Ironi Kriminalisasi Pers

Written By Unknown on Selasa, 23 Oktober 2012 | 12.40

Oleh Oleh Zaitur Rahem

Tindak kekerasan terhadap sejumlan wartawan rupanya tak pernah ada habisnya. Kali ini tindak kekerasan menimpa sejumlah wartawan yang berusaha mengambil gambar jatuhnya pesawat tempur TNI Angkatan Udara Jenis Hawk 100/200 di area pemukiman warga kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau (Kompas/16/10).

Dalam rilisan sejumlah media masa, aksi kekerasan dilakukan oleh oknum TNI kepada para wartawan dengan merampas kamera, memukuli dan mencekik para awal media. Tindak kekerasan ini sangat menyakitkan. Bukan saja karena kekerasan fisik yang menimpa para jurnalis tanah air. Akan tetapi, tindakan oknum petugas ini sangat tidak apresiatif, komunikatif dan belas kasih, dan tidak terdidik. Dalam perspektif apapun, tindak kekerasan ini tidak dibenarkan. Baik dari perspektif hukum negara dan moralitas kebangsaan.

Kekerasan yang dilakukan oknum TNI kepada sejumlah wartawan ini melukai hati masyarakat Indonesia. Sebab, pada prinsipnya kehadiran para wartawan ini betugas menyampaikan informasi kepada khalayak. Posisi para wartawan (cetak dan elektronik) adalah sebagai kepanjangan tangan dari Masyarakat. Berdasarkan garisan UUD negara, semua masyarakat berhak memperoleh informasi yang memang sepantasnya layak diinformasikan.

Tak hanya itu, posisi wartawan juga bertugas memberikan pembelajaran penyajian informasi yang mencerahkan kepada bangsa Indonesia. Ada sekian para wartawan yang bahu-bahu membahu menjalankan tugasnya memburu informasi untuk disampaikan kepada masyarakat. Kehadiran para wartawan ini sejak awal dipandang integral dan strategis. Sehingga, memasung tugas dan fungsi para wartawan sama hanya dengan memangkas wibawa masyarakat sebagai pemegang kuasa di ngeri ini. Kekerasan terhadap para wartawan dalam kasus di Riau beberapa hari lalu menimbulkan aneka asumsi kepada petugas. Pertama, kesadaran toleransi seperti diamanatkan Pancasila belum sepenuhnya terealisasi. Sebab, tindak kekerasan ini tidak berperikemanusiaan dan tidak mencerminkan bangsa yang beradab. Tindakan kekerasan oleh oknum TNI Angkatan Udara ini, sekali lagi sudah menyakiti hati para pekerja media di belahan tanah air.

Kedua, ruh demokrasi yang mengedepankan prinsip keterbukaan hanya sekedar wacana. Sementara dalam takaran operasional-kongritnya pemaknaan demokrasi ibarat ikan dalam kaca hias. Demokrasi bukan gengsi, namun harmonisasi dalam berkomunikasi, berdiskusi dan transformasi. Sehingga, tindakan kekerasan tidak diperbolehkan di negeri ini. Tugas pokok wartawan adalah mebedah kekakuan dalam berbagi informasi, komunikasi dan transformasi pengetahuan dan pengalaman baru (aktual).

Berburu informasi aktual bagi para watawan sudah menjadi kewajiban. Sebab, kekuatan aktualitas ini akan membuktikan kompetensi dan militansi mereka untuk menyajikan informasi yang terbaik kepada masyarakat. Kejadian jatuhnya pesawat TNI AU di Riau beberapa hari lalu jelas menarik perhatian para wartawan. Kejadian tersebut memiliki nilai berita yang tinggi. Sehingga, para wartawan (baik cetak atau TV) akan berusaha paling cepat mendapatkan berita itu.

Ketiga, ada misi mengebiri kritisisme jurnalis Indonesia. Sejak dulu, kiprah para wartawan tanah air tidak diragukan. Mereka menjalankan tugas kewartawanannya dengan setia memegang teguh kode etik jurnalis. Apa yang mereka sajikan adalah apa yang mereka kuat dari pelacakan data dan fakta. Sajian data dan fakta ini kemudian menjadi lieterasi kuat akan fungsi wartawan sebagai penyampai informasi dan kontrol sosial dan kebijakan. Kekuatan sajian informasi ini dampaknya mampu membuka dinamika berpikir masyarakat dari kelas bawah hingga elite.

Mengamputasi Kekerasan Kepada Wartawan
Kekerasan kepada wartawan tidak bisa hilang hanya dengan kata 'maaf'. Apa yang dilakukan oknum TNI terhadap sejumlah wartawan saat meliput jatunya pesawat TNI AU di Riau beberapa hari lalu harus dituntaskan dengan prosedur hukum yang berlaku. Tindakan itu bisa mendapatkan sanksi tegas. Sehingga, kejadian yang sama tidak terulang lagi.

Yang paling penting, penuntasan atas tindakan kekerasan terhadap para wartawan ini akan memberi efek anti kekerasaan kepada semua komponen masyarakat di tanah air. Sebab logikanya, kepada elemen (wartawan) yang sudah dipayungi hukum (pers) bisa ada tindakan kekerasan, apalagi kepada masyarakat sipil yang lain? Kondisi ini akan menimbulkan teror phisikologis kepada semua masyarakat.  Semua masyarakat di tanah air ini penulis yakin sepakat 'benci kekerasan'. Sehingga, anarkhisme kepada para wartawan harus kita lawan.

*Mantan Wartawan Radar Madura Jawa Pos Group, saat ini Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Aqidah Usymuni (STITA) Tarate Pandian Sumenep.
email: lembayung_88@yahoo.com


Anda sedang membaca artikel tentang

Ironi Kriminalisasi Pers

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2012/10/ironi-kriminalisasi-pers.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Ironi Kriminalisasi Pers

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Ironi Kriminalisasi Pers

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger