Empat Perempuan - 27

Written By Unknown on Senin, 22 April 2013 | 12.40

Cerber Endah Raharjo

Episode 27: Keluarga


Dea menyurukkan kepalanya ke leher ibunya. Ia selalu suka menikmati wangi parfum yang tak pernah lupa dioleskan ibunya ke leher, belakang telinga dan tengkuk; sesaat menjelang tidur. Selalu begitu. Ritual mengoles parfum itu tak berhenti meskipun suaminya telah tiada. Cara itu membuat rambutnya senantiasa harum semerbak, juga bantalnya, menenangkan pikirannya, membantunya terlelap.

"Mama nggak pernah ganti merk parfum," bisik Dea, menghirup harum di sela-sela rambut Runi.
"Papamu suka banget merk ini." Runi mengusap rambut lurus-tebal anaknya. Ia menduga Dea sedang punya persoalan di sekolah atau sedang ingin bermanja atau bisa jadi tengah kangen ayahnya. Ia hapal kelakuan remaja itu.

Dari ruang tengah terdengar gelak Eyang dan Iroh, menonton acara komedi di TV. Meskipun menurut Eyang semua acara komedi di TV tak ada lagi yang selucu sekaligus setajam dagelan Sri Mulat, ia sesekali masih bisa menikmati dan tertawa geli.

Runi ingin tidur awal karena kelelahan empat-hari-empat-malam mengantar tamu kunjungan lapangan disambung rapat hingga tengah malam.
"Kangen Papa," bisik Dea.
"Ya. Mama tahu." Runi memiringkan tubuhnya, menekuk lengannya, lalu kepalanya ia tumpu dengan telapak tangan. Wajahnya menghadap Dea. "Sebulan lagi genap 6 tahun. Rasanya Papa masih ada di rumah, ya," gumam Runi, lebih pada diri sendiri.
"Dea suka iri kalau lihat Rae dan Beti diantar papa mereka." Dea menyebut dua sahabat dekatnya. "Dea kadang suka sulit ngebayangin wajah Papa. Baru ingat lagi kalau lihat fotonya."
"Nggak apa-apa. Mama juga sering gitu. Wajah papamu sering kabur. Waktu itu kamu belum 11 tahun. Tanggal 2 Mei 2005. Kamu baru mau ujian SD. Ingat?"
Terdengar suara gesekan antara kepala dengan bantal saat remaja itu mengangguk.
"Dea habis baca buku psikologi." Gadis itu memang bercita-cita menjadi psikolog. "Katanya anak-anak yang dibesarkan tanpa figur ayah cenderung bermasalah."
Runi mendesah, antara geli dan berduka. "Namanya juga kecenderungan. Tidak selalu begitu. Nurut Mama kamu baik-baik aja. Apa kamu merasa punya masalah?"
Suara gesekan antara bantal dan kepala itu terdengar lagi. Namun kali ini Dea menggeleng.
"Kamu pernah nonton film Mrs. Doubtfire?"
"Belum. Film apa itu?"
"Itu film komedi keluarga paling bagus yang pernah Mama tonton. Dibuat tahun 1994. Kamu belum lahir. Yang main Robin Williams dan Sally Field. Ada Pierce Brosnan juga."
"Kapan-kapan kita cari DVD-nya, ya. Apa download aja. Kalau film lama pasti bisa. Apa ceritanya, Ma?"
"Mama bukan mau cerita filmnya itu. Tapi sesuatu yang dikatakan Mrs. Doubtfire di bagian akhir film. Dalam acara TV yang dibintanginya, dia njawab surat dari anak kecil yang orangtuanya baru cerai. Dia bilang kalau keluarga itu macam-macam wujudnya. Mama lupa tepatnya. Kira-kira dia bilang ada keluarga yang terdiri dari bapak-ibu-anak-anak-dan anjing, ada ibu dan anak saja, ada bapak dan anak-anak saja, ada perempuan dan kucing, ada laki-laki dan anjing… gitu. Maksudnya selama ada kasih sayang, apapun wujud keluarga kita, semua akan baik-baik saja."
Dea menggeser tubuhnya lebih dekat ke tubuh ibunya.
"Nggak semua anak beruntung punya nenek yang tinggal di rumahnya. Nggak semua keluarga punya Iroh yang setia, jujur, rajin kerja, dan pintar masak."
"Ya." Ada geletar halus dalam suara Dea. "Jadi ingat Olan."
"Siapa Olan? Temanmu? Kamu belum pernah cerita."
"Namanya Orlando, sama-sama kelas dua tapi beda kelas. Dia kecelakaan. Parah banget. Udah seminggu ini di rumah sakit. Orangtuanya baru cerai. Dia kecewa, terus nge-drug, terus ngebut, ya… gitu."
"Kasihan. Itulah. Keluarga itu, nurut Mama, harus jadi tempat tubuh kita, pikiran kita, dan hati kita pulang, beristirahat. Memberi ketentraman. Tempat paling aman di dunia. Tak peduli seburuk apa diri kita, keluarga akan menerima kita kembali kapan saja. Seperti yang dibilang Mrs. Doubtfire itu, biarpun nggak lengkap ada ayah-ibu dan anak-anak." Runi berhenti, lalu melanjutkan dengan sangat hati-hati, "daripada ada orang tua lengkap tapi hati mereka sebenarnya tidak bersatu."
"Pasti lebih senang kalau ada bapak dan ibu yang bersatu," tukas Dea.
"Tentu saja. Tapi nggak ada orang yang mendapatkan semuanya dengan sempurna."
"Ngantuk, Ma. Dea tidur sini aja, ya." Gadis itu membalikkan tubuhnya, meraih bantal satu lagi, mendekapnya di antara dua kaki.

**

"Kamu nggak ngantor?" tanya Eyang, mengawasi Runi yang belum mandi padahal jam di dinding ruang makan sudah menunjuk angka 9.
"Capek, Bu." Runi tidak mengalihkan matanya dari layar laptop. "Aku udah pamit Bu Indri. Seno juga udah kupesen macam-macam."
"Kalau capek ya istirahat. Malah kerja."
"Ini cuma mbalesin email teman-teman."
"Semalam Dea kenapa kok minta kelon?"
"Yah, biasa… kangen bapaknya." Mata Runi menatap ibunya, lalu ia pejamkan dan lehernya ia putar ke belakang. "Ada temannya barusan kecelakaan. Katanya parah. Kecewa karena orangtuanya cerai."
"Aduuuh… kasihan sekali. Rasa-rasanya sekarang sering banget dengar kabar orang cerai. Dunia udah sangat berubah."
"Mungkin sebenarnya sama aja. Hanya karena jumlah orangnya berlipat ganda dan komunikasi makin gampang. Berita jadi cepet nyebar."
"Semoga memang begitu…."
"Aku kok jadi kuatir sama Dea, Bu."
"Memangnya kenapa?" Eyang duduk di kursi, dua tangannya bersedekap di meja makan.
"Dia baru baca buku psikologi…."
"Oalaaah… itu pasti buku yang ngulas teori-teori psikoanalisanya Freud, yang kemarin Ibu tanya buat apa baca-baca buku begituan."
"Biar aja dia baca apa aja, Bu. Bukan karena buku itu, kok." Kulit di antara alis Runi terlipat. "Aku kuatir aku tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya. Itu aja."
"Oalah, Nduk. Kalau itu, Ibu juga sampai sekarang masih merasa begitu. Kuatir kalau Ibu nggak bisa jadi ibu yang sempurna buat kalian bertiga. Nggak bisa jadi nenek yang baik. Tapi siapa yang bisa jadi sempurna?"
"Ini bukan perkara jadi orang sempurna, Bu. Ini perkara Dea. Anak itu memang nggak pernah nunjukin tanda-tanda stress atau semacamnya. Tapi remaja seumur dia pinter nyembunyikan sesuatu dari keluarga."
"Ibu nggak pernah merasakan ada sesuatu yang buruk yang dia sembunyikan. Sebagai bagian keluarga ini, kalau ada hal semacam itu Ibu akan bisa merasakan. Keluarga yang rukun itu ibarat kristal, kalau ada goresan, meskipun kecil, bisa dilihat, bisa dirasakan."
Runi mendengus, menutup laptopnya. "Kalau sedang capek aku suka mikir yang nggak-nggak."
"Makanya istirahat aja. Nggak usah buka-buka laptop."
"Nya…." Tiba-tiba Iroh sudah ada di belakang Runi.
"Ada apa?"
"Anu… Nyonya nggak usah kuatir. Non Dea sering cerita ke saya. Katanya dia bangga punya ibu kayak Nyonya. Beneran, Nya."
"Wah. Kamu nguping ya?"
"Nggak usah pakai nguping juga udah dengar." Iroh menahan tawa. "Saya juga seneng punya majikan kayak Nyonya."
"Kamu pinter nyenengin hati, Roh. Gimana kabar adik-adikmu?"
"Baru konsentrasi belajar, Nya. Dua minggu lagi ujian."
"Moga-moga semua lancar. Kami ikut mendoakan."
"Makasih, Nya. Permisi dulu, saya mau njemur cucian." Iroh berbalik, tapi langkahnya tertahan. "Nya, jangan kuatir. Non Dea baik-baik aja. Saya bakal ikut njaga."
Runi dan ibunya saling memandang. Segurat senyum menghiasi wajah Eyang. Dalam hati perempuan itu yakin cucu sulungnya akan selamat menjalani masa remaja. Selama hampir enam tahun ia sudah menyaksikan sendiri, Seruni, anak sulungnya itu, berjuang sekuat tenaga menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak tunggalnya. Tuhan, seperti yang ia percaya, tak pernah memejamkan mata, semua yang baik meskipun selembut pasir tak akan lepas dari perhatianNya.

***


Anda sedang membaca artikel tentang

Empat Perempuan - 27

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/04/empat-perempuan-27_22.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Empat Perempuan - 27

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Empat Perempuan - 27

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger