penduduk Taiwan adalah Hakka Chinese dan Taiwanese Hokkien.

Meski Claudia Kaunang, penulis buku traveling ini, mengaku tak mampu berbahasa Mandarin tapi ia bisa berkeliling Taiwan selama satu pekan dengan lancar tanpa mengalami hambatan. Itu semua karena petunjuk jalan dan tulisan berbahasa Inggris dengan mudah ditemukan di berbagai tempat wisata, stasiun kereta, bus, penginapan dan pusat-pusat perbelanjaan di seluruh Taiwan (hlm. 2). Jadi Anda tak perlu khawatir tersesat ketika melakukan perjalanan di negara ini karena petunjuk berbahasa Inggris sedemikian lengkap. Kantor informasi turis juga tersebar di mana-mana.

Tentang makanan halal, ternyata penulis masih bisa menemukan banyak restoran yang menyajikan menu makanan halal lumayan lengkap di seluruh penjuru Taiwan. Bahkan makanan khas Indonesia pun bisa dengan mudah ditemukan di sana, seperti soto ayam, rendang, ayam penyet dan sate kambing (hlm 3).

Pemikiran lain yang mungkin muncul setelah faktor bahasa dan makanan halal, adalah biaya. Sebagai negara industri maju, tak heran jika muncul asumsi bahwa jalan-jalan keliling Taiwan pasti memerlukan biaya besar.

Padahal, dengan biaya tak lebih dari Rp 3 juta, penulis telah membuktikan bisa keliling Taiwan selama seminggu, seperti mengunjungi Taipei (ibu kota Taiwan yang mutakhir), menaiki gedung kedua tertinggi di dunia, menikmati tebing marmer di Taroko Gorge yang tersohor, merasakan naik kereta supercepat Taiwan High Speed Railway, bertandang ke Fo Guang Shan (kompleks biara terbesar di Taiwan yang diperuntukkan bagi para pendeta Buddha), berlayar dengan Love River Cruise di Kaohsiung, dan masih banyak lagi (hlm. 5).

Buku juga dilengkapi info tentang berbagai event festival yang rutin diadakan negara tersebut. Seperti di bulan Januari hingga Februari, bersamaan dengan perayaan imlek, hampir seluruh kota besar di Taiwan menyelenggarakan festival lampion/lentera. Acara ini berdasar pada sistem kalender China (hlm. 9). Maret hingga April digelar turnamen istimewa; Song Jiang Jhen Battle Array di Kaohsiung. Pertunjukan yang berlangsung selama seminggu ini menyajikan berbagai pertunjukan kungfu, martial-arts, dan macam-macam olahraga bela diri kuno khas Taiwan (hlm. 10). Jika Anda berkunjung ke Taiwan selama bulan Juli hingga Agustus, Anda bisa menyaksikan beberapa festival, seperti Aboriginal Festival di daerah pantai timur Taiwan dan Ho Hai Yan Festival. The Harvest Festival for Taiwanese Aborigines adalah nama upacara tersebut, berlangsung selama kurang lebih sebulan, yang diiisi tari-tarian, lagu puji-pujian, penjualan hasil panen, dan masih banyak lagi (hlm. 12).

Ada puluhan pasar malam di seluruh Taiwan. Dan ada 2 hal yang membuat pasar malam di sana masuk dalam kategori terkenal: variasi jajanan atau kelezatan makanan yang tak dimiliki oleh pasar malam lain, juga keunikan permainan yang ditampilkan (hlm. 33). Lokasi puluhan pasar malam tersebut beserta aneka kuliner yang khas dan nikmat dengan harga terjangkau, secara rinci dijelaskan dalam buku ini.

Sebagai negara yang industri pariwisatanya baru mulai berkembang, Taiwan dikemas dengan sangat baik oleh pemerintahnya. Apa pun yang mereka anggap unik dan layak jual, akan dijadikan obyek wisata. Setiap lokasi yang memiliki situs menarik, pemerintah menyediakan kantor turis lengkap dengan staf berbahasa Inggris dan segudang informasi yang disusun dalam bentuk brosur berbagai bahasa (hlm. 62).

Selama keliling Taiwan, penulis memaparkan perincian biaya (mulai total biaya transportasi, akomodasi, makan dan minum, biaya tiket masuk tempat-tepat wisata, dll). Dan setelah dijumlah secara keseluruhan, ternyata penulis buku ini hanya mengeluarkan uang Rp 2.955.900,00. Buku ini juga memaparkan info traveling ke kota-kota di negara sekitar Taiwan, seperti Hongkong, Singapura, kuala Lumpur, Seoul, dan Manila. 
***
Diresensi Sam Edy Yuswanto, penikmat buku, tinggal di Kebumen.


12.40 | 0 komentar | Read More

Menggagas Budaya Lokal agar Lebih Asyik

JAKARTA, KOMPAS.com--Di tengah derasnya kekuatan budaya asing merambah hampir di segala sendi kehidupan bangsa Indonesia, ada juga pihak yang merasa terpanggil untuk setidaknya menyelamatkan, dan selebihnya malah mencoba membuat budaya lokal bisa terus berkembang dalam kemasan yang lebih modern.

Di antara nama-nama seniman dan budayawan yang telah berhasil mengemas budaya lokal dalam idiom modern, sebut saja Jogja Hip Hop Foundation, Babendjo (asuhan Saung Mang Udjo), serta Langgir Badong, yaitu kesenian ciptaan seniman Ade Suarsa berupa alat musik dari bambu yang digendong (badong).

Nah, ketiga pelaku budaya ini diapresiasi oleh Sampoerna Kretek dalam pesta rakyat Sampoerna Kretek Asyiiik Fest yang digelar di 6 kota, antara lain Malang, Semarang, Sukabumi, Karawang, Bandung dan Bogor sejak Juni hingga November 2012.

"Munculnya kebanggaan generasi muda dewasa terhadap budaya lokal yang dikemas lagi dalam bentuk kontemporer harus diapresiasi dan kami mewujudkannya dalam Sampoerna Kretek Asyiiik Fest, yakni sebuah hiburan yang disajikan dalam bentuk pesta rakyat dan menghadirkan semua unsur budaya lokal, mulai dari kesenian/musik, kuliner, hingga kegiatan interaktif tradisional," ujar Marketing Manager Sampoerna Kretek, Yasin Tofani Sadikin, saat ditemui dalam acara Ngobrol Asyiiik Bareng Sampoerna Kretek di Jakarta (23/10).

Kegiatan-kegiatan dalam Sampoerna Kretek Asyiiik Fest juga dilekatkan dengan keseharian budaya lokal masyarakat Indonesia, yang menonjolkan sisi riang dan guyubnya budaya lokal Indonesia. "Nilai-nilai lokal seperti kebersamaan, kekompakan, dan optimisme kami yakini sebagai The Lighter Side of Indonesian Spirit, yakni sebuah semangat yang sebenarnya mengakar dan menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Inilah yang coba dihadirkan dalam Sampoerna Kretek Asyiiik Fest," jelas Tofani.

Senada dengan Tofani, budayawan kawakan Indonesia Sujiwo Tedjo, mengatakan bahwa budaya lokal yang dikemas lebih modern memang selalu laris di masyarakat. "Saya seringkali berkreasi untuk menghadirkan budaya-budaya lokal dalam kemasan yang lebih modern, sehingga lebih mudah dinikmati oleh semua orang. Misalkan, mendalang lakon wayang yang menceritakan kemelut kehidupan sehari-hari, atau bahkan membawakan lagu-lagu bernuansa pop dalam istilah-istilah daerah yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal".

Berkenaan dengan nilai-nilai kearifan lokal, Sujiwo mengakui bahwa budaya lokal memang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang masih sesuai untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini. Di sisi lain, dia juga meyakini bahwa budaya lokal merupakan budaya yang asyik. "Budaya lokal Indonesia itu budaya yang asyik kok. Karakternya yang ringan dan tidak bersifat menggurui membuat budaya lokal menjadi sarana edukasi nilai kearifan lokal yang paling bisa diterima oleh masyarakat luas. Orang Indonesia itu orang yang asyik, sehingga budaya lokalnya juga asyik. Harmonisasi ini saya sebut sebagai The Sound of Orang Asyik," tegasnya.

Menutup diskusi, Tofani berharap Sampoerna Kretek Asyiiik Fest dapat menjadi wadah apresiasi generasi muda dewasa terhadap budaya lokal. "Dengan menghadirkan kolaborasi antara budaya lokal dan budaya kontemporer dalam bentuk pesta rakyat, Sampoerna Kretek Asyiiik Fest diharapkan dapat menjadi sarana yang asyik sekaligus momen tidak terlupakan bagi masyarakat untuk mengekspresikan apresiasi dan kebanggaannya terhadap budaya lokal. Ini adalah sebuah langkah maju bagi perkembangan dan pelestarian budaya lokal," tutup Tofani.


12.40 | 0 komentar | Read More

Museum Andrea Hirata Sebar Inspirasi

Written By Unknown on Rabu, 24 Oktober 2012 | 12.40

GANTUNG, BEL;ITUNG TIMUR, KOMPAS.com--Sebuah plang mentereng bernuansa merah dan kuning terpampang tepat di bawah papan nama "JL. LASKAR PELANGI" di Desa Linggang, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung.

Laskar Pelangi menandai jejak-jejak perjuangan pendidikan anak-anak Indonesia/ Jejak itu dimulai di jalan ini/ Jalan yang menjadi saksi bahwa anak-anak Indonesia bukanlah anak-anak yang mudah menyerah/ Laskar Pelangi merupakan karya fenomenal yang telah merambah dunia/ Penulis Laskar Pelangi, Andrea Hirata, tinggal di jalan ini/.

Beberapa ratus meter dari situ, tertancap plang jingga bertuliskan "Museum Kata Andrea Hirata. Indonesia's Most Inspiring Place" di depan sebuah rumah bernuansa putih.

Di dekat pintu yang terbuka, ada pigura berisi pengumuman dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, agar pengunjung melepas alas kaki karena museum tersebut beralas tikar.

Di dalamnya, beragam pernak-pernik seputar Laskar Pelangi sudah terpajang rapi di dinding. Meskipun begitu, ternyata museum itu belum rampung sepenuhnya, bahkan memang belum diresmikan.

Gorden pun belum semuanya dipasang. Masih ada tangga lipat di pojok ruangan. Tumpukan kaos yang dijual sebagai suvenir pun masih teronggok dalam kardus.

Meskipun begitu, tidak ada larangan untuk melihat-lihat. Beruntung, saat itu sang novelis kebetulan sedang berada di museum.

Andrea yang mengenakan kaos abu-abu berlengan panjang, celana kargo beige, serta topi koboy pun muncul dari ruangan belakang. Pria berambut ikal itu tetap menyambut kedatangan tamu yang tidak diundang itu.

Andrea dengan senang hati memimpin tur mengelilingi seisi museum yang dibangun dari royalti novelnya.

Museum sastra pertama di Indonesia, begitulah dia menyebut Museum Kata Andrea Hirata yang dananya dialokasikan dari royalti novel yang sudah terbit di 25 negara.

Setelah novelnya mendunia dan diadaptasi menjadi dua film layar lebar, Andrea ingin melestarikan nilai positif dalam Laskar Pelangi dan itu diwujudkan lewat museum yang terletak di Jalan Laskar Pelangi nomor 7 itu.

"Museum ini tujuan utama bukan pamer-pamer sebenarnya'," kata lelaki yang mendapat beasiswa International Writing Program di University of Iowa Amerika Serikat pada 2010.

"Ada visi dan konsepnya, untuk mengobarkan semangat orang-orang terutama generasi muda. Di sini ada kisah, sebuah kisah 'Berani bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu. Tapi jangan bermimpi saja, berdoa di situ," dia menunjuk masjid yang terletak persis di seberang museum.

Museum yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah sang ibunda N.A. Masturah Seman terbagi menjadi lima ruangan. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di tikar di ruangan yang disebut 'Welcome Room', Anda akan disambut dengan belasan pigura berisi sejarah dan kisah penulisan Laskar Pelangi dalam bahasa Indonesia di sisi kiri. Sementara itu, dinding sisi kanan dipenuhi hal yang sama namun dalam bahasa Inggris.

"Diusahakan dalam dua bahasa karena kita sudah banyak sekali tamu asing," kata penulis yang novelnya menjadi referensi mata kuliah sastra di beberapa universitas di Australia itu.

Sesuai namanya, museum ini memang dipenuhi kata-kata Andrea Hirata, termasuk penggalan novel, koleksi puisi, tiga cerpen karya pria kelahiran 24 Oktober 1982 yang hanya bisa dibaca ekslusif di museum itu.

"Saya banyak dirayu penerbit yang mau bayar puluhan juta agar saya menerbitkan tiga cerpen ini. Tapi ini keistimewaan hanya untuk pengunjung museum yang hanya bisa dibaca di sini."

Banyaknya materi bacaan sehingga pengunjung museum harus punya waktu senggang untuk membaca seksama satu per satu.

"Datang ke Museum Kata ini sesungguhnya harus duduk tenang, menyerapi apa yang dimaksudkan, apa yang akan dipresentasikan oleh museum ini."

Terpajang beragam pencapaian Laskar Pelangi di dalam dan mancanegara. Ada potongan artikel koran nasional maupun luar negeri tentang LP, kumpulan komentar dunia untuk LP, pujian dari tokoh dunia termasuk pengarang "Slumdog Millionaire", serta deretan desain sampul novel LP yang terbit di berbagai negara.

Tidak hanya kata-kata, indera penglihatan pun dimanjakan dengan foto-foto yang diambil dari film Laskar Pelangi yang dirilis pada 2008. Andrea juga memajang beberapa lukisan, baik karyanya sendiri maupun karya orang lain yang terinspirasi LP. Beragam alat musik pun menjadi bagian dekorasi museum yang dibangun di atas rumah melayu kuno yang konon berusia dua ratus tahun itu.

Andrea juga ingin melestarikan suasana warung kopi melayu khas Belitung, itulah mengapa ada Warkop Kupi Kuli di ujung museum. Suasana jadul sangat kental di Warkop Kupi Kuli. Rasanya seperti mengunjungi rumah melayu kuno. Di pojok ruangan ada kompor arang yang memanaskan teko berisi kopi, cat pada dinding kayu dibiarkan mengelupas, radio kuno, lampu petromaks, iklan enamel, serta sampul album "Satria Bergitar" Rhoma Irama turut menjadi pemanis Warkop Kupi Kuli.

Selain jadi tempat bercengkrama sembari menikmati kopi Belitung, pada malam hari ruangan tersebut menjadi rumah puisi bagi anak-anak sekitar. Dia memang ingin semua karyanya dapat bermanfaat bagi orang lain.

"Tidak ada satu hal yang buruk dari Laskar Pelangi, dan saya orang Islam, sampaikanlah walaupun hanya satu ayat. Ini salah satunya."

Lewat museum ini, Andrea ingin menularkan virus agar semua orang tidak segan bermimpi. Dia pun punya mimpi yang belum terwujud. Dengan antusias dia bercerita bahwa penerbit LP di Amerika Serikat, Farrar, Straus and Giroux telah melahirkan 23 pemenang nobel sastra.

"Dengan izin Allah, siapa tahu, Insya Allah, orang kampung tempat jin buang anak itu...(bisa mencapai hal yang sama). Mudah-mudahan ya."


12.40 | 0 komentar | Read More

Ritus Pangan Diusung ke Gelar Budaya Nusantara

MAGELANG, KOMPAS.com--Seniman petani lereng Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, akan mengusung performa "Ritus Pangan Tutup Ngisor" pada Gelar Budaya Nusantara di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, 27-29 Oktober 2012.

"Dalam GBN 2012 itu, kami akan usung satu rangkaian cerita mulai dari tradisi panen padi dalam bentuk 'slametan' yang dinamai tradisi "Wiwit", kemudian pentas kesenian rakyat, sampai dengan ruwatan berupa wayang kulit," kata pemimpin komunitas seniman petani Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor"  lereng barat daya Gunung Merapi, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang Sitras Anjilin di Magelang, Selasa.

Sejak sebulan terakhir, katanya, sekitar 80 pemain baik pelaku performa "Wiwit", penari, maupun penabuh musik tradisional gamelan berlatih secara intensif untuk pementasan di TMII Jakarta itu.

Ia mengatakan, dua tarian tradisional akan dipentaskan oleh para seniman petani setempat yakni jatilan dan lengger.

Pihaknya juga akan menggelar dua kali pentas wayang kulit yakni pada Minggu (28/10) siang hari dengan lakon "Ruwatan Murwakala" dan malam hari "Ruwatan Sudamala". Dalang pentas wayang kulit itu adalah Ki Kuwat Hadi Warsono.

Ia menjelaskan, rangkaian upacara tradisional "Wiwit" itu sebagai ungkapan kegembiraan dan syukur petani saat akan memulai panen padi.

"Sampai dengan saat ini tradisi 'Wiwit' masih dilakukan petani kami. Tradisi ini memuat nilai-nilai kearifan lokal dan penghargaan terhadap alam," katanya.

Gelar Budaya Nusantara diprakarsai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga diikuti perwakilan berasal dari sejumlah daerah lainnya di Indonesia seperti Banten, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Pada kesempatan terpisah Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti mengatakan, kegiatan dengan tema "Ritus-ritus Budaya Pangan" itu untuk menghidupkan kembali sistem pendidikan masyarakat adat menuju kekinian.

Ia mengemukakan, ekspresi seni tradisi merupakan budaya komunal dari kesenian dalam arti luas. "Seni tradisi diciptakan dan lahir untuk mengekspresikan budaya secara komunal yang tidak didasarkan kepentingan ekonomi," katanya di Jakarta, Selasa (9/10).


12.40 | 0 komentar | Read More

Ironi Kriminalisasi Pers

Written By Unknown on Selasa, 23 Oktober 2012 | 12.40

Oleh Oleh Zaitur Rahem

Tindak kekerasan terhadap sejumlan wartawan rupanya tak pernah ada habisnya. Kali ini tindak kekerasan menimpa sejumlah wartawan yang berusaha mengambil gambar jatuhnya pesawat tempur TNI Angkatan Udara Jenis Hawk 100/200 di area pemukiman warga kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau (Kompas/16/10).

Dalam rilisan sejumlah media masa, aksi kekerasan dilakukan oleh oknum TNI kepada para wartawan dengan merampas kamera, memukuli dan mencekik para awal media. Tindak kekerasan ini sangat menyakitkan. Bukan saja karena kekerasan fisik yang menimpa para jurnalis tanah air. Akan tetapi, tindakan oknum petugas ini sangat tidak apresiatif, komunikatif dan belas kasih, dan tidak terdidik. Dalam perspektif apapun, tindak kekerasan ini tidak dibenarkan. Baik dari perspektif hukum negara dan moralitas kebangsaan.

Kekerasan yang dilakukan oknum TNI kepada sejumlah wartawan ini melukai hati masyarakat Indonesia. Sebab, pada prinsipnya kehadiran para wartawan ini betugas menyampaikan informasi kepada khalayak. Posisi para wartawan (cetak dan elektronik) adalah sebagai kepanjangan tangan dari Masyarakat. Berdasarkan garisan UUD negara, semua masyarakat berhak memperoleh informasi yang memang sepantasnya layak diinformasikan.

Tak hanya itu, posisi wartawan juga bertugas memberikan pembelajaran penyajian informasi yang mencerahkan kepada bangsa Indonesia. Ada sekian para wartawan yang bahu-bahu membahu menjalankan tugasnya memburu informasi untuk disampaikan kepada masyarakat. Kehadiran para wartawan ini sejak awal dipandang integral dan strategis. Sehingga, memasung tugas dan fungsi para wartawan sama hanya dengan memangkas wibawa masyarakat sebagai pemegang kuasa di ngeri ini. Kekerasan terhadap para wartawan dalam kasus di Riau beberapa hari lalu menimbulkan aneka asumsi kepada petugas. Pertama, kesadaran toleransi seperti diamanatkan Pancasila belum sepenuhnya terealisasi. Sebab, tindak kekerasan ini tidak berperikemanusiaan dan tidak mencerminkan bangsa yang beradab. Tindakan kekerasan oleh oknum TNI Angkatan Udara ini, sekali lagi sudah menyakiti hati para pekerja media di belahan tanah air.

Kedua, ruh demokrasi yang mengedepankan prinsip keterbukaan hanya sekedar wacana. Sementara dalam takaran operasional-kongritnya pemaknaan demokrasi ibarat ikan dalam kaca hias. Demokrasi bukan gengsi, namun harmonisasi dalam berkomunikasi, berdiskusi dan transformasi. Sehingga, tindakan kekerasan tidak diperbolehkan di negeri ini. Tugas pokok wartawan adalah mebedah kekakuan dalam berbagi informasi, komunikasi dan transformasi pengetahuan dan pengalaman baru (aktual).

Berburu informasi aktual bagi para watawan sudah menjadi kewajiban. Sebab, kekuatan aktualitas ini akan membuktikan kompetensi dan militansi mereka untuk menyajikan informasi yang terbaik kepada masyarakat. Kejadian jatuhnya pesawat TNI AU di Riau beberapa hari lalu jelas menarik perhatian para wartawan. Kejadian tersebut memiliki nilai berita yang tinggi. Sehingga, para wartawan (baik cetak atau TV) akan berusaha paling cepat mendapatkan berita itu.

Ketiga, ada misi mengebiri kritisisme jurnalis Indonesia. Sejak dulu, kiprah para wartawan tanah air tidak diragukan. Mereka menjalankan tugas kewartawanannya dengan setia memegang teguh kode etik jurnalis. Apa yang mereka sajikan adalah apa yang mereka kuat dari pelacakan data dan fakta. Sajian data dan fakta ini kemudian menjadi lieterasi kuat akan fungsi wartawan sebagai penyampai informasi dan kontrol sosial dan kebijakan. Kekuatan sajian informasi ini dampaknya mampu membuka dinamika berpikir masyarakat dari kelas bawah hingga elite.

Mengamputasi Kekerasan Kepada Wartawan
Kekerasan kepada wartawan tidak bisa hilang hanya dengan kata 'maaf'. Apa yang dilakukan oknum TNI terhadap sejumlah wartawan saat meliput jatunya pesawat TNI AU di Riau beberapa hari lalu harus dituntaskan dengan prosedur hukum yang berlaku. Tindakan itu bisa mendapatkan sanksi tegas. Sehingga, kejadian yang sama tidak terulang lagi.

Yang paling penting, penuntasan atas tindakan kekerasan terhadap para wartawan ini akan memberi efek anti kekerasaan kepada semua komponen masyarakat di tanah air. Sebab logikanya, kepada elemen (wartawan) yang sudah dipayungi hukum (pers) bisa ada tindakan kekerasan, apalagi kepada masyarakat sipil yang lain? Kondisi ini akan menimbulkan teror phisikologis kepada semua masyarakat.  Semua masyarakat di tanah air ini penulis yakin sepakat 'benci kekerasan'. Sehingga, anarkhisme kepada para wartawan harus kita lawan.

*Mantan Wartawan Radar Madura Jawa Pos Group, saat ini Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Aqidah Usymuni (STITA) Tarate Pandian Sumenep.
email: lembayung_88@yahoo.com


12.40 | 0 komentar | Read More

Film Minah Tetap Dipancung Menyentuh Hati

Film Minah Tetap Dipancung Menyentuh Hati

Penulis: Stefanus Osa Triyatna | Selasa, 23 Oktober 2012 | 12:14 WIB

K25-11

Hamzah bin Yunus (31), TKI asal dusun Lemo, Desa katumbangan Lemo, Kecamatan Campalagian, Polewali mandar, Sulawesi barat kini menanti hukuman pancung. Putra ketiga pasangan Yunus dan Icci ini dituduh membunuh warga Negara Malaysia

TERKAIT:

JAKARTA, KOMPAS.com - Kisah lama "Minah Tetap Dipancung" masih menyentuh hati. Tak ada tepukan tangan, karena kisah tenaga kerja Indonesia yang difilmkan karya Denny JA-Hanung Bramantyo itu tidak berakhir menggembirakan.

Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dita Indah Sari yang menghadiri pemutaran film dan diskusi yang diselenggarakan Yayasan Denny JA di sebuah kafe di Jakarta, Selasa (23/10/2012), mengatakan, "Awal yang buruk untuk memulai diskusi. Menyedihkan. Terkondisikan marah nih penontonnya."

Dita mengatakan, jangan-jangan setelah nonton film ini, kita benci dengan orang Arab Saudi. Alkisah nyata Minah atau Aminah, TKI yang bekerja di Arab Saudi ini memang menyentuh hati. Film ini adalah salah satu dari lima film yang ditampilkan dalam Pekan Tanpa Diskriminasi. Namun, Dita yang mantan aktivis buruh yang dahulu keras mengkritik pemerintah justru mengatakan, "Mudah-mudahan saja, Yayasan Denny JA tidak lupa membuat film tentang TKI yang sukses. Ini sebagai penyeimbang."


12.40 | 0 komentar | Read More

Wayang Orang Kolaborasi Tiga Pastur

Written By Unknown on Senin, 22 Oktober 2012 | 12.40

Wayang Orang Kolaborasi Tiga Pastur

Penulis: S Jumar Sudiyana, Wartawan Radio Sonora | Sabtu, 20 Oktober 2012 | 20:52 WIB

KOMPAS.com - Seorang Pastur atau Imam memimpin suatu ibadah misa kemudian membawakan khotbah adalah hal yang biasa. Tetapi apa jadinya jika tiga orang Pastur berkolaborasi dalam pertunjukan seni wayang orang pasti sesuatu yang langka.

Itulah yang terjadi di Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Jumat (19/10/2012) malam. Tiga Orang Imam Katholik yakni Romo Martinus Hadiwijoyo Pr, Romo Alfonsus Setyo Gunawan Pr, dan Romo Yohanes Radityo Wisnu Pr menjadi pelaku seni peran dalam Pertunjukan Wayang Orang dengan Lakon 'Semar Mbangun Kamulyan'.

Menurut Sang Sutradara, Ardi Kurdi pertunjukan ini sebagai bentuk apresiasi terhadap karya budaya sendiri yang adiluhung, yang saat ini cenderung ditinggalkan kaum muda.

"Kaum muda saat ini cenderung meninggalkan budaya sendiri dan lebih memilih karya seni dari budaya luar, sehingga pertunjukan ini kami adakan," ujarnya.

Ardi Kurdi menambahkan dengan keberadaan seni wayang orang ini, secara tidak langsung akan mempertahankan budaya negeri yang semakin ditinggalkan dan dijauhi.

'Semar Mbabar Kamulyan' bercerita tentang upaya menggagalkan Perang Bharatayudha antara Keluarga Pandawa dan Kurawa dengan syarat memberikan Prabu Kresna dan Kyai Semar sebagai tumbal.

Prabu Kresna sebagai keluarga Pandawa yang hadir dalam pertemuan dengan para begawan menolak karena Perang Bharatayudha adalah takdir yang tidak bisa dihindari.

Sementara Kyai Semar mau menjadi tumbal agar perang saudara tersebut tidak terjadi dengan cara dibakar di hutan oleh Arjuna, namun pada akhirnya setelah dibakar Kyai Semar berubah wujud menjadi Bambang Cahyo Buwono.

Di akhir cerita terjadilah perang tanding antara Bambang Cahyo Buwono dengan Begawan Kilat Buwono yang merupakan pencetus upaya mengagalkan Perang Bharatayudha dengan mengorbankan Kresna dan Semar.

Dalam perang tanding tersebut Bambang Cahyo Buwono berubah wujud asalnya Kyai Semar sedangkan Begawan Kilat Buwono berubah menjadi Bathara Guru.

Alasan Bathara Guru melakukan hal tersebut hanya menguji kesetiaan Prabu Kresna dan Kyai Semar terhadap Pandawa yang notabene adalah para ksatria utama sebagai pembela kebenaran dan keadilan.

Pertunjukan Seni Wayang Orang ini merupakan persembahan Paguyuban Pecinta Seni Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu bekerja sama dengan Wayang Orang Bharata serta Radio Sonora Jakarta.


12.40 | 0 komentar | Read More

Gebyar Budaya Semalam di Madura Dianggap Sakral

Gebyar Budaya Semalam di Madura Dianggap Sakral

Penulis: Kontributor Pamekasan, Taufiqurrahman | Sabtu, 20 Oktober 2012 | 23:18 WIB

PAMEKASAN, KOMPAS.com - Gebyar Kebudayaan Madura yang dikemas dalam kegiatan Semalam di Madura di Kabupaten Pamekasan, Sabtu (20/10/2012) malam dibuka dengan tarian Muang Belei atau tarian membuang bahaya.

Tarian yang dimainkan sanggar tari siswi salah satu SMK di Pamekasan itu mendapat samburan meriah dari undangan yang hadir, termasuk tiga turis asing dari Australia dan Kanada.

Budayawan Pamekasan Yoyok R Effendi mengatakan, tarian itu merupakan pembuka dari setiap acara yang dianggap sakral. Karena dalam tarian Muang Belei itu, mengandung makna pemasrahan diri kepada Yang Mahakuasa atas segala sisi kehidupan.

Selain tari Muang Belei, ada beberapa penampilan lainnya yang disajikan kepada para tamu, seperti Kabupaten Sampang yang menampilkan tarian Bul Ombul Kerrapan Sape. Tarian ini sebagai bentuk kebanggan budaya kerapan sapi di Madura yang sudah dikenal di banyak mancanegara.

Sementara Kabupaten Bangkalan menampilkan tarian Hadrah Jidor.

Gebyar Semalam di Madura kali ini digelar di tempat yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau tahun-tahun sebelumnya ditempatkan di area Monumen Arek Lancor Pamekasan, tahun ini ditempatkan di Pendopo Ronggosukowati.

Meskipun ada perubahan tempat penyelenggaran, antusiasme warga untuk menyaksikan parade kebudayaan empat kabupten di Madura tetap semarak.

Herman Kusnadi ketua panitia Gebyar Semalam di Madura mengatakan, kegiatan kebudayaan Semalam di Madura rutin digelar setiap tahun. Tujuannya untuk mempromosikan segala kesenian dan kebudayaan yang ada di Madura, baik untuk wisatawan domistik maupun wisatawan mancanegara.

"Kegiatan ini juga mengangkat perekonomian warga Pamekasan karena pelaku-pelaku ekonomi bisa meraih keuntungan dengan berbelanja di Pamekasan," kata Herman Kusnadi.

Kegiatan ini pula diselingi dengan penampilan maha karya batik Pamekasan. Batik-batik itu diperagakan Kacong dan Cebbing Pamekasan. Cristine Hakim, artis senior papan atas, yang turut hadir, kagum dengan penampilan kesenian dan beberapa batik hasil karya para pengrajin Pamekasan.


12.40 | 0 komentar | Read More

Wayang Orang Kolaborasi Tiga Pastur

Written By Unknown on Minggu, 21 Oktober 2012 | 12.40

Wayang Orang Kolaborasi Tiga Pastur

Penulis: S Jumar Sudiyana, Wartawan Radio Sonora | Sabtu, 20 Oktober 2012 | 20:52 WIB

KOMPAS.com - Seorang Pastur atau Imam memimpin suatu ibadah misa kemudian membawakan khotbah adalah hal yang biasa. Tetapi apa jadinya jika tiga orang Pastur berkolaborasi dalam pertunjukan seni wayang orang pasti sesuatu yang langka.

Itulah yang terjadi di Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Jumat (19/10/2012) malam. Tiga Orang Imam Katholik yakni Romo Martinus Hadiwijoyo Pr, Romo Alfonsus Setyo Gunawan Pr, dan Romo Yohanes Radityo Wisnu Pr menjadi pelaku seni peran dalam Pertunjukan Wayang Orang dengan Lakon 'Semar Mbangun Kamulyan'.

Menurut Sang Sutradara, Ardi Kurdi pertunjukan ini sebagai bentuk apresiasi terhadap karya budaya sendiri yang adiluhung, yang saat ini cenderung ditinggalkan kaum muda.

"Kaum muda saat ini cenderung meninggalkan budaya sendiri dan lebih memilih karya seni dari budaya luar, sehingga pertunjukan ini kami adakan," ujarnya.

Ardi Kurdi menambahkan dengan keberadaan seni wayang orang ini, secara tidak langsung akan mempertahankan budaya negeri yang semakin ditinggalkan dan dijauhi.

'Semar Mbabar Kamulyan' bercerita tentang upaya menggagalkan Perang Bharatayudha antara Keluarga Pandawa dan Kurawa dengan syarat memberikan Prabu Kresna dan Kyai Semar sebagai tumbal.

Prabu Kresna sebagai keluarga Pandawa yang hadir dalam pertemuan dengan para begawan menolak karena Perang Bharatayudha adalah takdir yang tidak bisa dihindari.

Sementara Kyai Semar mau menjadi tumbal agar perang saudara tersebut tidak terjadi dengan cara dibakar di hutan oleh Arjuna, namun pada akhirnya setelah dibakar Kyai Semar berubah wujud menjadi Bambang Cahyo Buwono.

Di akhir cerita terjadilah perang tanding antara Bambang Cahyo Buwono dengan Begawan Kilat Buwono yang merupakan pencetus upaya mengagalkan Perang Bharatayudha dengan mengorbankan Kresna dan Semar.

Dalam perang tanding tersebut Bambang Cahyo Buwono berubah wujud asalnya Kyai Semar sedangkan Begawan Kilat Buwono berubah menjadi Bathara Guru.

Alasan Bathara Guru melakukan hal tersebut hanya menguji kesetiaan Prabu Kresna dan Kyai Semar terhadap Pandawa yang notabene adalah para ksatria utama sebagai pembela kebenaran dan keadilan.

Pertunjukan Seni Wayang Orang ini merupakan persembahan Paguyuban Pecinta Seni Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu bekerja sama dengan Wayang Orang Bharata serta Radio Sonora Jakarta.


12.40 | 0 komentar | Read More

Gebyar Budaya Semalam di Madura Dianggap Sakral

Gebyar Budaya Semalam di Madura Dianggap Sakral

Penulis: Kontributor Pamekasan, Taufiqurrahman | Sabtu, 20 Oktober 2012 | 23:18 WIB

PAMEKASAN, KOMPAS.com - Gebyar Kebudayaan Madura yang dikemas dalam kegiatan Semalam di Madura di Kabupaten Pamekasan, Sabtu (20/10/2012) malam dibuka dengan tarian Muang Belei atau tarian membuang bahaya.

Tarian yang dimainkan sanggar tari siswi salah satu SMK di Pamekasan itu mendapat samburan meriah dari undangan yang hadir, termasuk tiga turis asing dari Australia dan Kanada.

Budayawan Pamekasan Yoyok R Effendi mengatakan, tarian itu merupakan pembuka dari setiap acara yang dianggap sakral. Karena dalam tarian Muang Belei itu, mengandung makna pemasrahan diri kepada Yang Mahakuasa atas segala sisi kehidupan.

Selain tari Muang Belei, ada beberapa penampilan lainnya yang disajikan kepada para tamu, seperti Kabupaten Sampang yang menampilkan tarian Bul Ombul Kerrapan Sape. Tarian ini sebagai bentuk kebanggan budaya kerapan sapi di Madura yang sudah dikenal di banyak mancanegara.

Sementara Kabupaten Bangkalan menampilkan tarian Hadrah Jidor.

Gebyar Semalam di Madura kali ini digelar di tempat yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau tahun-tahun sebelumnya ditempatkan di area Monumen Arek Lancor Pamekasan, tahun ini ditempatkan di Pendopo Ronggosukowati.

Meskipun ada perubahan tempat penyelenggaran, antusiasme warga untuk menyaksikan parade kebudayaan empat kabupten di Madura tetap semarak.

Herman Kusnadi ketua panitia Gebyar Semalam di Madura mengatakan, kegiatan kebudayaan Semalam di Madura rutin digelar setiap tahun. Tujuannya untuk mempromosikan segala kesenian dan kebudayaan yang ada di Madura, baik untuk wisatawan domistik maupun wisatawan mancanegara.

"Kegiatan ini juga mengangkat perekonomian warga Pamekasan karena pelaku-pelaku ekonomi bisa meraih keuntungan dengan berbelanja di Pamekasan," kata Herman Kusnadi.

Kegiatan ini pula diselingi dengan penampilan maha karya batik Pamekasan. Batik-batik itu diperagakan Kacong dan Cebbing Pamekasan. Cristine Hakim, artis senior papan atas, yang turut hadir, kagum dengan penampilan kesenian dan beberapa batik hasil karya para pengrajin Pamekasan.


12.40 | 0 komentar | Read More

Putu Wijaya dan Hamsad Rangkuti Dijenguk Dahlan Iskan

Written By Unknown on Sabtu, 20 Oktober 2012 | 12.40

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri BUMN Dahlan Iskan baru saja menjenguk seniman sekaligus sastrawan Putu Wijaya dan Hamsad Rangkuti di RS Siloam Karawaci Tangerang. Dahlan bersimpati kepada dua sastrawan senior tersebut. "Kita sungguh bersyukur keduanya memperoleh kemajuan yang sangat besar," kata Dahlan di Jakarta, Jumat (19/10/2012).

Menurut Dahlan, Putu sudah bisa bercakap-cakap dan genggaman tangan kanannya sudah sangat kuat. Apalagi saat Dahlan mengajak mencoba bersalaman. Putu pun sambil tersenyum dan mengajak bergantian salaman, walaupun dengan tangan kiri. Meski belum sekuat tangan kanan tapi cengkeramannya sudah bertenaga.

"Saat saya jenguk Putu sedang latihan terus menguatkan tangannya. Matanya juga langsung mengenali saya dan dia terus latihan memindah-mindahkan bola matanya. Wajahnya segar dan penuh semangat. Saya melihat tanda-tanda menuju kesembuhan yang sempurna dari strokenya meski masih memerlukan waktu," katanya.

Sementara Hamsad Rangkuti juga sudah melewati masa kritisnya setelah menjalani operasi bypass jantung. Meski masih sambil berbaring telentang tapi matanya sudah lansung mengenali siapa yang datang dan wajahnya juga segar penuh semangat. "Hamsad juga sudah bisa saya ajak bercakap-cakap dan tekanan suaranya juga jelas. Ketika saya goda bahwa seseorang yang sukses operasi jantung itu fisiknya bisa seperti 10 tahun lebih muda, Hamsad tersenyum lebar. Saya juga melihat tanda-tanda menuju kesembuhan yang sangat baik," tambahnya.

Sekadar catatan, Hamsad Rangkuti merupakan penulis kelahiran Medan, Sumatera Utara, 7 Mei 1943. Dia sempat dirawat di rumah sakit pada Januari lalu. Saat itu, ia harus buang air kecil melalui perut dan makan memakai selang melalui hidung. Dia lalu menjalani operasi pemasangan cincin untuk menormalkan buang airnya.

Untuk membantu meringankan beban keluarga Hamsad, para seniman dan penggemarnya saat itu menggalang dana melalui berbagai jalur, termasuk Twitter dan Facebook. Penulis cerita pendek terkenal "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu" itu adalah salah satu seniman penanda tangan Manifes Kebudayaan pada 1964--pernyataan para seniman yang menolak politik sebagai panglima. Presiden Soekarno melarang kelompok itu karena dinilai menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik yang ia tetapkan.

Hamsad menulis cerita pendek sejak 1962 dan pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Horison. Dia telah menerbitkan kumpulan cerpen Lukisan Perkawinan (1982), Cemara (1982), Sampah Bulan Desember (2000), dan Bibir dalam Pispot (2003), yang mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award. Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah, mendapat hadiah harapan pada Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 1981.

Sementara Putu Wijaya saat ini sedang mengalami stroke dan pendarahan pada batang otaknya. Putu wijaya adalah seniman serba bisa. Lelaki pemilik nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang lahir di Tabanan, Bali, 11 April 1944 itu adalah penulis drama, cerpen, esai, novel serta skenario film dan sinetron.

Editor :

Erlangga Djumena


12.40 | 0 komentar | Read More

Mengenalkan Indonesia Lewat Topeng

Mengenalkan Indonesia Lewat Topeng

Penulis: Jodhi Yudono | Jumat, 19 Oktober 2012 | 11:45 WIB

KOMPAS.com - Singapura sudah senja, langit di atas Marina Bay Sands sudah kelabu. Di Art Science Museum yang terletak di salah satu sudut Marina Bay, serombongan wartawan nampak mulai berdatangan di lobinya.

Sebagian memotret sepasang lelaki-perempuan yang didandani mirip peserta karnaval yang menyandang busana bertema metamorfosa batik, sementara yang lainnya mengurus perlengkapan liputan.

Tak berapa lama, panitia mempersilakan pengunjung naik ke lantai empat. Memasuki ruang pameran, pengunjung disambut segelas koktail dan beberapa topeng yg dipajang di etalase.

Selanjutnya, sambil menikmati minuman dan penganan kecil, tetamu diarahkan memasuki ruang pertunjukan.

Nicaya, Direktur Promosi Pariwisata Luar Negeri Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memperkenalkan seniman yg mendukung acara, di antaranya Rama Suprapto yang bertindak sebagai sutradara pertunjukan "Tari Topeng" dan Rahayu Supanggah selaku aranjer musik pengiring tari.

"Singapura adalah negara yg penting bagi Indonesia, bukan saja sebagai salah satu pasar utama Indonesia, Singapura sebagai pusat pergaulan dunia juga menjadi pintu gerbang seni dan wisata Indonesia agar dikenal oleh dunia," sambut Niscaya dalam bahasa Inggris.

Selanjutnya, Nis mempersilakan kepada warga Singpura untuk menyaksikan pameran yg digelar mulai 18 hingga 21 Oktober 2012.

Pameran bertajuk "The Majestic Mask" yang digagas oleh Kemparekraf ini menampilkan 44 buah topeng dari berbagai daerah.

Dalam pergelaran ini, juga dilibatkan dua institusi yang memiliki kepedulian terhadap budaya topeng, yakni Yayasan Prima Tana dan Rumah Topeng, serta Wayang Setia Darma.


12.40 | 0 komentar | Read More

Putu Wijaya dan Hamsad Rangkuti Dijenguk Dahlan Iskan

Written By Unknown on Jumat, 19 Oktober 2012 | 12.40

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri BUMN Dahlan Iskan baru saja menjenguk seniman sekaligus sastrawan Putu Wijaya dan Hamsad Rangkuti di RS Siloam Karawaci Tangerang. Dahlan bersimpati kepada dua sastrawan senior tersebut. "Kita sungguh bersyukur keduanya memperoleh kemajuan yang sangat besar," kata Dahlan di Jakarta, Jumat (19/10/2012).

Menurut Dahlan, Putu sudah bisa bercakap-cakap dan genggaman tangan kanannya sudah sangat kuat. Apalagi saat Dahlan mengajak mencoba bersalaman. Putu pun sambil tersenyum dan mengajak bergantian salaman, walaupun dengan tangan kiri. Meski belum sekuat tangan kanan tapi cengkeramannya sudah bertenaga.

"Saat saya jenguk Putu sedang latihan terus menguatkan tangannya. Matanya juga langsung mengenali saya dan dia terus latihan memindah-mindahkan bola matanya. Wajahnya segar dan penuh semangat. Saya melihat tanda-tanda menuju kesembuhan yang sempurna dari strokenya meski masih memerlukan waktu," katanya.

Sementara Hamsad Rangkuti juga sudah melewati masa kritisnya setelah menjalani operasi bypass jantung. Meski masih sambil berbaring telentang tapi matanya sudah lansung mengenali siapa yang datang dan wajahnya juga segar penuh semangat. "Hamsad juga sudah bisa saya ajak bercakap-cakap dan tekanan suaranya juga jelas. Ketika saya goda bahwa seseorang yang sukses operasi jantung itu fisiknya bisa seperti 10 tahun lebih muda, Hamsad tersenyum lebar. Saya juga melihat tanda-tanda menuju kesembuhan yang sangat baik," tambahnya.

Sekadar catatan, Hamsad Rangkuti merupakan penulis kelahiran Medan, Sumatera Utara, 7 Mei 1943. Dia sempat dirawat di rumah sakit pada Januari lalu. Saat itu, ia harus buang air kecil melalui perut dan makan memakai selang melalui hidung. Dia lalu menjalani operasi pemasangan cincin untuk menormalkan buang airnya.

Untuk membantu meringankan beban keluarga Hamsad, para seniman dan penggemarnya saat itu menggalang dana melalui berbagai jalur, termasuk Twitter dan Facebook. Penulis cerita pendek terkenal "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu" itu adalah salah satu seniman penanda tangan Manifes Kebudayaan pada 1964--pernyataan para seniman yang menolak politik sebagai panglima. Presiden Soekarno melarang kelompok itu karena dinilai menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik yang ia tetapkan.

Hamsad menulis cerita pendek sejak 1962 dan pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Horison. Dia telah menerbitkan kumpulan cerpen Lukisan Perkawinan (1982), Cemara (1982), Sampah Bulan Desember (2000), dan Bibir dalam Pispot (2003), yang mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award. Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah, mendapat hadiah harapan pada Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 1981.

Sementara Putu Wijaya saat ini sedang mengalami stroke dan pendarahan pada batang otaknya. Putu wijaya adalah seniman serba bisa. Lelaki pemilik nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang lahir di Tabanan, Bali, 11 April 1944 itu adalah penulis drama, cerpen, esai, novel serta skenario film dan sinetron.

Editor :

Erlangga Djumena


12.40 | 0 komentar | Read More

Mengenalkan Indonesia Lewat Topeng

Mengenalkan Indonesia Lewat Topeng

Penulis: Jodhi Yudono | Jumat, 19 Oktober 2012 | 11:45 WIB

KOMPAS.com - Singapura sudah senja, langit di atas Marina Bay Sands sudah kelabu. Di Art Science Museum yang terletak di salah satu sudut Marina Bay, serombongan wartawan nampak mulai berdatangan di lobinya.

Sebagian memotret sepasang lelaki-perempuan yang didandani mirip peserta karnaval yang menyandang busana bertema metamorfosa batik, sementara yang lainnya mengurus perlengkapan liputan.

Tak berapa lama, panitia mempersilakan pengunjung naik ke lantai empat. Memasuki ruang pameran, pengunjung disambut segelas koktail dan beberapa topeng yg dipajang di etalase.

Selanjutnya, sambil menikmati minuman dan penganan kecil, tetamu diarahkan memasuki ruang pertunjukan.

Nicaya, Direktur Promosi Pariwisata Luar Negeri Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memperkenalkan seniman yg mendukung acara, di antaranya Rama Suprapto yang bertindak sebagai sutradara pertunjukan "Tari Topeng" dan Rahayu Supanggah selaku aranjer musik pengiring tari.

"Singapura adalah negara yg penting bagi Indonesia, bukan saja sebagai salah satu pasar utama Indonesia, Singapura sebagai pusat pergaulan dunia juga menjadi pintu gerbang seni dan wisata Indonesia agar dikenal oleh dunia," sambut Niscaya dalam bahasa Inggris.

Selanjutnya, Nis mempersilakan kepada warga Singpura untuk menyaksikan pameran yg digelar mulai 18 hingga 21 Oktober 2012.

Pameran bertajuk "The Majestic Mask" yang digagas oleh Kemparekraf ini menampilkan 44 buah topeng dari berbagai daerah.

Dalam pergelaran ini, juga dilibatkan dua institusi yang memiliki kepedulian terhadap budaya topeng, yakni Yayasan Prima Tana dan Rumah Topeng, serta Wayang Setia Darma.


12.40 | 0 komentar | Read More

Puisi-puisi Putu Gede Pradipta

Written By Unknown on Kamis, 18 Oktober 2012 | 12.40

Puisi-puisi Putu Gede Pradipta

Rabu, 17 Oktober 2012 | 22:08 WIB

Mata Kail

yang bersangkutan
ditembus oleh kilau
seujung runcing itu
adalah doa terakhir
dari semulut samun
jelang senar terulur
di mana pemancing
ia belia dan peragu
di ruas dadanya itu
tak ada sepuisi pun

2012

Kutuk Buah

terpukat taring
habis tersesapi
terendap kulai
sendiri bersepi
dan bara nyawa
sekibasan angin
segantung bijih
hanya kilas isi
belumlah puisi

2012

Kontemplasi Batu

berdiam seutuh
mengukuhi bisu
sepatut berpaut
meruapkan tuah
mewujud si besi
meredam ketuk
yang sunyi nyali
capai nyanyi hati
berakhir ia puisi

2012

Lembu

Cermin pecah melampaui retak usia
Merah suam merakit bebilah bambu

Kini jelaslah gambar nujum maut itu
Membentuk tubuh berwujud lembu

Yang menyuarakan lenguh umpama
Dari sekian langkahnya yang berima

Sebelum sampai mencapai bukit alusi
Dengan empat kaki sepantas tangguh

Adalah bosan lebih dulu mengutuknya
Tergelincir dari bait ke bait berlanjut

Sesisa harap setimpang cahaya mata
Merampungkan bayang-bayang hulu

Lalu lembu memiuh dari cermin puisi
Kiasan yang ampuh memuslihatkan isi

Dan merah suam menjelma kau kini
Lembu lanjut usia lampau ingin belia

2012

Putu Gede Pradipta adalah Mahasiswa semester 1 Program Studi Bahasa dan Sastra Universitas Dwijendra Denpasar. Bergiat di Kelompok Menulis.


12.40 | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger