Kuliah Kehidupan

Written By Unknown on Jumat, 08 Februari 2013 | 12.40

Oleh: Yazid Emyu*

Judul   : Tuesdays With Morrie (Selasa Bersama Morrie)
Penulis  : Mitch Albom
Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama
Terbit  : Juli 2011 (Cetakan Kedelapan)
Tebal  : ix + 209 Halaman
Harga   : Rp. 36.000,-

"My father moved through theys of we,| singing each new leaf out of each treem |(and every child was sure that spring | danced when she heard my father sing)..."
--- Sebuah puisi karya E. E. Cumming, dibacakan oleh putra Morrie, Rob, saat pemakaman.

Sebuah buku yang mampu membangkitkan gairah pembacanya untuk segera bangkit menikmati hadiah dari Tuhan, yakni kehidupan. Kisah ini memang mengharukan, karena menceritakan seorang mahasiswa bersama dosen favoritnyanya yang bijak dan paling ia sayangi, mereka berharap untuk tetap meneruskan perkuliahannya tentang makna hidup selamanya.

Bagi kita mungkin ia sosok orangtua, guru, atau teman sejawat. Seseorang yang lebih berumur, sabar, dan arif, yang memahami kita sebagai orang muda penuh gelora, yang membantu kita memandang dunia sebagai tempat yang lebih indah, dan memberitahu kita cara terbaik untuk mengarunginya. Bagi Mitch Albom, orang itu adalah Morrie Schwartz, seorang mahaguru yangpernah menjadi dosennya hampir dua puluh tahun yang lampau.

Barangkali, seperti Mitch, kita kehilangan kontak dengan sang guru sejalan dengan berlalunya waktu, banyaknya kesibukan, dan semakin dinginnya hubungan sesama manusia. Tidakkah kita ingin bertemu dengannya lagi untuk mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan besar yang masih menghantui kita, dan menimba kearifan guna menghadapi hari-hari sibuk kita dengan cara seperti ketika kita masih muda?

Bagi Mitch Albom, kesempatan kedua itu ada karena suatu keajaiban telah mempertemukannya kembali dengan Morrie pada bulan-bulan terakhir hidupnya. Keakraban yang segera hidup kembali di antara guru dan murid itu sekaligus menjadi sebuah "kuliah" akhir: kuliah tentang cara menjalani hidup. Selasa Bersama Morrie menghadirkan sebuah laporan rinci luar biasa seputar kebersamaan mereka.

Pada awal bab "kurikulum", dituliskan bahwa kuliah terakhir dalam hidup sang profesor yang sudah berusia lanjut itu berlangsung sepekan sekali di rumahnya, di dekat jendela ruang kerja tempatnya dapat menikmati keindahan  kembang sepatu yang bunganya merah jambu. Kuliahnya dijadwalkan tiap Selasa. Mulainya tepat seusai sarapan. Judulnya makna hidup. Bahan-bahannya digali dari pengalaman. Kuliah itu tak diberi nilai, tetapi setiap minggu ada ujian lisan. Kita diharapkan dapat menjawab semua pertanyaannya, begitu pula kita diharapkan dapat mengajukan pertanyaan. Sesekali kita juga diwajibkan melakukan pekerjaan fisik seperti memindahkan letak kepala sang profesor ke tempat yang lebih nyaman pada bantalnya atau menaruh kacamata pada punggung hidungnya. Memberinya ciuman selamat tinggal bisa mendapat kredit tambahan.

Buku tak diperlukan, namun banyak topik yang diperbincangkan, anatara lain cinta, kerja, kemasyarakatan, keluarga, menjadi tua, semangat memaafkan, dan, akhirnya, kematian. Ceramah terakhirnya singkat, Cuma beberapa patah saja. Upacara wisuda diganti dengan upacara pemakaman. Walaupun tiada ujian akhir, diwajibkan menyusun makalah panjang tentang semua yang dipelajari. Inilah makalah tersebut. Kuliah terakhir mahaguru tua ini hanya dihadiri satu orang mahasiswa. Mahasiswa itu adalah aku.

Kemudian Mitch melanjutkan kisahnya. Di penghujung musim semi tahun1979, pada suatu Sabtu siang yang panas, yang membuat badan terasa lengas, bersama ratusan mahasiswa lain aku duduk di kusri lipat dari kayu yang dibariskan berjajar di lapangan utama kampus. Mengenakan jubah wisuda warna biru, dengan sabar kami mendengarkan sambutan demi sambutan yang rata-rata cukup panjang. Maka ketika upacara usai, serentak kami melemparkan tutup kepala kami ke udara, sebagai ungkapan rasa gembira karena secara resmi telah diwisuda menjadi sarjana, dari Brandeis University di kota Waltham, Massachusetts. Bagi kebanyakan diantara kami, tirai seolah-olah baru saja terbuka, tirai yang memisahkan dunia kanak-kanak dari dunia dewasa.

"Seusai upacara itu aku bergegas  mencari Morrie Schwartz, profesor favoritku, untuk kuperkenalkan kepada orangtuaku. Ia seorang pria berperawakan kecil yang berjalan dengan langkah-langkah pendek, seakan-akan takut bila sebuah angin kencang, entah kapan, akan mengembusnya ke atas awan. Dalam jubah kebesarannya sebagai seorang mahagurru, ia tampak hampir seperti perpaduan antara seorang nabi dan peri Natal. Mata birunya berbinar kehijauan, rambut peraknya yang telah menipis terjurai ke dahi, telinganya besar, hidungnya seperti segitiga, dan alisnya yang lebat telah memutih. Walaupun giginya tidak rata, bahkan gigi bawahnya miring ke belakang---seperti ada yang meninjunya---sewaktu tersenyum ia seperti baru mendengar sebuah kelakar paling lucu di dunia." Ungkap Mitch.

Ia bercerita kepada orangtuaku tentang prestasiku dalam kuliah-kuliahnya. Tuturnya kepada mereka, "Anda punya putra yang berbakat." Aku tersipu dan hanya bisa menunduk dalam-dalam. Sebelum pulang, kuberikan kepadanya sebuah kenang-kenangan, sebuah tas kantor bertuliskan namanya dibagian depan. Tas yang kubeli sehari sebelumnya di pertokoan. Aku tak ingin melupakannya. Mungkin aku juga tak ingin ia melupakanku. "Mitch, kau salah satu diantara yang terbaik," ujarnya, sambil mengagumi tas pemberianku. Kemudian dipeluknya aku. Kurasakan lengannya yang kurus melingkar ke punggungku. Karena lebih jangkung, aku menjadi  kikuk, merasa tua, seolah-olah keadaan terbalik, aku yang lebih tua  dan ia yang menjadi anak. Ia bertanya apakah kami akan terus berhubungan, maka tanpa ragu-ragu aku menjawab, "Tentu saja." Ketika melepas pelukannya, kulihat ia menangis.

Profesor tua itu seorang penggemar dansa. Apa pun musik yang mengiringinya. Rock and roll, big band, blues. Ia suka semuanya. Dengan mata terpejam dan sambil tersenyum bahagia ia mulai bergerak sendiri mengikuti irama. Tak selalu bagus. Tak selalu pas. Tapi itu bukan perkara. Morrie senang berdansa sendiri. Berdansa dengan pasangan atau tidak, baginya bukan masalah. Akan tetapi tiba-tiba ia terpaksa meninggalkan kegemarannya berdansa. Ia terkena asma ketika usianya enam puluhan. Bahkan bernapas pun menjadi kerja keras baginya. Pada suatu hari ketika sedang berjalan-jalan di tepi Sungai Charles, angin dingin yang menerpanya membuatnya mendadak seperti  tercekik. Segera ia dilarikan ke rumah sakit dan dokter menyuntiknya dengan adrenalin. Beberapa tahun kemudian, ia mulai sulit berjalan.

Pada akhir cerita tertulis, Sepeninggal Morrie, aku membuka-buka sejumlah kotak berisi barang-barang kenangan masa silam. Aku menemukan kembali sebuah makalah akhir yang telah kutulis untuk salah satu mata kuliahnya. Tak terasa dua puluh tahun telah berlalu. Di halaman depan, dengan pensil aku menuliskan sebuah pesan yang kutujukan kepada Morrie, sedangkan sebagai balasan Morrie menuliskan jawabannya di bawah pesanku.
Punyaku dimulai dengan, "Dear Coach..."
Jawabannya dimulai dengan, "Dear Player..."

Karena suatu alasan, setiap aku membaca tulisan itu, aku semakin merasakan kehilangan.
"Morrie tahu ia jadi korban nasib yang tak ada alasannya. Yang menarik ialah bahwa ia tak memilih untuk menjadi marah dan membuat orang lain jadi korban. Harapan, baginya, ialah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih dan getir dan rapuh. Tapi akhirnya ia memberitahu kita: tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga harapan?", Goenawan Mohamad, dalam "Harapan", Catatan Pinggir, Tempo.

*Yazid, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Unswagati Cirebon.


Anda sedang membaca artikel tentang

Kuliah Kehidupan

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/02/kuliah-kehidupan.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Kuliah Kehidupan

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Kuliah Kehidupan

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger