Empat Perempuan -12

Written By Unknown on Minggu, 10 Maret 2013 | 12.40

Cerber Endah Raharjo

Episode 12: Nama Saya Kar

Runi mematikan kompor serentak didengarnya deringan telpon. Rumah bagai tak berpenghuni Minggu pagi itu. Iroh sedang menengok adik-adiknya di gunung. Dari kamar Dea yang biasanya gaduh tak terdengar suara. Anak itu sedang mengantar Eyang belanja. Cepat-cepat Runi meraih serbet, membersihkan tangan, lalu berlari ke ruang tengah.

"Selamat pagi. Nama saya Kar." Suara lelaki dewasa menyapa di seberang sana.
"Selamat pagi," balas Runi. Kar. Nama itu melekat di kepalanya sejak peristiwa malam itu; ketika sepulang sekolah Dea mengunjungi makam ayahnya untuk mengadukan cintanya yang layu sebelum mekar.

"Saya teman les gitar Dea, Bu." Di telinga Runi suara pemuda itu jauh lebih dewasa dibanding usianya yang baru 17 tahun.
"Ya, saya ingat."
"Bisa bicara dengan Dea, Bu?"
"Dea sedang keluar. Ada pesan?"
"Tidak, Bu. Nanti saya telpon lagi. Kalau boleh tahu, kira-kira Dea pulang jam berapa?"
"Sekitar dua jam lagi. Kenapa nggak hubungi HP-nya?"
"Sudah, Bu. Tapi tidak diangkat. Nanti saya akan telpon lagi. Terima kasih, Bu."

Runi menggenggam handset sambil berpikir, jangan-jangan Dea sengaja menghindar. Sejak peristiwa itu Runi tak mendengar lagi Dea membicarakan pemuda yang mempesona hati remajanya itu. Dea juga memindah jadwal latihan. Runi tidak bertanya, dari sikap Dea ia menyimpulkan kalau si gadis tidak mau bertemu dengan pemuda itu.

Ia ingin Dea tumbuh mandiri, berjuang keras mengatasi persoalannya sendiri sebelum minta bantuan mamanya. Menjadi janda ada hikmahnya juga, pikir Runi, ia punya bukti untuk ditunjukkan pada anak perempuannya bahwa ia pun bisa perkasa. Dengan lantang ia juga bisa berteriak pada semua perempuan di dunia agar mereka tidak menyandarkan hidup di bahu lelaki.

Sambil merenung perempuan yang memasak untuk relaksasi itu kembali menyalakan kompor. Ada beberapa potong rolade tahu yang masih perlu digoreng. Handset telepon portable ia taruh di atas meja makan agar mudah dijangkau kalau-kalau nanti ada telpon lagi; entah dari siapa.

**

"Tadi ada telpon. Dari Kar." Runi menatap langsung mata anaknya. Ia ingin melihat reaksi sekecil apapun. Mata yang mengerjap cepat. Cuping hidung yang mengembang. Otot-otot wajah yang menegang. Bibir yang mengatup tiba-tiba. Apa saja yang bisa membantunya membaca isi hati anaknya.
"Apa katanya?" Suara Dea biasa-biasa saja. Tak ada wajah tegang. Tak ada cuping hidung mengembang. Bibirnya pun terkatup sempurna.
"Katanya mau telepon lagi. Katanya udah telepon HP-mu juga," jelas Runi. Tergesa ia membantu ibunya mengangkat belanjaan. Mendengar nama Kar disebut, Eyang berganti-ganti menatap anak dan cucunya. Runi berlagak tak peduli meski hatinya bertanya-tanya. Ia tak ingin lelaki yang dari suaranya seperti telah berusia duapuluhan itu menjadi sebab anaknya bersedih lagi.

"HP Dea low-bat." Remaja itu berbohong. Tadi Kar menelpon empat kali ke ponselnya namun Dea memang tidak mau menerima telepon itu. Ia ingin melupakan lelaki yang pacarnya keren habis dan piawai main gitar itu. "Suatu saat akan ada lelaki yang tepat untukku," pikir Dea, "aku masih terlalu muda untuk menautkan hati hanya pada satu lelaki, hanya akan rugi sendiri," batinnya.

Telepon berdering saat Dea dan Runi sedang memilah-milah belanjaan. "Itu pasti Kar!" Runi berseru bukan karena senang, namun karena khawatir.
"Halah, Mama! Ngagetin aja!" Protes Dea. Dengan wajah tanpa semangat ia pandangi saja telepon yang tergeletak di meja makan. Runi terpaksa meraihnya.
"Halo."
"Selamat siang. Nama saya Kar."

"Oh. Kar… mau bicara sama Dea? Anaknya udah datang. Sebentar…" Runi menyodorkan handset ke anaknya yang sibuk memasuk-masukkan sayur ke dalam kulkas. "Dea. Ini Kar."
Remaja itu menutup pintu kulkas, melangkah enggan, meraih handset dari tangan mamanya, lalu memonyongkan bibir. "Hai Kar. Apa kabar?" Ringan suara Dea, lihai berpura-pura.
"Baik. Adikku apa kabar? Lama banget nggak ketemu. Pindah jadwal latihan, ya?"
"Yup! Tabrakan ama kegiatan sekolah." Dea berbohong lagi. "Ada apa, nih?"
"Aku nelpon HP tadi, tapi…"
"Baterenya habis!" sambar Dea.
"Begini," Kar menjelaskan maksudnya. Dua hari lagi pacarnya akan pentas di Jogja bersama band-nya. Sang pacar itu akan memerlukan gitar akustik dan listrik. Kar ingin meminjam gitar listrik Dea supaya pacarnya tidak perlu menenteng dua gitar dari Surabaya.
"Wah. Gitar listriknya lagi rusak." Dea berbohong untuk kesekian kalinya.
"Apanya yang rusak?"
"Tauk!"
"Mungkin bisa saya benerin?"
"Udah kadung dimasukin Staccato." Kali ini Dea berbohong sambil membawa nama salah satu toko alat-alat musik.
"Kapan selesainya?"
"Tauk. Pinjem temen lain aja. Banyak tuh yang punya."

Dea tampak sangat lega saat Kar menyudahi perbincangan. Matanya melirik mamanya. "Mama kan kadang bohong juga kalau ngadepin masalah kayak gitu. Lagian dia juga nggak tahu kalau dibohongin," sungut Dea sambil melipati tas-tas kresek.

"Setiap kita berbohong, sebenarnya kita membohongi diri sendiri karena orang yang kita bohongi nggak tahu kalau kita bohong," ucap Runi lembut. Runi tahu Dea sakit hati meskipun tidak ada yang sengaja menyakitinya. "Tapi Kar nggak berbuat salah, kan? Dia nggak tahu kalau kamu suka…" Hati-hati Runi mengeluarkan pendapatnya.
"Bukan soal itu," gadis itu menyela ibunya, mengumpulkan tas kresek yang semua sudah terlipat rapi, siap dimasukkan laci. "Dea nggak mau bantuin dia, apalagi ceweknya." Suara Dea meninggi.
Runi tak ingin Dea membiasakan diri memelihara rasa marah yang hanya akan menggerogoti hati. Pengalaman hidupnya mengajarkan, rasa marah itu harus dilepas pelan-pelan dan hati-hati, begitu sudah keluar jangan diingat lagi. "Jangan marah…"
"Dea nggak marah." Wajah remaja itu menegang. "Pokoknya Dea nggak mau minjemin gitar."
Cara Dea mengucapkan kata 'pokoknya' mengingatkan Runi akan dirinya sendiri. Bila ia sudah mengucapkan kata itu, ibunya tak mau membantah lagi. Dea memakai jurus yang sama untuk membuat diam mamanya.

"Oke. Nggak masalah. Mama bisa ngerti," ucap Runi.

Senyum terima kasih mengendurkan wajah Dea, senang karena merasa diterima. Gadis itu mendaratkan ciuman ringan ke pipi Runi lalu berlari masuk ke kamarnya. Siapa bilang menjadi ibu itu gampang, tanya Runi dalam hati. Perempuan itu mencoba menertawai diri karena sebagai janda ia sekaligus menjadi ayah bagi anaknya.

Meskipun mendengarkan, Eyang tidak ikut-ikutan. Ia sibuk mengangkat cucian dari jemuran, melipatnya dengan rapi, lalu menumpuknya dalam keranjang rotan. Eyang tahu kapan harus ikut bicara dan kapan sebaiknya diam.

Telepon berdering lagi. Sebelum meraih handset, dalam hati Runi berdoa agar ia tidak mendengar kalimat 'nama saya Kar' untuk ketiga kalinya, yang selanjutnya hanya akan membuat Dea berbohong entah untuk yang keberapa kali.

***


Anda sedang membaca artikel tentang

Empat Perempuan -12

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/03/empat-perempuan-12.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Empat Perempuan -12

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Empat Perempuan -12

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger