Empat Perempuan - 24

Written By Unknown on Minggu, 14 April 2013 | 12.40

Cerber Endah Raharjo

Episode 24: Pertempuran

Sudah hampir dua jam Eyang sembunyi-sembunyi mengamati Runi. Usai makan malam anak sulungnya itu duduk di belakang meja kerja, namun Eyang yakin kalau itu hanya raganya, pikirannya entah ada di mana. Eyang mulai kuatir. Selama dua setengah tahun tinggal serumah, Eyang belum pernah melihat Runi ndomblong begitu lama.

"Kalau rambut Ibu dihitamkan lagi gimana, ya? Kamu setuju?" Eyang asal bertanya, mendekati meja Runi, tangan kanannya mengusap-usap rambut.
Runi membeliak, menatap ibunya, namun pikirannya jelas tidak serujuk dengan matanya. "Ibu bilang apa?"
"Ini… anu… rambut Ibu kalau disemir hitam gimana nurutmu?"
"Baik-baik aja kalau Ibu mau," jawab Runi reflek seperti bila sedang basa-basi dengan orang yang menyapa di jalan.
"Bener?"
"Eeeh… apa, Bu?"
"Nah. Kamu pasti lagi banyak pikiran. Diajak ngomong nggak nyambung."
Runi melenguh sambil menjulurkan badan, lalu merabahkan kepalanya ke atas meja. "Aku pusing, Bu," keluhnya.
"Kenapa? Ada apa?"
"Urusan kantor. Ada tender proyek di Kalimantan Tengah. Konservasi lingkungan di kawasan bekas tambang emas. Ini bukan keahlianku. Tapi Bu Indri minta aku nyusun proposal." Runi menyebut nama direktur lembaga tempatnya bekerja. "Seno udah cari info komplit."
"Seno itu asistenmu yang bicaranya gagap itu, ya?"
"Ya. Tapi kerjanya bagus. Ternyata udah ada empat tim yang mau maju, semuanya dari perguruan tinggi dan TL-nya doktor-doktor. Aku jadi minder. Belum bertempur udah kalah duluan."
"Kamu kan bisa membayar staf ahli senior, seperti biasanya."
"Iya, sih. Aku udah usul ke Bu Indri supaya TL-nya jangan aku, orang luar aja, yang punya gelar doktor. Tapi Bu Indri yakin aku mampu."
"Ibu juga yakin kamu mampu."

Runi meniup keluar napasnya, hendak membuang keraguannya. "Jadi inget Bapak. Duluuu… waktu aku sulit mutuskan untuk kerja di Jakarta, karena kuatir nggak bisa njaga hubungan dengan Mas Iwan, Bapak bilang gini, kalau ada banyak medan laga, pilihlah pertempuran yang kamu tahu pasti akan menang atau kalau kalah kamu nggak akan terlalu kesakitan. Lalu kubilang kalau Bapak sering kalah tapi nyatanya Bapak nggak apa-apa."
"Ya. Sebagai pengusaha bapakmu memang tangguh. Selalu milih jalan bersih."
"Ya. Bapak pernah bilang juga kalau jalan bersih itu ibarat pertempuran terberat, dan dia tahu akan sulit menang, tapi tetap dihadapi, sebab kalau kalah Bapak nggak takut dibilang pecundang atau diabaikan orang. Bapak kalah karena bersih."
"Itulah anehnya. Yang milih jalan bersih justru tersisih. Yang jujur jadi ajur."
"Tapi proyekku ini bukan perkara kotor-bersih, Bu. Ini karena aku ragu-ragu."
"Coba kamu kerjakan dulu, Nduk." Bila Eyang sudah menyebut 'nduk' pertanda ia memosisikan diri sebagai ibu dan siap bertaruh jiwa-raga demi anaknya. "Kamu nggak perlu ragu. Kalau nggak nyoba gimana bisa tahu menang-kalahnya. Dan kalau kalah nggak usah malu."
"Yah. Aku harus bicara lagi dengan Bu Indri dan Seno." Runi menegakkan punggung, menutup laptopnya. "Ada acara apa, Roh?" Runi menuju ruang tengah, bergabung dengan Iroh yang sedang nonton TV. "Aku mau nonton film dagelan. Pindah channel, ya."
"Film dagelan holiwud itu, Nya? Waaah… saya ndak suka, harus nunggu Nyonya cerita dulu, baru bisa ketawa."

Dengan berat hati Iroh menyerahkan remote control pada majikannya. Ia tak berani membantah lagi, mata Runi menyorot begitu rupa, meredam hasrat protesnya.

**
Runi heran melihat pakaian yang hanya ditumpuk di dalam keranjang rotan, belum disetrika. Setahunya Iroh sehat-sehat saja.
"Roooh…." Runi mengetuk pintu kamar Iroh. "Kamu kenapa?"
"Udah pulang, Nya?" Iroh membuka pintu kamar. "Wadoh! Udah hampir maghrib!" serunya.
Runi bisa melihat kamar Iroh gelap gulita, gordennya tertutup dan lampunya tidak menyala. "Kamu ngapain di kamar gelap-gelapan? Baju-bajunya juga belum disetrika. Kamu kenapa?"
Mata Iroh langsung melihat ke bawah. Runi bukan hanya belum ganti pakaian, sepatunya juga masih dikenakan. Pasti Nyonya banyak beban pikiran karena di kantor banyak urusan, batin Iroh. Ia hapal kebiasaan majikannya.

"Lagi banyak pikiran, Nya. Maaf. Saya sampai ndak nyetrika. Nanti habis salat saya kerjakan."
"Ada masalah? Adik-adikmu apa simbok-bapakmu?" tebak Runi.
"Adik saya, Nya. Yarti. Dilamar orang."
"Oh! Yarti itu yang nomer dua?"
"Iya, Nya. Yang ragil Karti." Iroh permisi menghidupkan lampu belakang dan lampu kamarnya sendiri, juga membuka gorden jendela. "Kata simbok yang nglamar itu kaya. Sapinya lima. Punya kebon jati mas. Montornya dua. Bukan mobil, Nya. Sepeda motor, di gunung orang bilang montor."
"Wah! Adikmu gimana? Mau nggak?"
"Laaah… itu… itu… simbok dan bapak langsung mau. Yarti masih mikir-mikir. Kalau saya jelas ndak boleh. Harus selesai sekolah dulu. Ini bentar lagi ujian, baru persiapan. Saya berdoa tiap hari dan puasa Daud supaya Yarti lulus ujian. Waaah… malah dilamar orang."
"Udah adzan, Roh. Nanti kita bicara lagi, ya." Runi menyela, menyentuh pundak Iroh, memintanya segera buka puasa.

Perempuan yang sejak kecil sudah memikul tanggung jawab membesarkan dua adiknya itu mengangguk. "Baik, Nya. Saya butuh curhat. Kepala saya berat."
**
"Wah. Ibu nggak merhatikan kalau sesorean Iroh cuma ndekem di kamar," ujar Eyang pada Runi. Sebulan ini Eyang gemar merenda, baru belajar. Sore itu ia menghabiskan waktu merenda taplak meja.
"Dea juga sampai sekarang belum pulang," tambah Runi. Anaknya itu sedang latihan gitar untuk konser minggu depan.
"Biar Ibu yang nyiapkan makan malam. Kamu urus Iroh dulu," pinta Eyang.
Runi ke belakang, menghampiri Iroh yang sedang menyetrika.
"Kamu udah buka?"
"Sudah, Nya. Minum teh manis langsung kenyang."
"Makan dulu. Nyetrikanya nanti aja. Dea masih punya seragam."
"Nanti saja makannya, nunggu Nyonya dan Eyang."
"Terus tadi itu gimana?" Runi menarik kursi lipat dari bawah meja setrika, membukanya, dan duduk di atasnya.
"Berat, Nya. Perang batin," keluh Iroh.
Runi menahan tawa, sebab batinnya sendiri juga tengah berperang. 
"Kok Nyonya malah mesam-mesem," protes Iroh.
"Sama, Roh. Sama. Aku juga lagi perang batin."
"Oalaaah… kok urusan kita ndak ada habisnya, ya, Nya. Memang Nyonya mikir apa?"
"Kamu nggak usah mikirin urusanku." Runi tertawa geli. "Apa kamu mau pulang? Ngurusi adikmu dulu?"
"Ndak, Nya. Nanti di rumah saya malah marah-marah, kepala saya bisa pecah." Ia meletakkan setrika. "Nurut Nyonya baiknya gimana?"
"Gini, Roh. Kamu sudah berjuang keras nyekolahkan Yarti. Dia harus lulus. Ijasah SMK-nya suatu saat akan berguna. Bisa jadi modal kerja. Sekarang dia harus konsentrasi untuk ujian dulu. Jangan sampai ada yang ngganggu." Nasihat Runi kemudian meluncur panjang. "Setelah lulus, urusan lamaran itu baru dibicarakan. Kapan ujiannya?"
"Katanya 18 sampai 21 April, Nya."
"Tinggal lima minggu, ya." Runi berpikir. "Apa gini aja, Roh. Minggu kamu kuantar pulang. Berangkat pagi-pagi, habis subuh. Nanti aku bisa bantu njelaskan ke keluargamu. Gimana?"
"Wadoh. Itu barengan Nyonya ada undangan ke Solo? Bapaknya Mas Priyo nikah? Iya, to?"
"Udahlah. Orang yang lagi senang itu nggak butuh teman. Kamu yang lagi perang justru perlu bantuan."
"Wah. Boleh, Nya… boleh." Iroh meletakkan setrika, mengusapkan dua tangan ke kausnya, lalu meraih tangan Runi. "Matur nuwun, Nya. Saya lega." Punggung tangan Runi diciumnya.
"Aku makan dulu, Roh."
"Wadoh. Sampai saya lupa nyiapin makan malam." Iroh menyabut steker setrika dan berkelit ke ruang makan.
"Udah beres, Roh," ujar Eyang.

Iroh meringis, meminta maaf, dan kembali ke belakang untuk menuntaskaan setrikaannya.
Mata Eyang bertemu mata Runi. "Bukan cuma kamu saja, Nduk. Iroh, juga semua orang, baru berhenti bertempur bila sudah dikubur."

Sebelum meraih centong nasi, tangan kanan Runi mengelus tangan kiri Ibunya. Senyum pasrah menghiasi wajahnya.


Anda sedang membaca artikel tentang

Empat Perempuan - 24

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/04/empat-perempuan-24.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Empat Perempuan - 24

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Empat Perempuan - 24

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger