Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts Today

"Solo Menari 24 Jam" Peringati Hari Tari Dunia

Written By Unknown on Senin, 29 April 2013 | 12.40

SOLO, KOMPAS.com - Sebanyak 3.500 penari dari 129 grup yang berasal dari berbagai pelosok Tanah Air memeriahkan "Solo Menari 24 Jam" untuk merayakan Hari Tari Dunia di Solo, Senin.

Empu Tari tersebut selama menari 24 jam membawakan karya-karyanya seperti tari-tari dasar yaitu Lantoyo, Pamungkas, Gunungsari, Dwi Asmoro, Keblat Papat Lima Pancer dan lain-lain

Rektor ISI Solo T. Slamet Suparno mengatakan, peringatan Hari Tari Dunia yang digagas Jurusan Tari ISI Solo itu merupakan peringatan yang ketujuh, bahkan ISI Denpasar, Bali juga menggelar kegiatan serupa untuk tahun ini.

"Melalui kegiatan seperti ini diharapkan seni tari akan mendunia, baik yang modern tradisional maupun yang lain, dan semakin banyak melibatkan para generasi muda," katanya.

Ketua Panitia Hari Tari Dunia Solo Sri Rochana mengatakan peringatan Hari Tari Dunia ke-7 yang digelar di Solo itu diawali dari Gedung Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Solo pada pukul 06.00 WIB.  Setelah itu, Empu Tari ISI Solo Wahyu Santoso Prabowo tampil menari selama 24 jam tanpa istirahat dengan diikuti oleh dosen-dosen tari lainnya, di antaranya Rustini, Ninik, Daryono dan Nuryanto.

"Empu Tari tersebut selama menari 24 jam membawakan karya-karyanya seperti tari-tari dasar yaitu Lantoyo, Pamungkas, Gunungsari, Dwi Asmoro, Keblat Papat Lima Pancer dan lain-lain," katanya.

Setelah Wahyu menari di Kanopi Gedung Jurusan Tari yang didampingi para dosen beserta mahasiswa ISI Jurusan Tari dengan diiringi gamelan terus melanjutkan jalan kaki menuju Gedung Rektorat ISI dan setelah itu terus menuju Pendapa ISI Solo.

Kegiatan bertama "Tradisi Menginpirasi Dunia" itu hampir separuh lebih diikuti oleh generasi muda dari anak-anak sekolah dan sanggar-sanggar tari yang ada di Solo maupun daerah lainnya.

Selain di kompleks kampus ISI Solo, kegiatan juga dilakukan di beberapa tempat, seperti di Bandara Adisumarmo yang penarinya dari para pelajar SMK Negeri 8 Solo, di Taman Sriwedari, dan untuk di Jalan Jenderal Sudirman (depan Bank Indonesia) akan diikuti Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo dan Wakilnya Achmad Purnomo.

"Untuk kegiatan tari di depan Bank Indonesia Solo akan dimulai pukul 14.00 WIB yang melibatkan 400 penari lebih, termasuk di antaranya Wali Kota Surakarta yang akan memakai kostum wyang Werkudara dan Wakil Wali Kota pakai Puntadewa," katanya.

Ribuan penari itu berasal dari Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Sulawesi, Kalimantan, Cirebon, Semarang dan lain-lain. "Ya mereka itu datang ke Solo dengan biaya sendiri dan memang ingin berpartisipasi untuk memperingati Hari Tari Dunia," katanya.

Hingga informasi ini dilaporkan pada pukul 09.00 WIB, Wahyu yang menari selama 24 jam tanpa jedah masih terus berlangsung di Pendapa ISI Solo dan juga diikuti oleh penari-penari lainnya di tempat tersebut.


12.40 | 0 komentar | Read More

Tayangan di Bulan Ramadhan Harus Mendidik

Tayangan di Bulan Ramadhan Harus Mendidik

Senin, 29 April 2013 | 09:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengimbau agar tayangan televisi di bulan Ramadhan harus lebih mendidik dan religius. "Kami mengimbau supaya tayangan lebih mengajak masyarakat untuk religius dan mendidik," kata Tifatul pada "breakfast meeting" di Jakarta, Senin.

Kami memperoleh laporan bahwa di bulan Ramadhan momentumnya dimanfaatkan sekali oleh televisi. Tolong hilangkan atau kalau tidak bisa dikurangi tayangan yang sifatnya horor, kekerasan dan seks dan mistik

"Breakfast meeting" dilangsungkan bersama para CEO Penyiaran televisi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa asosiasi penyiaran. Sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar pemilik stasiun televisi untuk mengurangi tayangan yang mengandung horor, kekerasan dan seks, termasuk tayangan lawakan memasuki bulan Ramadhan.

"Saya mendukung, kalau memungkinkan tayangan Ramadhan itu mengajak orang untuk lebih religi. 11 bulan orang bergelimang dengan berbagai aktivitas jadi satu bulan untuk menahan diri makanya pada Idul Fitri itu kembali fitrah," tambah Tifatul.

Menurut Tifatul, peraturan-peraturan yang mengatur tentang tayangan televisi sudah lengkap, termasuk undang-undang hanya tinggal kebijakan dari pengambil keputusan dan rumah produksi.

Dalam pertemuan dengan pimpinan media televisi tersebut, diharapkan usulan dari MUI untuk mengurangi tayangan yang bersifat kurang religius dilakukan. "Mohon dipahami, imbauan ini untuk kebaikan bangsa kita ke depan. Orang kalau lebih religius dia lebih bisa menahan diri," ujar Tifatul.

Sebelumnya Ketua bidang Infokom MUI Sinansari Ecip mengatakan sudah enam tahun terakhir MUI mencermati tayangan-tayangan Ramadhan. "Kami memperoleh laporan bahwa di bulan Ramadhan momentumnya dimanfaatkan sekali oleh televisi. Tolong hilangkan atau kalau tidak bisa dikurangi tayangan yang sifatnya horor, kekerasan dan seks dan mistik," ucap Sinansari.

Ia juga berharap tayangan-tayangan yang mengandung unsur-unsur negatif tersebut bisa dikurangi bukan hanya pada bulan Ramadhan.


12.40 | 0 komentar | Read More

Membahas Sejarah "Misteri Gajah Mada Islam"

Written By Unknown on Sabtu, 27 April 2013 | 12.40

Oleh Sufyan al Jawi, Arkeolog-Numismatis Indonesia

Minat orang untuk membaca buku-buku sejarah sangatlah rendah, mungkin karena terasa menjenuhkan, tidak kreatif, kaku, dan monoton sehingga membosankan. Padahal, membaca sejarah bangsa merupakan kebutuhan akan jati diri kita sebagai penerus generasi bangsa yang besar dalam memotivasi bangkitnya semangat kebangsaan.

Lain halnya bila tokoh pendekar silat, seperti Pendekar Sendang Drajat (PSD) yang mengajak pembacanya untuk membicarakan sejenak kisah sejarah tanpa proses menggurui. Menariknya, Sang Pendekar justru mengungkap cuplikan sejarah Gajah Mada apa adanya, yaitu sejarah yang hingga kini masih diselubungi oleh berbagai misteri atau tanda tanya besar. Jujur saja, karena selama ini tak satu pun sejarawan dapat mengungkap siapa sebenarnya Gajah Mada itu. Mulai dari asal usul, hari tua (masa pensiun), hingga proses kematian Gajah Mada yang misterius. Sungguh ironis! Mengingat peran besar dan kepopuleran nama Gajah Mada yang mempersatukan Nusantara kita.

Dalam beberapa novel tentang Gajah Mada, sebagai seorang arkeolog, saya prihatin tentang kerusakan sejarah yang ditimbulkan oleh para novelis selama ini. Hingga muncul rasa antipati saya terhadap novel-novel berlatar belakang sejarah karena para novelis justru mengacak aduk sejarah dengan fantasi fiksi secara berlebihan, tanpa menghiraukan bahwa hal yang mereka lakukan tersebut justru merusak sejarah yang sedang dibahas dalam novelnya itu. Tragis!

Namun, hal ini yang berbeda dengan penuturan Pendekar Sendang Drajat dalam buku novel keempat berjudul "Misteri Gajah Mada Islam" setebal 215 halaman yang diterbitkan oleh Grafindo Book Media, Jakarta, Februari 2013. Saya sebut saja teknik bertutur ini adalah "Neo Cerita Berbingkai". Teknik yang dipakai mengingatkan pada genre "Cerita Berbingkai" yang dalam khazanah sastra klasik banyak kita baca dalam "Hikayat 1001 Malam". Sang Pendekar yang sedang melacak jejak-jejak sejarah Mahapatih Gajah Mada cukup dapat dikatakan obyektif dalam menceritakan fakta sejarah. Sebab, ketika ada sekelompok "keturunan Gajah Mada" yang mengklaim bahwa Gajah Mada menganut agama Islam dan pernah berguru di Pesantren Gondang, tak serta-merta klaim itu diiyakan. Tetapi, Sang Pendekar justru menelitinya langsung dari mana sumber informasi tersebut berasal. Meskipun juga dikisahkan bahwa Pondok Pesantren Gondang itu merupakan basis pelarian mantan prajurit Tartar-Mongol yang beragama Islam ketika perang besar pembalasan dendam Kubilai Khan terhadap Kerajaan Jawa: Singasari-Kediri.

Pendekar Sendang Drajat kreasi Viddy Ad Daery tidak bercerita mengenai sejarah secara mutlak, hanya berdasarkan klaim-klaim sepihak saja, karena Viddy melalui novel PSD-nya menulis kronologi-kronologi sejarah berdasarkan hasil observasi terbaru yang disandingkan dengan fakta-fakta yang didapat oleh sejarawan pada umumnya. Metode blusukan ala Viddy—juga saya pernah mendampingi—justru mengungkap dan menemukan fakta-fakta baru yang selama ini belum terungkap oleh antropolog, arkeolog, dan filolog dalam menyusun historiografi Nusantara.

Kecaman dan cibiran terhadap karya tulis Viddy tak menyurutkan langkahnya untuk terus menelusuri jejak-jejak sejarah masa silam. Sang Pendekar terus melanglang buana, hingga suatu hari, Nasir Abbas pun (mantan teroris asal Malaysia, sahabat Dr Ashari dan Noordin M Top yang sempat populer) dibuat terkagum-kagum dengan kisah yang dituturkan tentang asal usul nenek moyang Amrozi bersaudara (Trio Trenggulun, pelaku Bom Bali 2002 yang menggemparkan dunia), yang masih Trah Majapahit, dari Trah Bhayangkara-Trenggulun. Itulah kenapa Amrozi menjadi sungguh nekat dan berani menentang adidaya AS dan sekutunya.

Begitu pula ketika buku Pendekar Sendang Drajat sempat menjadi buku pameran di Forum Dialog Borobudur bertema "Maritim Majapahit" yang diselenggarakan oleh Samana Foundation di Hotel Batavia baru-baru ini, yang membuat Romo Muji Sutrisno, Prof Agus Aris Munadar, dan banyak sejarawan serta penulis buku terkagum-kagum ingin segera memiliki buku keempat PSD: Misteri Gajah Mada Islam. Namun sayangnya, buku yang dipamerkan tersebut hanya satu-satunya, itu pun milik Viddy Ad Daery sendiri.

Konon, menurut Viddy—menyitir kabar dari penerbitnya, buku heboh itu sekarang sudah beredar dan saya telah membaca tuntas isinya. Dan, sebagai arkeolog dan pemerhati sejarah dan budaya, saya memberinya rating "bintang sembilan".


12.40 | 0 komentar | Read More

"Gundala Gawat" Teater Gandrik Menggelitik

JAKARTA, KOMPAS.com — Entah siapa yang membuat lakon "Gundala Gawat" jadi lucu, mungkin Gunawan Mohamad yang dibantu oleh Agus Noor dan Whany Darmawan selaku penulis naskah. Namun, boleh jadi adalah para anggota Teater Gandrik yang bertindak sebagai pelakon.

Secara keseluruhan, bangun cerita lakon ini memang mengundang tawa. Bayangkanlah, komikus Hasmi yang menciptakan tokoh Gundala mengumpulkan semua tokoh hero, baik yang diciptakan oleh Hasmi maupun ciptaan komikus lainnya. Para jagoan itu terdiri Gundala Putera Petir, Jin Kartubi, kapten Mlar, Sunbokong, dan Aquanus. Mereka dikumpulkan oleh Hasmi untuk melawan kelompok Harimau Lapar yang diduga menjadi dalang perampokan berbagai bank.

Alkisah, wilayah Klaten dihajar oleh sambaran petir berkali-kali. Anehnya, pada tiap sambarannya yang dahsyat itu, selalu saja ada korban dari kalangan jelata. Nah, tak terima dengan kejadian demi kejadian tersebut, para warga itu pun mendatangi kediaman Gundala Putera Petir. Warga mengira sambaran petir yang kejam itu adalah ulah ayahanda Gundala. Pak Petir, si ayah Gundala, menolak tuduhan warga.

Hasmi, pembuat komik yang mulai renta, mengumpulkan para superhero yang telah lama menganggur. Melalui Pusat Pengerahan Tenaga Superhero, Hasmi ingin ikut mengurai persoalan sambaran petir yang bukan saja memakan jiwa, melainkan juga selalu diikuti oleh perampokan bank.

Pertemuan Hasmi dengan para superhero itu berlangsung panas. Aquanus, Pangeran Melar, dan Jin Kartubi menuduh Gundala membuat cerita sendiri sehingga melenceng dari komik buatan si empu komik itu. Gundala yang merasa dipojokkan pun marah. Lalu Hasmi pun menawarkan solusi dengan memunculkan hero perempuan bernama Agen X9.

Singkat cerita, mereka berhasil memasuki sarang kelompok Harimau Lapar. Namun sayang, ternyata penyusupan para superhero itu segera diketahui oleh ketua Harimau Lapar yang memiliki sebutan Ketua Agung.

Meski dibawakan dengan gaya guyonan yang kritikannya nyamber sana-sini, lakon ini tetap menyisipkan olok-olok pada kehidupan yang menggarong atas nama agama, Tuhan, lembaga negara, dan bahkan juga kumpulan superhero itu sendiri.

Penampilan Teater Gandrik di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, 26-27 April 2013, yang disutradari oleh Djaduk Ferianto dan dimotori oleh Butet Kartaredjasa (Pak Petir), Susilo Nugroho (Gundala Putera Petir), Sun Bo Kong (Jujuk Prabowo), dan lain-lain ini masih tetap kompak, lucu, dan slengekan. Dari awal hingga rampung pertunjukan, penonton dibikin terpingkal-pingkal.


12.40 | 0 komentar | Read More

Puisi-puisi Hidayat Raharja

Written By Unknown on Kamis, 25 April 2013 | 12.40

CAPUNG
Dua pasang sayapmu mengurai sungai dan langit. Tanah-tanah pertanian biru dikepung matahari membawa kisah bukit, ladang,  dan sawah.
Gumpal cahaya di kepalamu, membakar seratus musim di tungku mata fasetmu, bayang-bayang kegagalan dan bangkai predator liar di pintu sore. Malai rumputan berterbangan dari jemari angin merah di hamparan rumpun padi menerbitkan bulan kuning.
Gemetar tubuhmu, di antara tikaman suara pekak dan kemacetan di simpang kota, igau gunung dan punggung sawah yang rebah di pematang malam. Kau menari di bawah remang menggetar ruangan.
Getar musik dan gesek selaputmu yang tipis mengurai petang, nada hitam dan kelam. Televisi menyemai kebun dan hutan, sungai-sungai dan kisah bebatu. Gemuruh traktor, mesin giling, dan aroma insektisida menyesaki panorama
SEPASANG SEPATU, KISAH HUJAN DAN PLASTIK HITAM
Suara gaduh menggebuki atap rumah
Suara pecah melukai tanah

Jalanan hitam dengan genangan coklat melarutkan kisah bukit kurus dan tanah kusut. Anak-anak padi menggigil dalam kubangan ketakutan yang bertumbuh di ketiak hujan. Angin kencang dari utara menyusuri pematang di antara barisan pohon menahan tumbang.
Sepasang mata mengintip dari balik plastik hitam, menatapi hujan dan kota yang cuil dipenuhi grafiti pornografi, jarum suntik, wajah bengkok menahan maut. Taman hijau yang gaduh, menyimpan resah di seberang kubah dan menara menjunjung langit sore.
Mata hujan berjatuhan mengintai setiap celah kota memasuki gorong-gorong, mendatangi gang dan perkampungan. Salam malam dari baliho yang mengangkang membelah jalan protokol sambil nyengir memamerkan gigi sepasang remaja yang tengah menertawai kota yang terus berbenah. Meringkasi sawah dan ladang jadi kampung batu yang kelabu. Propaganda memenuhi udara dengan gerutu suara hujan yang beku.

2013

Jantung Hujan
Hujan pulang meninggalkan kenangan menuruni matamu. Mata kawah biru di antara gemunung pagi yang beludru. Kita makan bersama di sebuah meja dibakar matahari. Cincang resah dan sebaskom tangis dimasak di atas tungku dipenuhi bara rindu. Didihan kata meluap hanya terucap dalam kilatan matamu menundukkan hutan-hutan dungu. Kau hanya bisa menguraikan pagi yang rebah di pojok waktu yang beku.
Sungai-sungai bersahutan dari balik jantung yang berdenyut. Debar malam yang pernah kita tangkap di belukar sunyi mengitari ujung jam yang berderit. Hanya angin terdengar berucap dari lubang tubuhmu. Lubang yang menyimpan binatang melata, menyusuri lembab udara ke liang-liang hari. Gunung kata diam di bawah ambang, hanya gerak gemawan menggiring kita dalam gerimis yang akan jelang.
Kita bernaung di tepian pematang di bawah pohon yang pernah kita tanam. Pohon kesetiaan yang terus mengakar dan menjalar ke tebing-tebing lembah. Bercabang-cabang ke ruang darah. Kau siramkan seteguk airmatamu mengusap rindu yang beredebu di pipi waktu. Hujan menderas dalam jantungku membanjiri pembuluh dengan gemeretak tubuh menanggung peluh.

2013

Mata Kaki
Pejalan dengan sebuntal kesal bergelayut di punggung malam. Menyusuri jalan gugup dan waktu yang bertekuk.  Di telapaknya kota-kota diluruhkan dengan sepasang roti coklat,  dan kilau pisau menyerahkan diri. Lelaki itu datang lagi dengan  mulut berbusa dimabuk lima gelas tuak jalanan yang diminumnya dipasar malam. Matanya miring menikam kota yang juling.
"Aku telah merubuhkan pilar kota", teriaknya setengah serak. Di tangannya sebilah sangkur mengarah ke jantungnya. Nyanyian malam mendengkur di antara teriakan televisi, radio FM, dan baliho yang memenuhi jalanan. Lampu-lampu merah, bunga-bunga merekah dengan aroma kencing menguap  dari kantung taman.
Pejalan itu  menuju ujung, suara kaki terseret di atas aspal kelam. Ia mengigau lagu gila yang tak dimengerti semua. Ia menari gila yang tak dipahami semua. Ia meringkuk kelehanan di ujung mata kakinya yang hitam. Di atas dua belas, jam malam.

2013

MAKAN MALAM
Ekor itu mencari tubuhnya menyelam dalam kubangan laut  mendidih. Aroma  kebun dan belukar  berletikan. Gurih irisan daging mengembang meresap ke dalam tulang menusuk rasa lapar yang terkulai di dada piring bermotif garis melingkar. Garis nasib yang hijau dan biru dikelilingi harapan merah di sekujur bibir.
Saus tomat melumuri tubuhmu. Tubuh yang terpotong dan terbagi bercecer darah pengorbanan laut yang gamang. Di daging paling dalam rusuk perahu bercuatan menusuk mata;lukamata laut serta. Kilang kuning menghunjam dalam ke dasar pasir perasaan yang teriris.besi-besi bersilangan garpu yang menusuk dada dan jangkar dilempar. Santos, Maleo, Kangean, Tanjung Bumi, Camplong, Mandangin, Saronggi…..tabuh ombak menelentang malam

2013

WC
di sebuah terowongan panjang, riwayat dimulai. orang-orang berjatuhan dari sebuah metabolisme tubuh di antara bising mesin dan gelegak ombak menghubungkan antara lapar dan kenyataan, kenyang dan bebusukan. jembatan yang mengular antara harapan dan kekalahan tempat meniti ketidakpastian tanah. di bawah jongkokan, tubuh itu nyemplung meninggalkan bunyi dan dengung tanah jauh
 
lapak-lapak biru menggelar haru di sepanjang jalan ke gerbang madu. aku lukis laki-laki memakai udeng memainkan layang-layang tanpa kekang di belang langit harapan. sejenak mereka berpose di depan pintu. batik nasib yang merah pucat dipanggang matahari naas. ornamen daun dan bunga, sulurnya membelit pikiran, menjalari lapak-lapak kusam, dengan warna hitam bayang-bayang.
 
papan-papan reklame mengangkang di atas jalan menjatuhkan kotoran ke atas para pejalan. papan yang saling menusuk mata di antara geliat lapak yang kian sekarat. tulisan selamat datang bersebalik dengan selamat jalan di antara papan-papan muram dengan tulisan besar-kasar tak beraturan menawarkan tempat buang air besar. metabolisme pulau yang resah, semerbak bau merebak antara bumbu dan basi ketumbu di pangkal paha, sebelum kelamin laut menyambut dengan gerai rambutnya yang tak pernah surut, dan ikan sura berlompatan memamerkan sirip bergambar gedung-gedung, dan perempuan timbul-tenggelam menyalakan lampu petang
yang memilukan.

2012

SRINTIL*
tegal dan bukit, hutan dan sumur yang selalu meumbuhkan cemburu di pematang lehermu. menuju hutan belantara tempat menggembala para penindas dan pendoa. adalah batu dan tembikar yang membuat wajah menjadi keras dan laki-laki menjadi pemimpi di ujung taji yang mengarah ke dahi. Senyum matahari merebahkan barisan pohon jati dan rerimbunan bunga tembelek. adalah malam yang selalu melayari bulan merenangi cahaya perak yang berjatuhan dari keringatmu.
darah hitam para leluhur yang kebal mati dan kutukan. hanya bibir merahmu bersilang telah mencabangkan jalan ke kampung, ke tanah lapang tempat anak-anakbermain layang-layang dan talikekang. tapi di kota jauh dan dusun yang teduh matamu terbenam menenggelamkan sisa malam dan kegilaan, menidurkan anak-anak zaman yang kehilangan.
yang terbakar adalah rambut merahmu menerangi malam dan hutan. suara derap langkah dan lelaki dengan mata juling mengintai dari lubang tubuhmu yang beribu pintu.angin lapar dan kemiskinan  berebahan di antara reranting belukar yang rakus merimbuni dadamu.Dada waktu yang terus terburu.   masih kau ingat ketika lelaki itu menitipkan pohon dan sungai tetapi juga parang yang terkalung di leher. Tarian api, tarian malam, dan gelepar ngeri selalu bertumbuhan di penghujung dini saat-saat lelap menyelami sungai bintang.
matamu berasap, seperti mata nyonya yang tengah mabuk di rak belanja. mata yang mengusung troli di sebuah mall dan mata yang tengah mengukur hamparan tanah pertanian yang tengah memasuki masa tanam. musim pun beralih tetapi benang nasib yang basah selalu merambat ke kain kehidupan. kain yang dibatik dengan sulur ubi dan bunga kantil, molusca laut dan burung hong. mewarnai matamu yang berdarah.

2012

*salah seorang tokoh dalam trilogi novel "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari.


12.40 | 0 komentar | Read More

Membahas Sejarah "Misteri Gajah Mada Islam"

Oleh Sufyan al Jawi, Arkeolog-Numismatis Indonesia

Minat orang untuk membaca buku-buku sejarah sangatlah rendah, mungkin karena terasa menjenuhkan, tidak kreatif, kaku, dan monoton sehingga membosankan. Padahal, membaca sejarah bangsa merupakan kebutuhan akan jati diri kita sebagai penerus generasi bangsa yang besar dalam memotivasi bangkitnya semangat kebangsaan.

Lain halnya bila tokoh pendekar silat, seperti Pendekar Sendang Drajat (PSD) yang mengajak pembacanya untuk membicarakan sejenak kisah sejarah tanpa proses menggurui. Menariknya, Sang Pendekar justru mengungkap cuplikan sejarah Gajah Mada apa adanya, yaitu sejarah yang hingga kini masih diselubungi oleh berbagai misteri atau tanda tanya besar. Jujur saja, karena selama ini tak satu pun sejarawan dapat mengungkap siapa sebenarnya Gajah Mada itu. Mulai dari asal usul, hari tua (masa pensiun), hingga proses kematian Gajah Mada yang misterius. Sungguh ironis! Mengingat peran besar dan kepopuleran nama Gajah Mada yang mempersatukan Nusantara kita.

Dalam beberapa novel tentang Gajah Mada, sebagai seorang arkeolog, saya prihatin tentang kerusakan sejarah yang ditimbulkan oleh para novelis selama ini. Hingga muncul rasa antipati saya terhadap novel-novel berlatar belakang sejarah karena para novelis justru mengacak aduk sejarah dengan fantasi fiksi secara berlebihan, tanpa menghiraukan bahwa hal yang mereka lakukan tersebut justru merusak sejarah yang sedang dibahas dalam novelnya itu. Tragis!

Namun, hal ini yang berbeda dengan penuturan Pendekar Sendang Drajat dalam buku novel keempat berjudul "Misteri Gajah Mada Islam" setebal 215 halaman yang diterbitkan oleh Grafindo Book Media, Jakarta, Februari 2013. Saya sebut saja teknik bertutur ini adalah "Neo Cerita Berbingkai". Teknik yang dipakai mengingatkan pada genre "Cerita Berbingkai" yang dalam khazanah sastra klasik banyak kita baca dalam "Hikayat 1001 Malam". Sang Pendekar yang sedang melacak jejak-jejak sejarah Mahapatih Gajah Mada cukup dapat dikatakan obyektif dalam menceritakan fakta sejarah. Sebab, ketika ada sekelompok "keturunan Gajah Mada" yang mengklaim bahwa Gajah Mada menganut agama Islam dan pernah berguru di Pesantren Gondang, tak serta-merta klaim itu diiyakan. Tetapi, Sang Pendekar justru menelitinya langsung dari mana sumber informasi tersebut berasal. Meskipun juga dikisahkan bahwa Pondok Pesantren Gondang itu merupakan basis pelarian mantan prajurit Tartar-Mongol yang beragama Islam ketika perang besar pembalasan dendam Kubilai Khan terhadap Kerajaan Jawa: Singasari-Kediri.

Pendekar Sendang Drajat kreasi Viddy Ad Daery tidak bercerita mengenai sejarah secara mutlak, hanya berdasarkan klaim-klaim sepihak saja, karena Viddy melalui novel PSD-nya menulis kronologi-kronologi sejarah berdasarkan hasil observasi terbaru yang disandingkan dengan fakta-fakta yang didapat oleh sejarawan pada umumnya. Metode blusukan ala Viddy—juga saya pernah mendampingi—justru mengungkap dan menemukan fakta-fakta baru yang selama ini belum terungkap oleh antropolog, arkeolog, dan filolog dalam menyusun historiografi Nusantara.

Kecaman dan cibiran terhadap karya tulis Viddy tak menyurutkan langkahnya untuk terus menelusuri jejak-jejak sejarah masa silam. Sang Pendekar terus melanglang buana, hingga suatu hari, Nasir Abbas pun (mantan teroris asal Malaysia, sahabat Dr Ashari dan Noordin M Top yang sempat populer) dibuat terkagum-kagum dengan kisah yang dituturkan tentang asal usul nenek moyang Amrozi bersaudara (Trio Trenggulun, pelaku Bom Bali 2002 yang menggemparkan dunia), yang masih Trah Majapahit, dari Trah Bhayangkara-Trenggulun. Itulah kenapa Amrozi menjadi sungguh nekat dan berani menentang adidaya AS dan sekutunya.

Begitu pula ketika buku Pendekar Sendang Drajat sempat menjadi buku pameran di Forum Dialog Borobudur bertema "Maritim Majapahit" yang diselenggarakan oleh Samana Foundation di Hotel Batavia baru-baru ini, yang membuat Romo Muji Sutrisno, Prof Agus Aris Munadar, dan banyak sejarawan serta penulis buku terkagum-kagum ingin segera memiliki buku keempat PSD: Misteri Gajah Mada Islam. Namun sayangnya, buku yang dipamerkan tersebut hanya satu-satunya, itu pun milik Viddy Ad Daery sendiri.

Konon, menurut Viddy—menyitir kabar dari penerbitnya, buku heboh itu sekarang sudah beredar dan saya telah membaca tuntas isinya. Dan, sebagai arkeolog dan pemerhati sejarah dan budaya, saya memberinya rating "bintang sembilan".


12.40 | 0 komentar | Read More

Ke Afrika Selipkan "Cuma Tubuh Cuma Tubuh"

Written By Unknown on Rabu, 24 April 2013 | 12.40

Oleh M. Hari Atmoko

Sambil beranjak meninggalkan Studio Mendut menjelang tengah malam, setelah selesai pergelaran putaran keenam "Selikuran Lima Gunung", Darmanto berucap kepada sejumlah orang yang dipamitinya bahwa Rosa telah tiba di Afrika Selatan.

Darmanto Andreas yang salah satu pengelola Rumah Buku DuniaTera Borobudur itu, adalah suami penyair Borobudur, Dorothea Rosa Herliany yang sedang mengikuti dua agenda budaya berskala internasional di Afrika Selatan dan Zimbabwe.

Dua agenda internasional yang dilakoni Rosa itu adalah "What's Poetry Festival II" pada  21-28 April dan "Harare International Festival of the Arts" 30 April hingga 5 Mei 2013. Empat penyair Indonesia lainnya yang ikut agenda tersebut, adalah Toeti Heraty, Saut Situmorang, Samar Gantang, dan Duddy Anggawi.

Beberapa hari sebelum berangkat mengikuti festival tersebut, Rosa menyebut bahwa "What's Poetry Festival II" untuk merayakan bahasa. Festival puisi itu, antara lain pembacaan puisi, diskusi sastra, pelatihan penulisan dengan para siswa, dan forum berbagai pengalaman antarpenyair dunia. "What's Poetry Festival I" berlangsung pada 2012 di empat kota di Indonesia, yakni Borobudur/Magelang, Pekalongan, Malang, dan Surabaya.

"Harare International Festival of the Arts", antara lain berupa pertunjukan tradisional Zimbabwe, resital klasik, opera, teater, tari, musik, pameran, pembacaan puisi, dan lokakarya. Festival tersebut pertama kali pada 1999, sedangkan pada 2013 selain menampilkan seniman Zimbabwe juga lainnya yang berasal dari sekitar 20 negara.

Pada dua festival tersebut, Rosa menyiapkan pembacaan sejumlah puisinya, antara lain berjudul "Para pemziarah Sejarah", "Sampah Kata-Kata", "Wabah", "Teater Bisu", "Hotel Jam 00.00", dan "Semesta Luka".

Di tengah-tengah pergelaran "Selikuran Lima Gunung" yang digelar oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (21/4) malam, Darmanto memberikan buku kumpulan puisi Rosa bertajuk "Cuma Tubuh Cuma Tubuh" kepada sejumlah orang.

"Mas, ada titipan dari Rosa," kata Darmanto saat memberikan satu buku"Cuma Tubuh Cuma Tubuh" kepada salah satu yang hadir malam itu. Rosa telah berangkat menuju Afrika Selatan melalui Bandara Adisutjipto Yogyakarta pada Sabtu (20/4) dengan diantar suami dan dua anaknya, Redha dan Kana.

Buku "Cuma Tubuh Cuma Tubuh" kumpulan 40 pilihan puisi karya Rosa sejak 2008-2012 yang setebal 147 halaman tersebut dalam dua bahasa, yakni Indonesia dan Inggris.

Darmanto yang juga pengelola Penerbit Waktoe itu yang menerbitkan antologi puisi tersebut mengatakan bahwa sebagian besar buku "Cuma Tubuh Cuma Tubuh" dibawa Rosa untuk diberikan kepada relasi dan jejaringnya melalui dua festival di Afrika Selatan dan Zimbabwe.

Hingga saat ini, Rosa yang juga penerima sejumlah penghargaan sebagai pengarang terbaik, seperti dari Dewan Kesenian Jakarta (2000), Pusat Bahasa (2003), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2004), Khatulistiwa Literary Award (2006) tersebut, telah menerbitkan lebih dari 20 buku, khususnya tentang sastra.

Sebagian puisi karya Rosa dalam buku "Cuma Tubuh Cuma Tubuh" dengan terjemahan ke bahasa Inggris (A Body Only A Body) oleh Harry Aveling, karya rupa Ivan Sagita, dan desain grafis Dadlan Afrelno itu, agaknya atas inspirasi beberapa desa di Borobudur dan gunung-gunung di Magelang, sebagian lainnya Jakarta dan sejumlah kota di luar negeri, seperti Jerman, Prancis, serta Belanda.

Antologi puisi karya Rosa dalam "Cuma Tubuh Cuma Tubuh" menunjukkan keberadaan manusia yang tak sekadar ragawi di lingkungannya namun juga kekuatan spriritualnya.

"Kumpulan puisi dalam buku ini, setidaknya untuk melihat dunia dalam kemanusiaan, mencoba menyadarkan manusia bahwa tempat berdiri kita adalah cuma tubuh," kata Darmanto.

Misalnya, tentang puisi "Gladiator Gunung" (2011) yang menunjukkan ketangguhan para petani Gunung Merbabu melalui kiprah berkesenian rakyat.

"Berdiri di medan laga kehidupan. Menghentak sontak aura pertarungan. Membakar peta segenap hasrat kemenangan. Melawan diri sendiri mencari puncak. Meraih kemenangan hati para insan. Akulah gladiator. Tak mengenal pertumpahan darah. Alam dan satwa adalah teman searah. Menarikan tubuh. Menggoreskan senoktah tetirah," demikian dua bait terakhir puisi (halaman 14) untuk Riyadi, tokoh seniman petani Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang itu.

Puisi lainnya "Penari di Tanah Cinta" (halaman 52), karyanya pada 2011 yang terkesan tentang inspirasi atas ketangguhan perempuan-perempuan kawasan Gunung Merapi menghadapi letusan dan disusul banjir lahar gunung berapi itu pada 2010 dan 2011.

"Bebatu membumbung membangun dirinya sendiri. Menuju langit kebajikan niscaya. Candi dan tatahan sejarah merangkak. Menuju peradaban gemilang. Memburu kasta yang tak tersibak. Menarilah dalam gelinjang tubuh. Meraba hasrat yang pulas pada jagat rekah. Menyuburkan cinta yang senantiasa rapuh. Berkhianat atas tunas. Tak semata tanah," demikian beberapa bait puisi itu yang ditujukan kepada satu karya tarian Wenti (satu pegiat Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Gunung Merapi).

Rosa, satu penyair Indonesia yang telah mengusung karya-karyanya melanglang ke berbagai negara juga memasukkan puisi "Apeldoorn" (2008), di halaman 21 buku itu. Apeldoorn adalah kota kecil di Belanda.

Dalam puisi itu, Rosa seakan hendak melukiskan tentang nasihat seorang ibu kepada anak perempuannya bernama Regina.

"Jika engkau lukiskan kedamaian dan cinta. Rumahmu di sini. Alam dan hati tak berjarak dalam sunyi. Tapi jangan goreskan di kanvasmu. Sebab hatimu yang teduh akan menyapukan ketakutan yang menjadi jiwa. Kesadaranmu tak boleh rindu pada rumah dan kami yang dihajar resah," begitu bait pertama puisi tersebut.

Melalui puisi yang dibuat Rosa di Jakarta pada 2012 berjudul "Kematian Suami" (halaman 61), barangkali ia ingin menggambarkan secara rapat tentang sosok isteri dalam mengarungi kehidupan personal perkawinannya.

"Ia tewas setiap aku sadar dari mimpi. Jika mampu tak ingin kudengar sembarang lagu. Kerna hatiku terlalu suci untuk sekedar lelaki. Sedang langit mudah luka oleh sembilu. Ia tewas, sayang! dan dengarlah aku bernyanyi," demikian satu bait puisi itu.

Perjalanan Rosa melanglang belahan Tanah Afrika kali ini, dengan menyelipkan antologi puisinya "Cuma Tubuh Cuma Tubuh", boleh jadi ia ingin menyuarakan betapa daya-daya ragawi manusia tak lepas dari kekuatan spiritual dan emosi budaya dari lingkungannya.

Namun, yang ragawi akan rapuh dan tersirna oleh kematian, sedangkan pustaka spirit manusia tak berujung kematian.


12.40 | 0 komentar | Read More

Teater Lingkar Hibur Warga Binaan LP Bulu

SEMARANG, KOMPAS.com--Teater Lingkar Semarang menyuguhkan pergelaran teater untuk menghibur warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Bulu, Semarang, Selasa, sekaligus memperingati Hari Kartini.

Pentas teater mengangkat lakon berjudul "Tuk" itu menceritakan tentang potret kehidupan masyarakat kalangan bawah di sebuah tempat bernama Desa Magersaren yang harus dihadapkan pada masalah sosial-ekonomi.

Desa Magersaren yang dikisahkan memiliki "tuk" atau mata air itu keberadaannya terancam oleh kepentingan salah satu warga yang membujuk seluruh penduduk desa untuk menjual tanahnya kepada pengusaha.

Namun, ada seorang tokoh bernama Mbah Kawit yang berjuang mati-matian membela dan enggan menjual tanahnya sepetak pun karena tidak rela jika tanah-tanah Desa Magersaren sampai jatuh ke tangan orang lain.

Meski hampir seluruh warga Magersaren sudah menjual tanahnya, Mbah Kawit bersikukuh mempertahankan tanah warisan satu-satunya itu dan tak sekalipun tergoda oleh iming-iming uang yang ditawarkan.

Ketua Teater Lingkar Semarang Suhartono yang akrab disapa Mas Ton mengungkapkan seperti halnya cerita yang diangkat kali itu, kebanyakan kawan-kawan yang masuk ke LP tersebut karena terjebak pada masalah ekonomi.

"Kondisi ekonomi yang menghimpit akhirnya memaksa mereka melakukan segala cara, termasuk kekerasan yang berujung pada tindak kriminalitas yang membuat mereka harus merasakan hidup di sini (LP, red.)," katanya.

Pementasan teater di LP itu baru pertama kalinya digelar Teater Lingkar, bertepatan dengan kunjungan ibu-ibu PKK RW 4 Kedungmundu, Semarang, yang salah satu pengurusnya kebetulan adalah istri Mas Ton.

"Baru pertama kali ini kami pentas di LP, berbarengan dengan kunjungan ibu-ibu PKK dalam rangka Hari Kartini. Sebenarnya kami ingin pentas serupa di LP lain, namun sejauh ini akses ke sana belum ada," katanya.

Pementasan teater yang berdurasi sekitar satu jam dengan sesekali diisi dialog dan gerakan lucu dari pemainnya membuat warga binaan LP yang menonton berkali-kali tersenyum, bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak.

Mas Ton yang menjadi sutradara dalam pementasan kali itu mengaku semula berpikir bahwa suasana di dalam LP menyeramkan, tetapi setelah melihat sendiri ternyata suasananya berbeda dari apa yang dibayangkannya.

"Bahkan, saya juga mendapat tawaran dari ibu Kepala LP Bulu (Dwi Nastiti, red.) untuk membina teater di sini karena banyak penghuni LP yang katanya memiliki bakat di bidang kesenian," katanya.

Sementara itu, Kepala LP Bulu Dwi Nastiti melalui Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan Susana Agustin mengaku sangat senang menerima kehadiran dan pementasan teater untuk menghibur para warga binaan.

"Kami memang berupaya menciptakan suasana yang teduh dan tenteram bagi penghuni LP ini. Bahwa LP ini bukan penjara, melainkan lebih seperti pondok pesantren bagi para narapidana dan tahanan," katanya.


12.40 | 0 komentar | Read More

Merasionalkan Ayat Tuhan

Written By Unknown on Selasa, 23 April 2013 | 12.40

Oleh Achmad Marzuki
Pegiat Farabi Institute, mahasiswa sekaligus anggota CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang

Pada dasarnya sebuah kitab suci diturunkan pada umat manusia agar dipergunakan sebagai petunjuk dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Dalam hal ini, al-Quran tidak diturunkan sebagai gudang ilmu pengetahuan, tidak pula diturunkan sebagai ensiklopedia multi-sains, tidak pula menjadi kitab sastra.

Bagi umat muslim, al-Quran adalah sumber pertama dalam melakukan syariat agama. Keagungan kitab suci ini, tidak memagari eksistensi diri sebagai tolak ukur bagi satu bidang keilmuan.
Akan tetapi, banyak peneliti yang membuktikan bahwa ayat yang terkandung dalam al-Quran sesuai dengan logika sains yang ada di bumi ini.

Agus Purwanto membuktikannya dalam buku bertajuk lengkap Nalar Ayat-ayat Semesta, Menjadikan al-Quran sebagai Basis Ilmu Pengetahuan terbitan Mizan, Bandung. Dala buku ini, Agus menafsirkan delapan ratus ayat dengan keilmuan sains yang telah ada dan dipercaya. Agus ingin menegaskan bahwa al-Quran merupakan sumber segala sumber.

Sebagai kitab suci tentunya perlu adanya penafsiran-penafsiran agar dapat dipahami oleh semua pengikutnya. Konsep dasar tafsir yang terpenting setidaknya ada tiga hal. Pertama, menjelaskan secara struktural kebahasaan. Bahasa arab merupakan salah satu bahasa yang sarat akan makna. Kedua, ekplorasi paradigma dan yang ketiga, penggalian hikmah filosofis. Agus lebih menekankan pada konsep pertama dengan memberikan argumentasi yang bersifat empiris logis.

Buku ini terbagi menjadi enam bagian. Yang pertama membahas tentang Islam dan sains yang berpuncak pada ilmu pengetahuan. Yang paling mendasari akan lahirnya ilmu pengetahuan berupa akal. Sebanyak 46 kali al-Quran menganjurkan manusia agar mempergunakan akalnya dengan sungguh-sungguh (hlm. 59). Hal ini menandakan bahwa dalam Islam proses berfikir sangat dianjurkan, dihargai, dan dimuliakan.

Agus selalu memulai pembahasan tentang ayat dengan pemahaman analisa logis dengan memaparkan kejadian empirik. Hal ini dimaksudkan agar pembaca memiliki beberapa data untuk mencerna bab selanjutnya. Selain itu, Agus juga memberikan pemahaman baru yang bersifat segar. Yaitu tentang minuman surge yang ternyata adalah minuman wedang jahe. Agus memberikan ayat yang artinya "Di dalam surga mereka diberi segelas minuman bercampur jahe". (QS : 76 : 17). Lantas apa sebenarnya manfaat jahe bagi kesehatan tubuh. Ternyata ada banyak manfaat jahe, di antaranya dapat mengobati penyakit asa, batuk, pilek, mual, jantung, pernafasan, rematik, dan meningkatkan nafsu makan. (hlm. 368-372)

Bagian kedua tentang kosmologi. Pada bab kedua ini, Agus menjelaskan secara detail bagaimana asal penciptaan alam semesta, sistem evolusi bintang, dan struktur ruang dan waktu menurut al-Quran. Ketiga tentang astronomi. Astronomi merupakan keilmuan yang mendunia. Dengan teori yang diunculkan oleh Ptolomeus tentang bentuk hingga peredaran benda langit. Pada kedua bab ini, agus lebih menfokuskan pada keilmuan yang bersifat makrokosmos, termasuk struktur interior bumi. Energy kuantum yang terkenal pada masa Einstein juga dilirik dari bilik kitab suci. Masuk pada bagian keempat, yaitu menjelaskan tentang gelombang cahaya, suara, dan gelombang air. Bagian terakhir tentang estetika dan teknologi.

Membaca buku setebal empat ratus delapan puluh ini tidak terasa. Bahasa yang dipilih membuat pembaca tidak perlu berpikir ulang. Pandangan terhadap al-Quran akan bertambah yaitu banyak sekali ayat kauniyah yang dapat menambah rasa keimanan. Bahasa sederhana, tidak berbelit-belit, dan mudah dipahami sangat cocok dibaca oleh siapapun. Baik dari kalangan keluarga, akademisi, mahasiswa, aktivis, hingga pemikir akan merasa layak. Apalagi format yang diselingi dengan beberapa ilustrasi menarik. Selamat membaca alam dalam genggaman. Wallahu a'lam bishhawab.

Data Buku
Judul : Nalar Ayat-Ayat Semesta, Menjadikan Al-Quran sebagai Basis Ilmu Pengetahuan
Penulis : Agus Purwanto
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakn : I, Agustus 2012
Tebal : 480 Halaman


12.40 | 0 komentar | Read More

Puisi-puisi Putu Gede Pradipta

Puisi-puisi Putu Gede Pradipta

Selasa, 23 April 2013 | 00:36 WIB

Memahami Sendiri
 
Ke tepi-tepi. Meledakkan diri. Dan tak menjadi.

(2013)

Di Kafe

Di kafe yang selalu buka bila malam
akan kau jumpai dua meja di dalam.

Di meja pertama ada kau duduk sendiri
kau menunggu dengan begitu anggun.

Matamu terpejam dalam dengan bibir
mengucap doa-doa yang panjang.

Dan malam telah sepenuhnya tenggelam
kau membuka mata. Melihat arah jendela.

Seorang pelayan datang menyuguhkan
menu-menu yang kau pesan di masa lalu.

Sepotong  rasa sakit yang pernah hilang
secangkir kenangan yang mengambang.

Sedangkan di meja kedua yang letaknya
agak berjauhan dari jangkauan matamu

diam-diam ada yang tak sabar menunggu.

Yaitu bayang lelaki telah sejam membisu
mengaku datang untuk bertemu dirimu.

(2012)

Lelaki

Selalu muda. Merasa
serba bisa. Demikian
ia lelaki. Petapa sepi.
Bunga api dalam diri.

Selalu merasa buruk.
Begitulah aku. Capai
sunyi ini. Lelaki laku
api di jantung sendiri.

(2013)

Anomali

Kakiku mencari tubuhmu. Kaki
yang diasah dari langit. Kaki
yang mengerti langkah mana mesti
dipilih dan dipilah. Dan kini kaki
memilah aku. Memilih tubuhmu.
Memisah aku. Melukis hujan
pada tubuhmu. Dalam dadamu
berdebar itu. Dada yang hidup.
Menampung seluruh luka dunia.
Dan aku lelaki bertapa di sana.
Untuk kemudian menuju rahim
merajah hijauku. Berupa matahari.
Kehangatan yang tambah meninggi.
Dalam setapak jejak-jejak kaki.
Dan meninggalkan air matamu
menggigil sendiri menjadi jendela;
tempat aku meloloskan diri dari
jebakan berpintu-pintu puisi.

(2013)

Berbahasa Air

Dalam bahasa aku bermain air.
Basah tiada terkira mengenang
engkau. Berlama-lama aku
bayangkan diri engkau yang
timbul tenggelam dalam badan.

(2013)

Bahasa Pagi

Pagi ini yang mana awan-awannya
demikian gelap. Alangkah abu.
Jatuh dan menjatah puing api
ke jantung pohonan.

Di kedalaman itu, ada aku
dalam larut sunyi semadi
jadi semacam ular yang memencar
melingkari matahari
menarik lalu mengulur
berulang-ulang mempermainkan
udara.

Demikian. Cahaya paripurna
puisi sempurna. Dan bunga-bunga
dari dalam dada mengalir
mewarnai langit.

(2013)

Biodata

Putu Gede Pradipta lahir 18 Desember. Tinggal di Denpasar. Kini mahasiswa Program Studi bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Dwijendra. Tergabung dalam kelompok menulis.


12.40 | 0 komentar | Read More

Empat Perempuan - 27

Written By Unknown on Senin, 22 April 2013 | 12.40

Cerber Endah Raharjo

Episode 27: Keluarga


Dea menyurukkan kepalanya ke leher ibunya. Ia selalu suka menikmati wangi parfum yang tak pernah lupa dioleskan ibunya ke leher, belakang telinga dan tengkuk; sesaat menjelang tidur. Selalu begitu. Ritual mengoles parfum itu tak berhenti meskipun suaminya telah tiada. Cara itu membuat rambutnya senantiasa harum semerbak, juga bantalnya, menenangkan pikirannya, membantunya terlelap.

"Mama nggak pernah ganti merk parfum," bisik Dea, menghirup harum di sela-sela rambut Runi.
"Papamu suka banget merk ini." Runi mengusap rambut lurus-tebal anaknya. Ia menduga Dea sedang punya persoalan di sekolah atau sedang ingin bermanja atau bisa jadi tengah kangen ayahnya. Ia hapal kelakuan remaja itu.

Dari ruang tengah terdengar gelak Eyang dan Iroh, menonton acara komedi di TV. Meskipun menurut Eyang semua acara komedi di TV tak ada lagi yang selucu sekaligus setajam dagelan Sri Mulat, ia sesekali masih bisa menikmati dan tertawa geli.

Runi ingin tidur awal karena kelelahan empat-hari-empat-malam mengantar tamu kunjungan lapangan disambung rapat hingga tengah malam.
"Kangen Papa," bisik Dea.
"Ya. Mama tahu." Runi memiringkan tubuhnya, menekuk lengannya, lalu kepalanya ia tumpu dengan telapak tangan. Wajahnya menghadap Dea. "Sebulan lagi genap 6 tahun. Rasanya Papa masih ada di rumah, ya," gumam Runi, lebih pada diri sendiri.
"Dea suka iri kalau lihat Rae dan Beti diantar papa mereka." Dea menyebut dua sahabat dekatnya. "Dea kadang suka sulit ngebayangin wajah Papa. Baru ingat lagi kalau lihat fotonya."
"Nggak apa-apa. Mama juga sering gitu. Wajah papamu sering kabur. Waktu itu kamu belum 11 tahun. Tanggal 2 Mei 2005. Kamu baru mau ujian SD. Ingat?"
Terdengar suara gesekan antara kepala dengan bantal saat remaja itu mengangguk.
"Dea habis baca buku psikologi." Gadis itu memang bercita-cita menjadi psikolog. "Katanya anak-anak yang dibesarkan tanpa figur ayah cenderung bermasalah."
Runi mendesah, antara geli dan berduka. "Namanya juga kecenderungan. Tidak selalu begitu. Nurut Mama kamu baik-baik aja. Apa kamu merasa punya masalah?"
Suara gesekan antara bantal dan kepala itu terdengar lagi. Namun kali ini Dea menggeleng.
"Kamu pernah nonton film Mrs. Doubtfire?"
"Belum. Film apa itu?"
"Itu film komedi keluarga paling bagus yang pernah Mama tonton. Dibuat tahun 1994. Kamu belum lahir. Yang main Robin Williams dan Sally Field. Ada Pierce Brosnan juga."
"Kapan-kapan kita cari DVD-nya, ya. Apa download aja. Kalau film lama pasti bisa. Apa ceritanya, Ma?"
"Mama bukan mau cerita filmnya itu. Tapi sesuatu yang dikatakan Mrs. Doubtfire di bagian akhir film. Dalam acara TV yang dibintanginya, dia njawab surat dari anak kecil yang orangtuanya baru cerai. Dia bilang kalau keluarga itu macam-macam wujudnya. Mama lupa tepatnya. Kira-kira dia bilang ada keluarga yang terdiri dari bapak-ibu-anak-anak-dan anjing, ada ibu dan anak saja, ada bapak dan anak-anak saja, ada perempuan dan kucing, ada laki-laki dan anjing… gitu. Maksudnya selama ada kasih sayang, apapun wujud keluarga kita, semua akan baik-baik saja."
Dea menggeser tubuhnya lebih dekat ke tubuh ibunya.
"Nggak semua anak beruntung punya nenek yang tinggal di rumahnya. Nggak semua keluarga punya Iroh yang setia, jujur, rajin kerja, dan pintar masak."
"Ya." Ada geletar halus dalam suara Dea. "Jadi ingat Olan."
"Siapa Olan? Temanmu? Kamu belum pernah cerita."
"Namanya Orlando, sama-sama kelas dua tapi beda kelas. Dia kecelakaan. Parah banget. Udah seminggu ini di rumah sakit. Orangtuanya baru cerai. Dia kecewa, terus nge-drug, terus ngebut, ya… gitu."
"Kasihan. Itulah. Keluarga itu, nurut Mama, harus jadi tempat tubuh kita, pikiran kita, dan hati kita pulang, beristirahat. Memberi ketentraman. Tempat paling aman di dunia. Tak peduli seburuk apa diri kita, keluarga akan menerima kita kembali kapan saja. Seperti yang dibilang Mrs. Doubtfire itu, biarpun nggak lengkap ada ayah-ibu dan anak-anak." Runi berhenti, lalu melanjutkan dengan sangat hati-hati, "daripada ada orang tua lengkap tapi hati mereka sebenarnya tidak bersatu."
"Pasti lebih senang kalau ada bapak dan ibu yang bersatu," tukas Dea.
"Tentu saja. Tapi nggak ada orang yang mendapatkan semuanya dengan sempurna."
"Ngantuk, Ma. Dea tidur sini aja, ya." Gadis itu membalikkan tubuhnya, meraih bantal satu lagi, mendekapnya di antara dua kaki.

**

"Kamu nggak ngantor?" tanya Eyang, mengawasi Runi yang belum mandi padahal jam di dinding ruang makan sudah menunjuk angka 9.
"Capek, Bu." Runi tidak mengalihkan matanya dari layar laptop. "Aku udah pamit Bu Indri. Seno juga udah kupesen macam-macam."
"Kalau capek ya istirahat. Malah kerja."
"Ini cuma mbalesin email teman-teman."
"Semalam Dea kenapa kok minta kelon?"
"Yah, biasa… kangen bapaknya." Mata Runi menatap ibunya, lalu ia pejamkan dan lehernya ia putar ke belakang. "Ada temannya barusan kecelakaan. Katanya parah. Kecewa karena orangtuanya cerai."
"Aduuuh… kasihan sekali. Rasa-rasanya sekarang sering banget dengar kabar orang cerai. Dunia udah sangat berubah."
"Mungkin sebenarnya sama aja. Hanya karena jumlah orangnya berlipat ganda dan komunikasi makin gampang. Berita jadi cepet nyebar."
"Semoga memang begitu…."
"Aku kok jadi kuatir sama Dea, Bu."
"Memangnya kenapa?" Eyang duduk di kursi, dua tangannya bersedekap di meja makan.
"Dia baru baca buku psikologi…."
"Oalaaah… itu pasti buku yang ngulas teori-teori psikoanalisanya Freud, yang kemarin Ibu tanya buat apa baca-baca buku begituan."
"Biar aja dia baca apa aja, Bu. Bukan karena buku itu, kok." Kulit di antara alis Runi terlipat. "Aku kuatir aku tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya. Itu aja."
"Oalah, Nduk. Kalau itu, Ibu juga sampai sekarang masih merasa begitu. Kuatir kalau Ibu nggak bisa jadi ibu yang sempurna buat kalian bertiga. Nggak bisa jadi nenek yang baik. Tapi siapa yang bisa jadi sempurna?"
"Ini bukan perkara jadi orang sempurna, Bu. Ini perkara Dea. Anak itu memang nggak pernah nunjukin tanda-tanda stress atau semacamnya. Tapi remaja seumur dia pinter nyembunyikan sesuatu dari keluarga."
"Ibu nggak pernah merasakan ada sesuatu yang buruk yang dia sembunyikan. Sebagai bagian keluarga ini, kalau ada hal semacam itu Ibu akan bisa merasakan. Keluarga yang rukun itu ibarat kristal, kalau ada goresan, meskipun kecil, bisa dilihat, bisa dirasakan."
Runi mendengus, menutup laptopnya. "Kalau sedang capek aku suka mikir yang nggak-nggak."
"Makanya istirahat aja. Nggak usah buka-buka laptop."
"Nya…." Tiba-tiba Iroh sudah ada di belakang Runi.
"Ada apa?"
"Anu… Nyonya nggak usah kuatir. Non Dea sering cerita ke saya. Katanya dia bangga punya ibu kayak Nyonya. Beneran, Nya."
"Wah. Kamu nguping ya?"
"Nggak usah pakai nguping juga udah dengar." Iroh menahan tawa. "Saya juga seneng punya majikan kayak Nyonya."
"Kamu pinter nyenengin hati, Roh. Gimana kabar adik-adikmu?"
"Baru konsentrasi belajar, Nya. Dua minggu lagi ujian."
"Moga-moga semua lancar. Kami ikut mendoakan."
"Makasih, Nya. Permisi dulu, saya mau njemur cucian." Iroh berbalik, tapi langkahnya tertahan. "Nya, jangan kuatir. Non Dea baik-baik aja. Saya bakal ikut njaga."
Runi dan ibunya saling memandang. Segurat senyum menghiasi wajah Eyang. Dalam hati perempuan itu yakin cucu sulungnya akan selamat menjalani masa remaja. Selama hampir enam tahun ia sudah menyaksikan sendiri, Seruni, anak sulungnya itu, berjuang sekuat tenaga menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak tunggalnya. Tuhan, seperti yang ia percaya, tak pernah memejamkan mata, semua yang baik meskipun selembut pasir tak akan lepas dari perhatianNya.

***


12.40 | 0 komentar | Read More

Ia yang Menyimpan Api di Hatinya

Oleh Yetti A.KA

Maura membiarkan kancing bajunya tetap terbuka, meski ini bulan Agustus yang dingin. Angin badai berembus di luar. Beringas. Mematahkan beberapa cangkah dahan belimbing atau batang ubi kayu di belakang rumah. Terdengar suara seng yang seakan mau lepas. Meneror. Menusuk-nusuk pendengaran Maura yang terus waspada. Terus berpikir kemungkinan seseorang tengah mendekat ke arah rumah, menggedor pintu keras-keras sambil meneriakkan namanya dengan suara yang kasar.

"Kau tidak mungkin berani pulang. Tidak mungkin." Maura memandang nyalang pada gorden yang bergerak-gerak tiap kali angin menembus celah kecil jendela, "Sebaiknya kau memang tidak pulang. Kau tidak tahu bagaimana aku menyimpan marah bertahun-tahun. Sesak. Kau tidak mengerti bagaimana cara aku melewatinya, dan berulang-ulang memaafkanmu. Sesak sekali. Sungguh, aku bisa saja mencekikmu jika saja kau ada di depanku sekarang."

Angin badai terus saja berisik sepanjang malam. Maura merasa kedinginan. Tapi ia tetap bersikeras tidak akan menutup dadanya. Dada yang siang tadi diremas pemilik laundry tempat ia bekerja satu bulan ini—tempat kerja barunya setelah ia memilih berhenti di toko roti. Dada yang kemudian disulut rokok di beberapa bagian—tentu sesudah ia diperkosa secara brutal dan tubuhnya dibikin babak belur oleh suaminya yang memaksa ia menceritakan kejadian pelecehan yang membuat ia menangis pelan dan membuka semua kancing baju setiba di rumah sore tadi dengan sangat marah.

"Kau memalukan."

"Dia lelaki keparat."

"Kau menjijikkan."

"Dia bajingan."

"Kau murahan."

"Dia binatang."

Mata Maura bertatap sengit dengan suaminya. Mata teduh itu telah berubah merah. Ia bukan lagi Maura yang biasanya menangis diam-diam di atas tempat tidur setiap kali lelaki itu habis memukuli, menuduh, dan menghakiminya.

"Kau jalang!" umpat suaminya geram saat keluar pintu. Lelaki itu masih mengumpat-umpat sepanjang jalan. Ia ingin mengeluarkan semua serapah yang masih tersisa. Mau menunjukkan betapa ia lelaki yang terpukul karena ulah pemilik laundry itu, dan lupa kalau Maura justru yang paling terluka.

Sekarang sudah larut malam, lelaki brengsek itu tidak mungkin pulang di tengah serangan angin badai yang mungkin saja menumbangkan pohon-pohon di pinggir jalan. Badai yang membuat siapa pun tidak mungkin nekat berada di luar kecuali seorang pemabuk yang sedang teler dan ingin merayakan hidupnya sambil bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan. Lelaki itu bisa jadi sedang mabuk berat di kedai minuman. Namun ia bukan jenis orang yang suka merayakan hidup dengan cara seperti itu. Ia hanya akan berada di kedai. Bermain-main dengan gadis muda si pelayan kedai hingga akhirnya tertidur di atas bangku atau lantai.

Maura merasa lega saat ia mulai memikirkan lelaki itu tidak mungkin pulang. Ia kelelahan, lalu tidur dengan kancing baju yang tetap terbuka—sebab ia marah.

Dan dalam tidurnya itu Maura melihat dirinya berumur lima belas tahun menangis ketakutan di samping rumah dengan dinding-dinding lembab berlumut tipis. Ia sedang sembunyi dari kejaran ibu yang ingin memukulinya dengan tangkai sapu. Seluruh tubuh Maura gemetar, seolah-olah ia akan segera pecah berkeping-keping. Bola matanya berkeliling liar, mirip pencuri yang waswas tertangkap tangan. Tidak. Ibunya tidak mencarinya hingga keluar rumah. Maura menyandarkan badan di dinding dengan mata melihat ke langit sambil menyesali kenapa ia mesti memecahkan mangkuk kesayangan ibu. Ibu menyayangi semua perabot dapur melebihi apa atau siapa pun di rumah. Maura tahu itu cara ibu mengatasi ketidakbahagiaannya. Cara ibu menjalani hari-harinya agar ia tidak terus- menerus menyumpahi bapak yang sering bermalam di rumah pelacuran. Cara ibu mengalihkan cinta yang menghancurkan harga dirinya.

Cara ibu itu lalu membuat Maura sering gugup dalam situasi apa pun, di mana pun. Maura yang menjadi penakut. Maura yang terus-menerus merapatkan kedua tangan di dada sembari menundukkan muka dalam-dalam bahkan saat seharusnya ia tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Maura yang setiap saat selalu merasa akan dipukuli ibu, dipukuli bapak, dipukuli kakak, dipukuli teman-teman kakak, dipukuli teman-temannya.

Maura yang kemudian begitu ketakutan pada teman kakak yang menciuminya ketika ia sendirian di rumah. Maura yang takut payudaranya dipegang kakak karena ia begitu tidak berdaya. Maura yang hampir diperkosa, entah oleh siapa, pada malam sepi di kamar mandi dekat dapur, dan itu membuatnya menggigil berhari-hari, dan ia tidak berani mengatakan apa pun pada ibu yang bila marah suka memorak-porandakan apa pun yang ada di dekatnya. Maura yang teramat pengecut—yang sesungguhnya sangat ingin ia lupakan!

Tidak. Tidak. Maura bukan sedang mengarang cerita. Tubuhnya memang sering digerayangi kakak bersama teman-temannya. Kakak yang tertawa-tawa. Teman-teman kakak yang terbahak mirip orang sinting. Bapak juga begitu bila mabuk dan pulang tengah malam, berteriak kasar memanggil nama ibu. Karena ibu sudah tertidur (atau pura-pura tidur?) Maura yang membukakan pintu. Di depan pintu itu bapak sering mendekap tubuh Maura. Maura meronta-ronta, membuat ibu terbangun. Ibu selalu mengira Maura mengalami mimpi buruk atau terserang penyakit yang membuat orang berjalan ketika tidur.

"Kau mulai gila," tuduh ibu. Maura menciut, ngeri. "Semua orang di rumah ini mulai gila," kembali ibu berkata. Maura makin tersudut.

"Seharusnya kau tidak membuat keributan malam-malam begini!" bentak ibu, gusar. "Kau tahu, kita sungguh-sungguh bisa mati dalam kegilaan," ceracau ibu disambung dengan tangisan histeris yang lebih menyeramkan dari cerita hantu di kuburan. Kemudian cepat sekali ibu telah berlari ke dapur, mengambil sapu, dan memukuli Maura dengan tangkai sapu itu. Keributan itu berakhir ketika ibu kehabisan tenaga, terduduk lemas; menangis sepanjang sisa malam di sisi bapak yang sudah mendengkur di lantai yang, sekali atau dua kali, menyebut nama pelacur yang begitu ia cintai.

Dalam tidur yang gelisah itu, Maura terus melihat dirinya tumbuh membawa hati yang tidak sempurna. Hatinya yang terlanjur sumbing. Retak di mana-mana. Suatu kali ketika ia genap berumur delapan belas tahun, ia menjenguk ke dalam hatinya itu di kamar yang gelap, namun anehnya ia mampu melihat apa pun, maka ia terpekik menemukan bayi-bayi api berdesak-desakan di sana. Mereka sedang belajar mendesis. Lidah mereka yang kecil menjulur-julur, berkilat merah. Cepat–cepat Maura menutup rapat hatinya. Itu rahasia yang tidak bisa ia sampaikan pada siapa pun. Rahasia.

Maura terbangun dengan rasa tawar. Kulit tubuhnya dingin, sementara kepala terasa penuh dan berat. Bayi-bayi api masih berkelebatan di pikirannya. Ia melihat ke dadanya yang masih terbuka. Ia ingin sekali menjenguk ke dalam hatinya setelah sekian lama nyaris lupa kalau ia punya rahasia. Bisa jadi bayi-bayi api yang dulu itu sudah menjelma lidah api yang besar dan mengancam. Maura curiga api itulah yang membakar dirinya, sejak semalam.

Maura menyeringai, dan mengurungkan niatnya. Kesadaran membuat ia kembali merasakan seluruh tubuh yang nyeri. Ia meraba pipi, punggung, siku, kaki. Mulutnya mendesis tidak jelas. Semacam ekspresi sakit yang coba ia tahan. Ia lawan. Akh, betapa tidak mudah melawan sesuatu yang mendekam dalam diri. Ia mendengus geram, berkali-kali.

Sedikit tenang, ia mulai memandangi pintu, gorden jendela, meja, kursi, televisi. Tidak ada yang berubah. Diam dan kaku. Sesaat ia terpikir tentang halaman belakang yang pasti berantakan setelah serangan angin badai kemarin malam. Batang ubi dan cangkah belimbing yang berserakan. Sekali lagi ia menyeringai, "Angin badai yang ganas, dia benar-benar tidak pulang."

Maura melihat jam di atas meja. Pukul delapan. Seharusnya pukul sembilan ia berangkat ke tempat laundry. Bersama rekan kerja mereka bergantian menjaga meja, menerima pakaian kotor yang diantar pelanggan, menimbang, mencatat, memberikan tanda bukti dan melepas kepergian orang itu dengan sedikit senyuman, memisah- misahkan jenis pakaian, memberi tanda tertentu pada berkeranjang-keranjang pakaian kotor, memasukkan cucian ke dalam mesin untuk kemudian dibilas, dijemur, disetrika. Disetrika.

Maura mendadak berdiri. Ia hiraukan ngilu pada sekujur tubuh. Ia biarkan saja kancing bajunya tetap terbuka. Tergesa ia masuk ke kamar. Mengambil setrika dan sekeranjang baju. Dengan cekatan juga ia sambungkan setrika pada kontak listrik.

Setrika menyala. Api di dada Maura ikut menyala.

Ia ambil salah satu blus hitam kesayangannya. Ia mulai menyetrika, pelan-pelan. Sepelan ia mengingat kembali masa-masa buruk yang ia lalui; ketika ia dipukuli ibu, dipukuli bapak, digerayangi kakak yang terbahak-bahak bersama teman-temannya, dipukuli suaminya yang sering mabuk seperti bapak, dilecehkan pemilik laundry bertubuh tambun menjijikkan. "Iblis," desisnya geram.

Maura menekan setrika di atas blus dengan gerakan yang semakin berat. Seberat perasaan yang coba ia tahan bertahun-tahun, ia pendam bersama rahasia bayi-bayi api di Mauranya. Perasaan berat yang sekarang ingin ia lepaskan, dan karena itu ia berteriak keras-keras, "Kalian iblis!" Kalimat itu menggema, mengembang mirip bunga cahaya.

Diambilnya lagi pakaian dalam keranjang, kemeja lengan pendek motif garis vertikal milik suami. Saat menyetrika kemeja itu Maura membayangkan tengah menyetrika dada kakak dan teman-temannya yang kurang ajar, dada ibu yang sering memukulinya dan membuatnya ketakutan, dada bapak yang pemabuk dan lebih mencintai pelacur daripada ibu, dada suaminya yang pemalas juga keparat, dada pemilik laundry yang sungguh bajingan—yang membuat ia membiarkan kancing bajunya terus terbuka hingga kini karena ia terlalu marah. Begitu juga ketika ia menyetrika kaus oblong atau celana pendek. Ia terus membayangkan tengah menyetrika dada kakak dan teman-temannya, dada ibu, dada bapak, dada suaminya, dada pemilik laundry. Mata Maura merah. Semakin merah. Ia terus menyetrika dengan mata yang merah, dengan tubuh yang marah, hingga seseorang menggedor pintu keras-keras, meneriakkan namanya dengan suara teramat kasar pada pagi di pengujung Agustus sehabis diterjang angin badai.


12.40 | 0 komentar | Read More

Tasripin dan Twitter Presiden

Written By Unknown on Minggu, 21 April 2013 | 12.40

Oleh Sumarwoto

Empat bocah kecil tampak canggung ketika baru memasuki Hotel Wisata Niaga di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Rabu (17/4).

Mereka baru kali pertama menginjakkan kaki di hotel.

Meski canggung, Tasripin (12), Dandi (7), Riyanti (6), dan Daryo terlihat gembira karena bisa menginap di hotel.

Tasripin dan adik-adiknya "diungsikan" karena rumah mereka sedang direhab.

Rumah kayu ukuran 5 x 6 meter itu ada di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas.

Anggota TNI Komando Resor Militer 071 Wijayakusuma dan Komando Distrik Militer 0701 Banyumas mulai Kamis (18/4) memperbaiki rumah tersebut.

Kediaman Tasripin dan adik-adiknya itu terdiri atas tiga ruangan, yakni ruang tamu, ruang tidur, dan dapur.

Mereka berempat tinggal sendirian di rumah itu karena sang ibu, Sutinah (37), meninggal dunia dua tahun lalu akibat tertimpa batu saat menjadi buruh penambang pasir di desanya.

Sementara itu, sang ayah, Kuswito (41), bersama anak sulungnya, Natim (21), pergi ke Kalimantan untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit sejak lima bulan lalu.

Meskipun setiap bulannya Kuswito selalu mengirimkan uang sebesar Rp 500.000 hingga Rp 600.000 untuk Tasripin dan adik-adiknya, uang tersebut tidak mencukupi kebutuhan mereka berempat.

"Uang yang dikirim Bapak langsung saya gunakan untuk membayar utang di warung. Kebetulan ada warung yang bersedia memberi pinjaman dahulu, seperti beras sebanyak 15 kilogram untuk kebutuhan seminggu dan bumbu dapur," kata Tasripin.

Kalau uang itu masih tersisa, kata dia, digunakan untuk membeli sayuran. Namun, jika habis, terpaksa makan nasi campur garam.

Karena harus memenuhi kebutuhan hidup adik-adiknya, Tasripin, yang putus sekolah sejak kelas III di SD Negeri Sambirata dan masih menunggak biaya sekolah sekitar Rp 100.000, berupaya mencari nafkah dengan menjadi buruh tani.

"Saat panen kemarin, saya jadi buruh panen pagi. Hasilnya lumayan meskipun hanya berupa gabah sebanyak 22 kilogram," katanya.

Dia mengaku mengerjakan apa saja yang penting halal demi memenuhi kebutuhan Dandi dan Riyanti yang juga telah putus sekolah serta Daryo yang masih duduk di bangku pendidikan anak usia dini (PAUD).

"Kadang saya jadi buruh panggul gabah seberat 15-20 kilogram ke penggilingan padi dengan berjalan kaki menanjak sejauh 1 kilometer dan mendapat upah sebesar Rp 10.000-Rp 20.000. Kalau dimintai tolong jaga sawah, saya mendapat upah sebesar Rp 50.000 selama satu minggu," katanya.

Setiap hari sebelum berangkat kerja, dia harus bangun pagi untuk menyiapkan makanan buat adik-adiknya dan memandikan si kecil Daryo.

Awalnya, dia mengaku kesulitan mengurus Daryo yang selalu rewel sejak ditinggal pergi oleh ayah mereka.

"Namun sekarang, Daryo tidak lagi rewel," katanya.

Saat ini, dia mengaku tidak percaya terhadap perhatian dari masyarakat yang begitu besar kepada keluarga kecilnya.

Oleh karena itu, dia ingin kembali bersekolah dengan dana bantuan dari masyarakat asalkan ayahnya pulang dari Kalimantan.

Menurut dia, sebagian dana bantuan itu akan dijadikan modal usaha bagi ayahnya jika telah kembali ke rumah.

"Saya ingin bapak bekerja di sini sehingga saya dan adik-adik bisa kembali bersekolah meskipun kami ketinggalan dengan teman-teman yang lain," katanya.

Terkait dengan kesempatan menginap di hotel, dia mengaku senang karena selama ini belum pernah merasakannya.

Sementara itu, Komandan Kodim 0701 Banyumas Letnan Kolonel Infanteri Helmi Tachejadi Soerjono mengatakan bahwa pihaknya tersentuh atas kegigihan Tasripin untuk menafkahi adik-adiknya.

Menurut dia, pihaknya sengaja mengerahkan anggota TNI untuk merehabilitasi rumah Tasripin yang terlihat kumuh sehingga tidak memenuhi standar kesehatan.

"Kami buatkan MCK, perbaiki ruang tidur, dapur, dan lantai. Meskipun sederhana, rumah Tasripin nantinya memenuhi standar kesehatan," katanya.

Bahkan, kegigihan Tasripin dalam memenuhi kebutuhan hidup adik-adiknya pun mendapat perhatian serius dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Presiden SBY dalam akun Twitter-nya, @SBYudhoyono, pada hari Kamis (18/4/2013), menuliskan "Kisah Tasripin, Banyumas, usia 12 tahun, yang menjadi buruh tani untuk menghidupi ketiga adiknya sungguh menggores hati kita".

Selain itu, Presiden SBY juga menuliskan "Saya akan segera mengutus Staf Khusus saya, bekerja sama dengan Gubernur Jateng, untuk mengatasi persoalan hidup Tasripin" dan "Tasripin terlalu kecil untuk memikul beban dan tanggung jawab ini. Secara moral, saya dan kita semua harus membantunya".

Kegigihan Tasripin ini memang menggugah kepedulian masyarakat karena bocah kecil berusia 12 tahun itu harus membanting tulang demi adik-adiknya.

Satu Tasripin tertolong, tapi "Tasripin-Tasripin" lainnya masih menunggu uluran tangan.


12.40 | 0 komentar | Read More

Empat Perempuan - 27

Cerber Endah Raharjo

Episode 27: Keluarga


Dea menyurukkan kepalanya ke leher ibunya. Ia selalu suka menikmati wangi parfum yang tak pernah lupa dioleskan ibunya ke leher, belakang telinga dan tengkuk; sesaat menjelang tidur. Selalu begitu. Ritual mengoles parfum itu tak berhenti meskipun suaminya telah tiada. Cara itu membuat rambutnya senantiasa harum semerbak, juga bantalnya, menenangkan pikirannya, membantunya terlelap.

"Mama nggak pernah ganti merk parfum," bisik Dea, menghirup harum di sela-sela rambut Runi.
"Papamu suka banget merk ini." Runi mengusap rambut lurus-tebal anaknya. Ia menduga Dea sedang punya persoalan di sekolah atau sedang ingin bermanja atau bisa jadi tengah kangen ayahnya. Ia hapal kelakuan remaja itu.

Dari ruang tengah terdengar gelak Eyang dan Iroh, menonton acara komedi di TV. Meskipun menurut Eyang semua acara komedi di TV tak ada lagi yang selucu sekaligus setajam dagelan Sri Mulat, ia sesekali masih bisa menikmati dan tertawa geli.

Runi ingin tidur awal karena kelelahan empat-hari-empat-malam mengantar tamu kunjungan lapangan disambung rapat hingga tengah malam.
"Kangen Papa," bisik Dea.
"Ya. Mama tahu." Runi memiringkan tubuhnya, menekuk lengannya, lalu kepalanya ia tumpu dengan telapak tangan. Wajahnya menghadap Dea. "Sebulan lagi genap 6 tahun. Rasanya Papa masih ada di rumah, ya," gumam Runi, lebih pada diri sendiri.
"Dea suka iri kalau lihat Rae dan Beti diantar papa mereka." Dea menyebut dua sahabat dekatnya. "Dea kadang suka sulit ngebayangin wajah Papa. Baru ingat lagi kalau lihat fotonya."
"Nggak apa-apa. Mama juga sering gitu. Wajah papamu sering kabur. Waktu itu kamu belum 11 tahun. Tanggal 2 Mei 2005. Kamu baru mau ujian SD. Ingat?"
Terdengar suara gesekan antara kepala dengan bantal saat remaja itu mengangguk.
"Dea habis baca buku psikologi." Gadis itu memang bercita-cita menjadi psikolog. "Katanya anak-anak yang dibesarkan tanpa figur ayah cenderung bermasalah."
Runi mendesah, antara geli dan berduka. "Namanya juga kecenderungan. Tidak selalu begitu. Nurut Mama kamu baik-baik aja. Apa kamu merasa punya masalah?"
Suara gesekan antara bantal dan kepala itu terdengar lagi. Namun kali ini Dea menggeleng.
"Kamu pernah nonton film Mrs. Doubtfire?"
"Belum. Film apa itu?"
"Itu film komedi keluarga paling bagus yang pernah Mama tonton. Dibuat tahun 1994. Kamu belum lahir. Yang main Robin Williams dan Sally Field. Ada Pierce Brosnan juga."
"Kapan-kapan kita cari DVD-nya, ya. Apa download aja. Kalau film lama pasti bisa. Apa ceritanya, Ma?"
"Mama bukan mau cerita filmnya itu. Tapi sesuatu yang dikatakan Mrs. Doubtfire di bagian akhir film. Dalam acara TV yang dibintanginya, dia njawab surat dari anak kecil yang orangtuanya baru cerai. Dia bilang kalau keluarga itu macam-macam wujudnya. Mama lupa tepatnya. Kira-kira dia bilang ada keluarga yang terdiri dari bapak-ibu-anak-anak-dan anjing, ada ibu dan anak saja, ada bapak dan anak-anak saja, ada perempuan dan kucing, ada laki-laki dan anjing… gitu. Maksudnya selama ada kasih sayang, apapun wujud keluarga kita, semua akan baik-baik saja."
Dea menggeser tubuhnya lebih dekat ke tubuh ibunya.
"Nggak semua anak beruntung punya nenek yang tinggal di rumahnya. Nggak semua keluarga punya Iroh yang setia, jujur, rajin kerja, dan pintar masak."
"Ya." Ada geletar halus dalam suara Dea. "Jadi ingat Olan."
"Siapa Olan? Temanmu? Kamu belum pernah cerita."
"Namanya Orlando, sama-sama kelas dua tapi beda kelas. Dia kecelakaan. Parah banget. Udah seminggu ini di rumah sakit. Orangtuanya baru cerai. Dia kecewa, terus nge-drug, terus ngebut, ya… gitu."
"Kasihan. Itulah. Keluarga itu, nurut Mama, harus jadi tempat tubuh kita, pikiran kita, dan hati kita pulang, beristirahat. Memberi ketentraman. Tempat paling aman di dunia. Tak peduli seburuk apa diri kita, keluarga akan menerima kita kembali kapan saja. Seperti yang dibilang Mrs. Doubtfire itu, biarpun nggak lengkap ada ayah-ibu dan anak-anak." Runi berhenti, lalu melanjutkan dengan sangat hati-hati, "daripada ada orang tua lengkap tapi hati mereka sebenarnya tidak bersatu."
"Pasti lebih senang kalau ada bapak dan ibu yang bersatu," tukas Dea.
"Tentu saja. Tapi nggak ada orang yang mendapatkan semuanya dengan sempurna."
"Ngantuk, Ma. Dea tidur sini aja, ya." Gadis itu membalikkan tubuhnya, meraih bantal satu lagi, mendekapnya di antara dua kaki.

**

"Kamu nggak ngantor?" tanya Eyang, mengawasi Runi yang belum mandi padahal jam di dinding ruang makan sudah menunjuk angka 9.
"Capek, Bu." Runi tidak mengalihkan matanya dari layar laptop. "Aku udah pamit Bu Indri. Seno juga udah kupesen macam-macam."
"Kalau capek ya istirahat. Malah kerja."
"Ini cuma mbalesin email teman-teman."
"Semalam Dea kenapa kok minta kelon?"
"Yah, biasa… kangen bapaknya." Mata Runi menatap ibunya, lalu ia pejamkan dan lehernya ia putar ke belakang. "Ada temannya barusan kecelakaan. Katanya parah. Kecewa karena orangtuanya cerai."
"Aduuuh… kasihan sekali. Rasa-rasanya sekarang sering banget dengar kabar orang cerai. Dunia udah sangat berubah."
"Mungkin sebenarnya sama aja. Hanya karena jumlah orangnya berlipat ganda dan komunikasi makin gampang. Berita jadi cepet nyebar."
"Semoga memang begitu…."
"Aku kok jadi kuatir sama Dea, Bu."
"Memangnya kenapa?" Eyang duduk di kursi, dua tangannya bersedekap di meja makan.
"Dia baru baca buku psikologi…."
"Oalaaah… itu pasti buku yang ngulas teori-teori psikoanalisanya Freud, yang kemarin Ibu tanya buat apa baca-baca buku begituan."
"Biar aja dia baca apa aja, Bu. Bukan karena buku itu, kok." Kulit di antara alis Runi terlipat. "Aku kuatir aku tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya. Itu aja."
"Oalah, Nduk. Kalau itu, Ibu juga sampai sekarang masih merasa begitu. Kuatir kalau Ibu nggak bisa jadi ibu yang sempurna buat kalian bertiga. Nggak bisa jadi nenek yang baik. Tapi siapa yang bisa jadi sempurna?"
"Ini bukan perkara jadi orang sempurna, Bu. Ini perkara Dea. Anak itu memang nggak pernah nunjukin tanda-tanda stress atau semacamnya. Tapi remaja seumur dia pinter nyembunyikan sesuatu dari keluarga."
"Ibu nggak pernah merasakan ada sesuatu yang buruk yang dia sembunyikan. Sebagai bagian keluarga ini, kalau ada hal semacam itu Ibu akan bisa merasakan. Keluarga yang rukun itu ibarat kristal, kalau ada goresan, meskipun kecil, bisa dilihat, bisa dirasakan."
Runi mendengus, menutup laptopnya. "Kalau sedang capek aku suka mikir yang nggak-nggak."
"Makanya istirahat aja. Nggak usah buka-buka laptop."
"Nya…." Tiba-tiba Iroh sudah ada di belakang Runi.
"Ada apa?"
"Anu… Nyonya nggak usah kuatir. Non Dea sering cerita ke saya. Katanya dia bangga punya ibu kayak Nyonya. Beneran, Nya."
"Wah. Kamu nguping ya?"
"Nggak usah pakai nguping juga udah dengar." Iroh menahan tawa. "Saya juga seneng punya majikan kayak Nyonya."
"Kamu pinter nyenengin hati, Roh. Gimana kabar adik-adikmu?"
"Baru konsentrasi belajar, Nya. Dua minggu lagi ujian."
"Moga-moga semua lancar. Kami ikut mendoakan."
"Makasih, Nya. Permisi dulu, saya mau njemur cucian." Iroh berbalik, tapi langkahnya tertahan. "Nya, jangan kuatir. Non Dea baik-baik aja. Saya bakal ikut njaga."
Runi dan ibunya saling memandang. Segurat senyum menghiasi wajah Eyang. Dalam hati perempuan itu yakin cucu sulungnya akan selamat menjalani masa remaja. Selama hampir enam tahun ia sudah menyaksikan sendiri, Seruni, anak sulungnya itu, berjuang sekuat tenaga menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak tunggalnya. Tuhan, seperti yang ia percaya, tak pernah memejamkan mata, semua yang baik meskipun selembut pasir tak akan lepas dari perhatianNya.

***


12.40 | 0 komentar | Read More

Wamendikbud: Gunung Padang Mendunia

Written By Unknown on Sabtu, 20 April 2013 | 12.40

JAKARTA, KOMPAS.com—Situs Gunung Padang, di Cianjur, Jawa Barat, dinilai sudah mendunia sehingga akan dibawa dalam Forum Budaya Dunia 2013 (WCF) yang digelar oleh UNESCO pada November tahun ini, kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti.

"Temuan terbaru di Gunung Padang sudah mendunia," demikian Wiendu Nuryanti saat bertemu dengan tim peneliti mandiri Gunung Padang di Jakarta, Rabu.

Turut hadir dalam pertemuan tersebut, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam, Andi Arief, yang juga merupakan inisiator dari tim tersebut.

Dalam pertemuan ini, tim peneliti mandiri Gunung Padang diwakili oleh Budiarto Ontowirjo (peneliti di BPPT) dan Lily Tjahjandari (peneliti UI).

Menurut Wiendu, temuan di Gunung Padang sudah menjadi wacana internasional, hal tersebut diungkapkan oleh Dubes Peru untuk Indonesia pada saat pertemuan Presiden SBY dan para duta besar negara sahabat di Cipanas, 11 April 2011.

"Dalam kesempatan itu, Dubes Peru menawarkan kolaborasi riset antara Pemerintah Peru dan Pemerintah Indonesia, berkenaan dengan situs Gunung Padang di Indonesia dan situs Manchu Picchu di Peru," ungkap Wiendu.

Menurut Wiendu, kedua negara dapat diuntungkan dengan melakukan kolaborasi seperti ini, para ahli dapat bekerja sama dalam mempelajari keunikan dua situs tersebut

"Ini program antarnegara, kedua situs bisa jadi `sister sites,` dan tentunya akan memudahkan untuk mendaftarkan situs Gunung Padang sebagai salah satu Warisan Dunia di UNESCO, juga sebagai salah satu Keajaiban Dunia," katanya.

Andi Arief mengungkapkan bahwa Peru bukan negara pertama yang memberi ucapan selamat dan menawarkan riset bersama.

Terkait tawaran dari Dubes Peru, menurut Andi ini adalah hal positif, tetapi untuk sementara tim terpadu fokus pada penuntasan pembuktian tampak luar Gunung Padang.

"Hingga akhirnya nanti jika dirasa sudah lengkap, maka riset ini akan diberikan pada negara. Terserah negara nanti apakah menerima tawaran join riset tersebut." demikian Andi Arief.


12.40 | 0 komentar | Read More

Tasripin dan Twitter Presiden

Oleh Sumarwoto

Empat bocah kecil tampak canggung ketika baru memasuki Hotel Wisata Niaga di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Rabu (17/4).

Mereka baru kali pertama menginjakkan kaki di hotel.

Meski canggung, Tasripin (12), Dandi (7), Riyanti (6), dan Daryo terlihat gembira karena bisa menginap di hotel.

Tasripin dan adik-adiknya "diungsikan" karena rumah mereka sedang direhab.

Rumah kayu ukuran 5 x 6 meter itu ada di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas.

Anggota TNI Komando Resor Militer 071 Wijayakusuma dan Komando Distrik Militer 0701 Banyumas mulai Kamis (18/4) memperbaiki rumah tersebut.

Kediaman Tasripin dan adik-adiknya itu terdiri atas tiga ruangan, yakni ruang tamu, ruang tidur, dan dapur.

Mereka berempat tinggal sendirian di rumah itu karena sang ibu, Sutinah (37), meninggal dunia dua tahun lalu akibat tertimpa batu saat menjadi buruh penambang pasir di desanya.

Sementara itu, sang ayah, Kuswito (41), bersama anak sulungnya, Natim (21), pergi ke Kalimantan untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit sejak lima bulan lalu.

Meskipun setiap bulannya Kuswito selalu mengirimkan uang sebesar Rp 500.000 hingga Rp 600.000 untuk Tasripin dan adik-adiknya, uang tersebut tidak mencukupi kebutuhan mereka berempat.

"Uang yang dikirim Bapak langsung saya gunakan untuk membayar utang di warung. Kebetulan ada warung yang bersedia memberi pinjaman dahulu, seperti beras sebanyak 15 kilogram untuk kebutuhan seminggu dan bumbu dapur," kata Tasripin.

Kalau uang itu masih tersisa, kata dia, digunakan untuk membeli sayuran. Namun, jika habis, terpaksa makan nasi campur garam.

Karena harus memenuhi kebutuhan hidup adik-adiknya, Tasripin, yang putus sekolah sejak kelas III di SD Negeri Sambirata dan masih menunggak biaya sekolah sekitar Rp 100.000, berupaya mencari nafkah dengan menjadi buruh tani.

"Saat panen kemarin, saya jadi buruh panen pagi. Hasilnya lumayan meskipun hanya berupa gabah sebanyak 22 kilogram," katanya.

Dia mengaku mengerjakan apa saja yang penting halal demi memenuhi kebutuhan Dandi dan Riyanti yang juga telah putus sekolah serta Daryo yang masih duduk di bangku pendidikan anak usia dini (PAUD).

"Kadang saya jadi buruh panggul gabah seberat 15-20 kilogram ke penggilingan padi dengan berjalan kaki menanjak sejauh 1 kilometer dan mendapat upah sebesar Rp 10.000-Rp 20.000. Kalau dimintai tolong jaga sawah, saya mendapat upah sebesar Rp 50.000 selama satu minggu," katanya.

Setiap hari sebelum berangkat kerja, dia harus bangun pagi untuk menyiapkan makanan buat adik-adiknya dan memandikan si kecil Daryo.

Awalnya, dia mengaku kesulitan mengurus Daryo yang selalu rewel sejak ditinggal pergi oleh ayah mereka.

"Namun sekarang, Daryo tidak lagi rewel," katanya.

Saat ini, dia mengaku tidak percaya terhadap perhatian dari masyarakat yang begitu besar kepada keluarga kecilnya.

Oleh karena itu, dia ingin kembali bersekolah dengan dana bantuan dari masyarakat asalkan ayahnya pulang dari Kalimantan.

Menurut dia, sebagian dana bantuan itu akan dijadikan modal usaha bagi ayahnya jika telah kembali ke rumah.

"Saya ingin bapak bekerja di sini sehingga saya dan adik-adik bisa kembali bersekolah meskipun kami ketinggalan dengan teman-teman yang lain," katanya.

Terkait dengan kesempatan menginap di hotel, dia mengaku senang karena selama ini belum pernah merasakannya.

Sementara itu, Komandan Kodim 0701 Banyumas Letnan Kolonel Infanteri Helmi Tachejadi Soerjono mengatakan bahwa pihaknya tersentuh atas kegigihan Tasripin untuk menafkahi adik-adiknya.

Menurut dia, pihaknya sengaja mengerahkan anggota TNI untuk merehabilitasi rumah Tasripin yang terlihat kumuh sehingga tidak memenuhi standar kesehatan.

"Kami buatkan MCK, perbaiki ruang tidur, dapur, dan lantai. Meskipun sederhana, rumah Tasripin nantinya memenuhi standar kesehatan," katanya.

Bahkan, kegigihan Tasripin dalam memenuhi kebutuhan hidup adik-adiknya pun mendapat perhatian serius dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Presiden SBY dalam akun Twitter-nya, @SBYudhoyono, pada hari Kamis (18/4/2013), menuliskan "Kisah Tasripin, Banyumas, usia 12 tahun, yang menjadi buruh tani untuk menghidupi ketiga adiknya sungguh menggores hati kita".

Selain itu, Presiden SBY juga menuliskan "Saya akan segera mengutus Staf Khusus saya, bekerja sama dengan Gubernur Jateng, untuk mengatasi persoalan hidup Tasripin" dan "Tasripin terlalu kecil untuk memikul beban dan tanggung jawab ini. Secara moral, saya dan kita semua harus membantunya".

Kegigihan Tasripin ini memang menggugah kepedulian masyarakat karena bocah kecil berusia 12 tahun itu harus membanting tulang demi adik-adiknya.

Satu Tasripin tertolong, tapi "Tasripin-Tasripin" lainnya masih menunggu uluran tangan.


12.40 | 0 komentar | Read More

Tetap Kreatif Menjelang Senja

Written By Unknown on Jumat, 19 April 2013 | 12.40

oleh Efix Mulyadi

Seorang pedagang karya seni rupa pernah menyatakan masa kreatif seseorang hanya sampai usia 35 tahun. Ini membuat kesal lima orang perupa yang kemudian membuat pameran bertajuk "Expandableg" di Galeri Nasional Jakarta, 5-19 April 2013. Pameran itu menunjukkan bahwa usia tidak berkait langsung dengan kreativitas. Usia mereka paling muda 45 tahun dan tetap menghasilkan karya yang bermutu.

Lugiono (59) misalnya menekuni idiom-idiom Jawa lewat berbagai nilai yang ditularkan lewat dunia pewayangan. Terdidik di dalam sekolah formal senirupa (SSRI, disambung STSRI "ASRI" Yogyakarta 1971-1976), Lugiono memindahkan bentuk visual dan kandungan nilai wayang purwa ke kanvas.

Karakter-karakter yang sudah "final" itu dilukisnya di dalam berbagai macam situasi, di dalam konfigurasi berbagai ornamen yang terkesan akrab. Bolehlah disebut kanvas telah menjadi kelir untuk pertunjukan wayang seperti lukisannya "Dewa Amral", "Hanoman", atau "Dewa Ruci".

Karya-karya Klowor Waldiono (45), menyemburkan rasa riang, sumringah, yang menularkan semangat hidup. Beberapa kanvasnya terkesan riuh rendah bahkan berjejalan dengan berbagai citraan yang terkadang bertabrakan atau saling tindih, namun tidak membuat kita sumpeg.

Semuanya seperti dicampur aduk, namun memikat. Tarikan garis-garisnya berani dan terkadang terkesan naïf. Tokoh rekaannya kucing muncul dalam berbagai peran seperti dalam "Seri Merapi" dengan jajaran stupa, ditumpuki bentuk-bentuk pohonan, dengan bidang kosong yang diisi secara ornamentik. Demikian juga dengan lukisannya "Kerbau Jantan" atau "Kijang Kencana", "Festival Seni Borobudur", dan "Seri Borobudur".

Menatap lukisan Ipong Purnama Sidhi (58) orang akan mengalami sensasi kebebasan, bahkan keliaran, di dalam sebuah dunia yang sengaja disiapkan untuk merayakan sikap "semua boleh dilakukan".

Karya-karya lulusan STSRI "ASRI" 1981 yang sehari-hari kurator Bentara Budaya ini adalah paduan menarik antara garis-garis yang ekspresif, tegas, kadang keras, tabrakan warna yang mengagetkan, dengan semangat bermain anak-anak yang selalu segar lewat citraan yang ditimbulkan: berani, tanpa beban, dan selalu bergelora. Jejak-jejak emosinya menawarkan ironi seperti pada karyanya "Drink never Drunk", "Repulik Mabuk", "Life is a Tragedy", "Hospital", atau "Urip Mung Mampir Ngombe Bir".

Daftar panjang riwayat kerja Irawan Karseno (52) membuat orang mudah menyimpulkan satu hal: seniman ini kelebihan energi. Dia menghasilkan karya seni sebagai ungkapan pribadi, cukup untuk membuatnya hadir secara meyakinkan di medan seni rupa.

Di sisi lain ia menggarap interior (artwork) berbagai bangunan komersial seperti hotel dan resort, bar dan restaurant, serta ruang-ruang perkantoran sejak Jakarta, Medan, sampai Singapura. Karya-karya abstraknya seperti lukisan "Dialog Setengah Hati" tampaknya bonus dari pergulatan dengan kerja disain kreatif: memikat, namun simpel.

Karya-karya Abdusssalam (57) terkesan rapi, bersih, dan tertib. Karya-karya Lulusan SSRI (1974) Yogyakarta yang kini Manajer Design Development PT Texmaco Jaya ini menggambarkan posisi perempuan yang rentan seperti "Trafficking", "Smuggling People", dan "The Dragon in Power of Dance.

Dengan cara nyaman Abdussalam menawarkan paradoks nilai-nilai: keindahan, ketertiban, kerapian berendeng dengan kekerasan, kemunafikan, ketidaksetaraan. Boleh dikata dengan halus ia berhasil menyusupkan persoalan manusia yang menjadi salah satu keprihatinan dunia kita masa kini.

*) Efix Mulyadi adalah wartawan dan pecinta seni


12.40 | 0 komentar | Read More

Keuskupan Agung Jakarta Gelar Pameran Foto dan Patung Asmat

Keuskupan Agung Jakarta Gelar Pameran Foto dan Patung Asmat

Penulis: Kurnia Sari Aziza | Kamis, 18 April 2013 | 21:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Profesional dan Usahawan Katolik Keuskupan Agung Jakarta (Pukat KAJ) menggelar pameran foto dan patung bertajuk "Asmat: The Spirit of Agats". Pameran ini diselenggarakan pada 18-20 April 2013 di Blackwater, West Mall level 5, Grand Indonesia, Jakarta.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi meresmikan secara langsung pembukaan pameran tersebut, Kamis (18/4/2013) malam. Pameran ini menampilkan koleksi foto Suku Asmat yang dibidik oleh lima fotografer, antara lain Jenfilia Suwandrei Arifin, Pastor Robert Ramone, Brunoto Suwandrei Arifin, Budhi Ipoeng, dan Pastor Vincent Cole.

Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo mengatakan, keluhuran nilai hidup Suku Asmat bisa disimak melalui karya seni Asmat dalam pameran tersebut. "Semoga melalui pameran foto dan patung ini membuat kita semakin terdorong untuk mengenal Agats dan Suku Asmat lebih jauh," katanya dalam peresmian pameran tersebut.

Selain pameran foto dan patung, dalam acara itu juga diselenggarakan penggalangan dana untuk warga suku Asmat. Ia berharap pameran foto itu menarik para pengunjung untuk menyumbangkan kepedulian mereka kepada warga Suku Asmat melalui Keuskupan Agats.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, penyakit malaria mendominasi kehidupan Suku Asmat, yaitu sebanyak 28 persen, penyakit infeksi saluran napas sebanyak 19 persen, dan diare 10 persen. Di sana juga masih ditemukan penyakit filariasis (kaki gajah), cacingan, kurang gizi, frambusia (penyakit infeksi kulit), dan AIDS. Di distrik Mamugu, Kabupaten Asmat, ditemukan ada 119 pengidap kusta dari total 332 penduduk Mamugu.

"Walaupun banyak masalah, masyarakat Suku Asmat tetap berpegang teguh pada nilai-nilai leluhur. Keluhuran nilai hidup mereka tecermin dalam rangkaian foto ini, seperti kasih sayang dan semangat berbagi," ujar Ignatius Suharyo.


12.40 | 0 komentar | Read More

Jokowi Akan Gelar Pentas Seni di Perkampungan

Written By Unknown on Kamis, 18 April 2013 | 12.40

Jokowi Akan Gelar Pentas Seni di Perkampungan

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: libraries/Globalfunc.php

Line Number: 13

Selasa, 16 April 2013 | 21:10 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) akan menggelar pentas seni budaya di daerah-daerah perkampungan di Ibu Kota.

"Yang namanya pertunjukan seni budaya itu bisa di mana saja, tidak harus di tempat-tempat besar. Makanya, kami mau adakan juga di kampung-kampung yang ada di Jakarta," katanya di Balaikota, Jakarta Pusat, Selasa.

Menurut Jokowi, pertunjukan seni budaya yang digelar di wilayah perkampungan dapat membantu menghidupkan suasana Kota Jakarta sehingga tampak lebih meriah.

"Kalau ada pentas seni di kampung-kampung, kota ini bisa jadi lebih hidup dan lebih meriah. Yang perlu diingat adalah, tanpa seni, sebuah kota hanya akan terasa hambar," ujarnya.

Jokowi mengungkapkan, pertunjukan pentas seni di daerah perkampungan juga dimaksudkan agar seluruh lapisan masyarakat Jakarta dapat menikmatinya.

"Dengan cara ini, sebuah pentas seni bukan merupakan hiburan bagi kelas masyarakat tertentu atau bersifat eksklusif, tetapi bisa juga dinikmati oleh semua lapisan masyarakat," tuturnya.

Oleh karena itu, ia meminta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) turut aktif memberikan saran dan masukan kepada Pemerintah Provinsi DKI terkait penyelenggaraan pentas seni budaya di Ibu Kota.

Jokowi juga berpesan kepada DKJ agar dalam berbagai pertunjukan pentas seni, masyarakat turut dilibatkan sehingga kesenian di Ibu Kota lebih berkembang karena warga bukan hanya sekadar menjadi penikmat seni, tetapi juga pelaku seni.


12.40 | 0 komentar | Read More

Opera Tari Akan Jadi Malam Digelar di TIM

Opera Tari Akan Jadi Malam Digelar di TIM

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: libraries/Globalfunc.php

Line Number: 13

Penulis: Ida Setyorini | Rabu, 17 April 2013 | 17:31 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Setiap kehidupan selalu melewati masa muda, masa jaya, hingga masa tua. Tiada yang kekal dalam empasan waktu, selalu ada pergantian terang menjadi gelap, siang menjadi malam, hingga keriuhan berganti kesunyian. Begitu pula dengan manusia.

Opera tari ini pernah dipentaskan pada tahun 2008. Namun, berbeda dengan pementasan sebelumnya, materi untuk pementasan ini lebih kaya dan universal. Ada tembang Jawa, musik etnik Kalimantan, serta Sumatera.

-- Jefriandi Andi Usman

Kisah ini diangkat dalam opera tari Akan Jadi Malam karya Jefriandi Andi Usman. Pementasan ini berlangsung pada 22 dan 23 April 2013 di Plaza Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat.

"Opera tari ini pernah dipentaskan pada tahun 2008. Namun, berbeda dengan pementasan sebelumnya, materi untuk pementasan ini lebih kaya dan universal. Ada tembang Jawa, musik etnik Kalimantan, serta Sumatera," kata Jefri dalam jumpa pers di TIM, Jakarta, Rabu (17/4/2013).

Pementasan yang disponsori Djarum Apresiasi Budaya ini antara lain didukung Cornelia Agatha, Ine Febriyanti, Doni Irawan, Binu D Sukarman, Elly D Lutan, Laksmi Notokusumo, desainer Musa Widyatmojo dan Wirman Sinago.

"Pementasan ini sengaja di ruang terbuka dengan tujuan publik lebih merasakan getarannya. Kami ingin publik tahu mengapa kami berkesenian. Kesenian merupakan hasil kontemplasi, setiap karya seni adalah perjuangan memperkaya budaya. Panggung terbuka memungkinkan kami mendapat energi dari alam," kata desainer artistik M Aidil Lukman.


12.40 | 0 komentar | Read More

Warga Lyon Terkesan Pentas Sangkuriang

Written By Unknown on Rabu, 17 April 2013 | 12.40

LONDON, KOMPAS.com — Pementasan teater cerita rakyat Jawa Barat dibawakan pelajar Indonesia dengan pemeran utama Dennisa Wijayanti sebagai Dayang Sumbi dan Yasser Wahyuddin sebagai Sangkuriang berhasil menarik perhatian warga kota Lyon, Perancis.

Cerita Sangkuriang yang ditampilkan pada malam budaya Indonesia "Soirée Culturelle Indonésienne" itu diadakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Lyon bersama KBRI Paris di gedung Amphitheatre Prunier, ENTPE (Ecole Nationale des Travaux Publics de l'Etat) Lyon, Perancis.

Menurut anggota panitia Arie Fitria kepada Antara London, Selasa, pementasan tersebut dihadiri sekitar 300 undangan, termasuk Wali Kota Lissieu Jean-Louis Schuk, Direktur Jendral Service Agglomerasi Est Lyonnaise (CCEL) Jacques Perez, pejabat dan sivitas akademika ENTPE, serta Direktur Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC) di Lyon, Silvi C Sumanti.

"Selain itu, hadir juga pejabat pemerintah, akademisi, travel agents/tour operator, pelajar serta kalangan anggota Association Franco-Indonesie dan Anggota PPI Perancis dari berbagai wilayah lainnya," ujar mahasiswa S3 di ENTPE Lyon itu.

Dubes Indonesia untuk UNESCO di Paris Carmadi Machbub menyampaikan penghargaannya kepada pihak ENTPE dan undangan dengan harapan acara malam budaya dapat berkontribusi pada upaya peningkatan persahabatan antara Indonesia dengan Perancis.

Sementara itu, atase kebudayaan KBRI Paris, Arifi Saiman mengatakan, pihaknya turut bangga atas aktivitas dan kreativitas PPI Lyon dengan digelarnya Soirée Indonésienne kali ini. "Dedikasi yang luar biasa dari anggota PPI Lyon di tengah-tengah kesibukan studi yang sangat padat," ujarnya.

Soire Culturelle Indonésienne 2013 diselenggarakan sebagai jawaban atas tingginya animo pengunjung pada acara-acara serupa pada 2012.

Menurut Arie Fitria, penyelenggaraan tahun ini merupakan upaya menjaga kesinambungan informasi tentang Indonesia di kalangan masyarakat Perancis, khususnya Lyon. Dengan demikian diharapkan budaya Nusantara makin dikenal dan banyak warga tertarik berkujung ke Indonesia.

Acara itu dibuka dengan Tari Melinting dari Lampung, dilanjutkan pentas teater cerita Sangkuriang yang menceritakan legenda dalam naskah Pangeran Jaya Pakuan alias Bujangga Manik. Ceritera tersebut mudah dipahami oleh pengunjung berkat kepiawaian pasangan narator, yang tampil memukau dengan dibalut pakaian adat Minang.

Pentas teater cerita rakyat Jawa Barat itu disajikan dalam tiga  babak didukung berbagai tarian daerah Nusantara yang diadopsi dan dikemas secara apik guna menceritakan legenda Tangkubanparahu.

Di antaranya Tari Lenggang Nyai dari Jakarta, Tari Jaipong dari Jawa Barat, Tari Cendrawasih dari Bali, serta tari Saman dari Aceh menggambarkan pengerjaan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam. Cahaya fajar untuk menggagalkan pembuatan perahu dan telaga ditampilkan dengan koreografi tari selendang merah.

Selain itu diselingi dengan paduan suara PPI Lyon yang membawakan lagu "Sik Sik Sibatumanikam", "Kabanglah Bungo Parawitan", "Cublak-Cublak Suweng" serta lagu "Ramko Rambe Yamko". Didukung undian tombola yang berjalan meriah dan undangan yang beruntung mendapat hadiah berupa produk kerajinan Indonesia diserahkan Direktur IPTC Lyon, Silvi C Sumanti.

Acara Soirée itu diawali dengan Pameran Foto Koleksi KJRI Marseille berlangsung selama seminggu dimeriahkan pameran produk Indonesia yang diikuti Anak Tanah dan Atelier FER. Para pengunjung dimanjakan dengan penulisan nama dalam aksara Kawi atau Aksara Jawa Kuno dan aksara Batak sebagai suvenir.

Kegiatan penulisan itu bertujuan mengenalkan aksara tradisional Nusantara ke internasional guna melestarikan bahasa daerah di kalangan pelajar Indonesia yang berada di luar negeri khususnya Lyon.

Promosi gastronomi khas Indonesia disajikan berupa risoles dan lemper dan sebagai makanan malam dihidangkan cumi saos padang, capcai dan bolu cokelat.

Rangkaian acara tersebut mampu mewujudkan sasaran yang ingin dicapai, pengunjung mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Indonesia sebagai tempat tujuan saat liburan mereka.

Jean-jacques Thevenin, salah satu pengunjung, mengatakan, menyaksikan acara itu membuat dirinya ingin berkunjung ke Indonesia. Jean dalam bahasa Perancis menyebutkan, L'Indonésie fera certainement partie d'un de mes futurs voyages et ce sera cette soirée qui m'en aurez donné l'envie.

Minat warga masyarakat setempat tersebut dipengaruhi keragaman dan keindahan pakaian adat Nusantara yang dikenakan panitia dan mampu merepresentasikan kekayaan budaya Indonesia.


12.40 | 0 komentar | Read More

Jokowi Akan Gelar Pentas Seni di Perkampungan

Jokowi Akan Gelar Pentas Seni di Perkampungan

Selasa, 16 April 2013 | 21:10 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) akan menggelar pentas seni budaya di daerah-daerah perkampungan di Ibu Kota.

"Yang namanya pertunjukan seni budaya itu bisa di mana saja, tidak harus di tempat-tempat besar. Makanya, kami mau adakan juga di kampung-kampung yang ada di Jakarta," katanya di Balaikota, Jakarta Pusat, Selasa.

Menurut Jokowi, pertunjukan seni budaya yang digelar di wilayah perkampungan dapat membantu menghidupkan suasana Kota Jakarta sehingga tampak lebih meriah.

"Kalau ada pentas seni di kampung-kampung, kota ini bisa jadi lebih hidup dan lebih meriah. Yang perlu diingat adalah, tanpa seni, sebuah kota hanya akan terasa hambar," ujarnya.

Jokowi mengungkapkan, pertunjukan pentas seni di daerah perkampungan juga dimaksudkan agar seluruh lapisan masyarakat Jakarta dapat menikmatinya.

"Dengan cara ini, sebuah pentas seni bukan merupakan hiburan bagi kelas masyarakat tertentu atau bersifat eksklusif, tetapi bisa juga dinikmati oleh semua lapisan masyarakat," tuturnya.

Oleh karena itu, ia meminta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) turut aktif memberikan saran dan masukan kepada Pemerintah Provinsi DKI terkait penyelenggaraan pentas seni budaya di Ibu Kota.

Jokowi juga berpesan kepada DKJ agar dalam berbagai pertunjukan pentas seni, masyarakat turut dilibatkan sehingga kesenian di Ibu Kota lebih berkembang karena warga bukan hanya sekadar menjadi penikmat seni, tetapi juga pelaku seni.


12.40 | 0 komentar | Read More

Indofest Adelaide Patut Dicontoh Festival Lain

Written By Unknown on Selasa, 16 April 2013 | 12.40

ADELAIDE, KOMPAS.com -  Festival tahunan Indofest yang diselenggarakan di Adelaide hari Minggu (14/4) di Rymill Park patut menjadi contoh bagi penyelenggaraan festival Indonesia di manapun di dunia. Keprofesionalan panitia, dukungan dari pemerintah daerah setempat dan partisipasi dari semua pihak yang terlibat memastikan Indofest berlangsung sukses.

Di banyak festival Indonesia lainnya menjadi ajang bagi silahturahmi antarwarga Indonesia. Indofest sudah lebih dari itu, karena masyarakat Australia lainnya juga terlibat.

-- Vinsensius Jemadu

Demikian dikatakan oleh Vinsensius Jemadu, Wakil Direktur Promosi Turis Internasional bagi Amerika dan Kawasan Pasifik, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

"Tahun lalu, saya sudah mengatakan Indofest merupakan festival terbaik Indonesia di luar Indonesia. Apa yang membuat festival ini terbaik, anda bisa lihat sendiri dari kedatangan para pengunjung. Di banyak festival Indonesia lainnya menjadi ajang bagi silahturahmi antarwarga Indonesia. Indofest sudah lebih dari itu, karena masyarakat Australia lainnya juga terlibat." kata Vinsensius Jemadu kepada koresponden Kompas di Australia L. Sastra Wijaya.

Indofest ini dibuka dengan resmi oleh Dubes Indonesia untuk Australia yang baru Nadjib Riphat Kesoema, dan dihadiri oleh perwakilan penting pejabat Australia baik di tingkat negara bagian South Australia maupun federal.

Perdana Menteri Australia Julia Gillard mengirim pesan pribadi dan mengutus salah seorang menterinya Kate Ellis untuk menghadiri acara. Dalam sambutannya, para pejabat ini juga menyampaikan saling pujian atas hadirnya mereka dalam acara Indofest. "Ini menunjukkan bahwa Indofest yang baru diselenggarakan selama 6 kali sudah menjadi bagian dari kehidupan budaya multikultur di Adelaide." kata salah seorang diantara mereka.

Ditambahkan oleh Vinsensius Jemadu, Indofest di Adelaide ini mampu menyediakan hiburan bagi semua kalangan mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. "Semua sudah dipersiapkan, dan dipilah-pilah tempatnya sehingga pengunjung yang datang tidak sekedar datang membeli makanan atau menonton hiburan terus pulang." tambah Vinsensius Jemadu.

Indofest ini dihadiri oleh sekitar 15 ribu warga Adelaide setiap tahunnya. Diselenggarakan di Rymill Park, di jantung kota Adelaide, panitia membagi lapangan tersebut untuk enam kegiatan, penjualan makanan, panggung pertunjukkan, stand pameran, lokasi untuk pembelajaran, seni untuk anak-anak dan demo memasak.

Menurut Tony Hewett, manajer acara Indofest, keberhasilan penyelenggaraan adalah memadukan seluruh unsur masyarakat Indonesia. "Guru-guru bahasa Indonesia terlibat, para mahasiswa Indonesia juga, Asosiasi Indonesia-Australia, dan masyarakat lainnya termasuk sukarelawan. Kalau hanya satu pihak saja yang bekerja pasti tidak akan seberhasil ini." kata Hewett.  


12.40 | 0 komentar | Read More

Zamawi: Puisi Saya Puisi Desa Hasil Perenungan

Zamawi: Puisi Saya Puisi Desa Hasil Perenungan

Penulis: Kontributor Kendal, Slamet Priyatin | Selasa, 16 April 2013 | 08:40 WIB

k9-11

Penyair Zawawi Imron, saat membacakan puisinya di Pondok Maos Guyub Boja Kendal

TERKAIT:

KENDAL,KOMPAS.com - Puisi tidak berbahasa, tetapi memilih bahasa yang sesuai dengan irama kalbu. Dengan begitulah dihasilkan puisi yang baik. Perenungan akan membantu menghasilkan puisi berbobot.

"Merenung dan memilih kata yang baik dan tepat, akan menghasilkan puisi berbobot," kata penyair asal Sumenep Jawa Timur, D Zawawi Imron, dalam diskusi yang digelar Komunitas Lereng Medini dan Pondok Maos Guyub di Boja Kabupaten Kendal Jawa Tengah, Minggu (14/4/2013) malam. Perenungan ini, ujar dia, akan membuat sebuah puisi menjadi lebih baik. 

Zamawi yang malam itu membacakan beberapa karyanya, menyebut puisinya adalah puisi desa. Dia yang pernah menerbitkan buku kumpulan puisi seperti Bulan Tertusuk Ilalang dan Mata Badik Mata Puisi itu, mengatakan karyanya tercipta karena inspirasi dari masyarakat dan lingkungan desa. Tak heran, bila beberapa puisi karyanya bercerita tentang pak tani, buruk jalang, kerbau, sungai, dan ilalang.

"Tapi puisi yang membuat saya menjadi seperti sekarang ini, adalah puisi saya yang berjudul Ibu," aku Zawawi. Dia mengatakan puisi ini adalah karya pertama yang dimuat di surat kabar.

Kebanggaan karena karyanya bisa dimuat di surat kabar, membuat jebolan Sekolah Rakyat yang pernah mendapatkan beberapa penghargaan ini terus membuat puisi. "Saya adalah anak ibu. Saya bisa mencipta puisi dan seperti sekarang ini, karena ibu," tegas dia.

Ketua Komunitas Lereng Medini, Heri Cs mengatakan kehadiran Zawawi Imron di Pondok Maos Guyub adalah dalam rangka memeriahkan apresiasi Sastra ke VI yang digelar oleh Komunitas Lereng Medini. Acara ini dibuka pada 10 April 2013 dan ditutup pada 16 April 2013. "Tahun kemarin, kami mengundang penyair Remy Silado," kata Heri.

Editor :

Palupi Annisa Auliani


12.40 | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger