Ke Afrika Selipkan "Cuma Tubuh Cuma Tubuh"

Written By Unknown on Rabu, 24 April 2013 | 12.40

Oleh M. Hari Atmoko

Sambil beranjak meninggalkan Studio Mendut menjelang tengah malam, setelah selesai pergelaran putaran keenam "Selikuran Lima Gunung", Darmanto berucap kepada sejumlah orang yang dipamitinya bahwa Rosa telah tiba di Afrika Selatan.

Darmanto Andreas yang salah satu pengelola Rumah Buku DuniaTera Borobudur itu, adalah suami penyair Borobudur, Dorothea Rosa Herliany yang sedang mengikuti dua agenda budaya berskala internasional di Afrika Selatan dan Zimbabwe.

Dua agenda internasional yang dilakoni Rosa itu adalah "What's Poetry Festival II" pada  21-28 April dan "Harare International Festival of the Arts" 30 April hingga 5 Mei 2013. Empat penyair Indonesia lainnya yang ikut agenda tersebut, adalah Toeti Heraty, Saut Situmorang, Samar Gantang, dan Duddy Anggawi.

Beberapa hari sebelum berangkat mengikuti festival tersebut, Rosa menyebut bahwa "What's Poetry Festival II" untuk merayakan bahasa. Festival puisi itu, antara lain pembacaan puisi, diskusi sastra, pelatihan penulisan dengan para siswa, dan forum berbagai pengalaman antarpenyair dunia. "What's Poetry Festival I" berlangsung pada 2012 di empat kota di Indonesia, yakni Borobudur/Magelang, Pekalongan, Malang, dan Surabaya.

"Harare International Festival of the Arts", antara lain berupa pertunjukan tradisional Zimbabwe, resital klasik, opera, teater, tari, musik, pameran, pembacaan puisi, dan lokakarya. Festival tersebut pertama kali pada 1999, sedangkan pada 2013 selain menampilkan seniman Zimbabwe juga lainnya yang berasal dari sekitar 20 negara.

Pada dua festival tersebut, Rosa menyiapkan pembacaan sejumlah puisinya, antara lain berjudul "Para pemziarah Sejarah", "Sampah Kata-Kata", "Wabah", "Teater Bisu", "Hotel Jam 00.00", dan "Semesta Luka".

Di tengah-tengah pergelaran "Selikuran Lima Gunung" yang digelar oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (21/4) malam, Darmanto memberikan buku kumpulan puisi Rosa bertajuk "Cuma Tubuh Cuma Tubuh" kepada sejumlah orang.

"Mas, ada titipan dari Rosa," kata Darmanto saat memberikan satu buku"Cuma Tubuh Cuma Tubuh" kepada salah satu yang hadir malam itu. Rosa telah berangkat menuju Afrika Selatan melalui Bandara Adisutjipto Yogyakarta pada Sabtu (20/4) dengan diantar suami dan dua anaknya, Redha dan Kana.

Buku "Cuma Tubuh Cuma Tubuh" kumpulan 40 pilihan puisi karya Rosa sejak 2008-2012 yang setebal 147 halaman tersebut dalam dua bahasa, yakni Indonesia dan Inggris.

Darmanto yang juga pengelola Penerbit Waktoe itu yang menerbitkan antologi puisi tersebut mengatakan bahwa sebagian besar buku "Cuma Tubuh Cuma Tubuh" dibawa Rosa untuk diberikan kepada relasi dan jejaringnya melalui dua festival di Afrika Selatan dan Zimbabwe.

Hingga saat ini, Rosa yang juga penerima sejumlah penghargaan sebagai pengarang terbaik, seperti dari Dewan Kesenian Jakarta (2000), Pusat Bahasa (2003), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2004), Khatulistiwa Literary Award (2006) tersebut, telah menerbitkan lebih dari 20 buku, khususnya tentang sastra.

Sebagian puisi karya Rosa dalam buku "Cuma Tubuh Cuma Tubuh" dengan terjemahan ke bahasa Inggris (A Body Only A Body) oleh Harry Aveling, karya rupa Ivan Sagita, dan desain grafis Dadlan Afrelno itu, agaknya atas inspirasi beberapa desa di Borobudur dan gunung-gunung di Magelang, sebagian lainnya Jakarta dan sejumlah kota di luar negeri, seperti Jerman, Prancis, serta Belanda.

Antologi puisi karya Rosa dalam "Cuma Tubuh Cuma Tubuh" menunjukkan keberadaan manusia yang tak sekadar ragawi di lingkungannya namun juga kekuatan spriritualnya.

"Kumpulan puisi dalam buku ini, setidaknya untuk melihat dunia dalam kemanusiaan, mencoba menyadarkan manusia bahwa tempat berdiri kita adalah cuma tubuh," kata Darmanto.

Misalnya, tentang puisi "Gladiator Gunung" (2011) yang menunjukkan ketangguhan para petani Gunung Merbabu melalui kiprah berkesenian rakyat.

"Berdiri di medan laga kehidupan. Menghentak sontak aura pertarungan. Membakar peta segenap hasrat kemenangan. Melawan diri sendiri mencari puncak. Meraih kemenangan hati para insan. Akulah gladiator. Tak mengenal pertumpahan darah. Alam dan satwa adalah teman searah. Menarikan tubuh. Menggoreskan senoktah tetirah," demikian dua bait terakhir puisi (halaman 14) untuk Riyadi, tokoh seniman petani Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang itu.

Puisi lainnya "Penari di Tanah Cinta" (halaman 52), karyanya pada 2011 yang terkesan tentang inspirasi atas ketangguhan perempuan-perempuan kawasan Gunung Merapi menghadapi letusan dan disusul banjir lahar gunung berapi itu pada 2010 dan 2011.

"Bebatu membumbung membangun dirinya sendiri. Menuju langit kebajikan niscaya. Candi dan tatahan sejarah merangkak. Menuju peradaban gemilang. Memburu kasta yang tak tersibak. Menarilah dalam gelinjang tubuh. Meraba hasrat yang pulas pada jagat rekah. Menyuburkan cinta yang senantiasa rapuh. Berkhianat atas tunas. Tak semata tanah," demikian beberapa bait puisi itu yang ditujukan kepada satu karya tarian Wenti (satu pegiat Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Gunung Merapi).

Rosa, satu penyair Indonesia yang telah mengusung karya-karyanya melanglang ke berbagai negara juga memasukkan puisi "Apeldoorn" (2008), di halaman 21 buku itu. Apeldoorn adalah kota kecil di Belanda.

Dalam puisi itu, Rosa seakan hendak melukiskan tentang nasihat seorang ibu kepada anak perempuannya bernama Regina.

"Jika engkau lukiskan kedamaian dan cinta. Rumahmu di sini. Alam dan hati tak berjarak dalam sunyi. Tapi jangan goreskan di kanvasmu. Sebab hatimu yang teduh akan menyapukan ketakutan yang menjadi jiwa. Kesadaranmu tak boleh rindu pada rumah dan kami yang dihajar resah," begitu bait pertama puisi tersebut.

Melalui puisi yang dibuat Rosa di Jakarta pada 2012 berjudul "Kematian Suami" (halaman 61), barangkali ia ingin menggambarkan secara rapat tentang sosok isteri dalam mengarungi kehidupan personal perkawinannya.

"Ia tewas setiap aku sadar dari mimpi. Jika mampu tak ingin kudengar sembarang lagu. Kerna hatiku terlalu suci untuk sekedar lelaki. Sedang langit mudah luka oleh sembilu. Ia tewas, sayang! dan dengarlah aku bernyanyi," demikian satu bait puisi itu.

Perjalanan Rosa melanglang belahan Tanah Afrika kali ini, dengan menyelipkan antologi puisinya "Cuma Tubuh Cuma Tubuh", boleh jadi ia ingin menyuarakan betapa daya-daya ragawi manusia tak lepas dari kekuatan spiritual dan emosi budaya dari lingkungannya.

Namun, yang ragawi akan rapuh dan tersirna oleh kematian, sedangkan pustaka spirit manusia tak berujung kematian.


Anda sedang membaca artikel tentang

Ke Afrika Selipkan "Cuma Tubuh Cuma Tubuh"

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/04/ke-afrika-selipkan-tubuh-cuma-tubuh.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Ke Afrika Selipkan "Cuma Tubuh Cuma Tubuh"

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Ke Afrika Selipkan "Cuma Tubuh Cuma Tubuh"

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger