Si Mbah

Written By Unknown on Jumat, 08 Februari 2013 | 12.40

Cerpen Alfi Syahriyani *)

"Tiiiiin....tiiin" suara klakson sambar menyambar seperti petir menjelang petang. Mendung menggelayut di atas langit kota Jekardah. Gradasi hitam abu-abunya tidak lebih gelap dibanding kepulan asap mobil yang berlalu-lalang. Tidak juga lebih hitam dibanding asap rokok yang sudah merambati celah paru-paru warga Jekardah. Para lelaki perkasa yang sedaritadi sibuk memaki-maki.
"Kampret!" seorang supir memukul setir mobil
"Heeeh! Ini jalan punya babe lu apaaa!" supir mobil satunya lagi mendongakkan kepala ke luar jendela sambil berteriak. Ia mematikan rokok yang tinggal seujung jari di tangannya itu, lalu melemparkannya sembarang ke jalan.

Di dalam angkot, seorang anak kecil berseragam putih-merah batuk-batuk karena asap polusi. Seorang ibu yang membawa bayi resah karena sang anak mulai menangis. Seorang remaja tak bergeming, sibuk dengan earphone-nya, sementara seorang lelaki paruh baya keluar dari mobil mewah. Kesal. Macet ternyata tidak kunjung reda.

"Tiiiin..tiiin!" Suara klakson lagi. Makin melengking kali ini. Jalanan protokol tidak pernah jauh dari sepi. Silih berganti mahasiswa menyebrang jalan, satu per satu mobil, motor, truk, hingga sepeda saling menyikut satu sama lain. Tidak ada beda manusia dan mesin. Tapi kali ini, terlihat jelas mana benda mati dan mana benda hidup.

"Sial!" kata seorang supir bus begitu mengetahui penyebab kemacetan. Ada kecelakaan mobil di perempatan. Mobil itu menabrak pohon besar yang ada di pinggir jalan. Pohon yang dahannya sudah sangat panjang, daunnya rimbun hingga seringkali menghalangi pandangan pengguna jalan. Entah bagaimana mulanya, subuh tadi, mobil yang menabrak pohon itu terpelanting dan terjungkal. Bangkai badannya terbalik dan mengganggu jalan protokol. Sedaritadi orang-orang sibuk menyelamatkan korban, tapi belum ada yang berani memindahkan bangkai mobil.

"Haduuuh, pohon ini kan harusnya ditebang sejak dulu. Kenapa pemkot dan DPU gak gerak-gerak juga sih? Mobilnya juga kenapa gak dipindah-pindah?" seorang lelaki gendut mengaduh. Jalanan makin gaduh dengan suara-suara pengguna jalan yang meriuh.
"Ssst, hati-hati Bapak ngomong. Pohon ini ada penunggunya, Pak. Dengar-dengar tiap malam Jum'at kliwon bulan ke sekian, pak presiden suka kemari minta berkah."

Pohon yang kramat. Banyak orang yang sudah sering mengaduh, tapi tak ada yang berani menebang. Masyarakat percaya bahwa pohon itu memiliki kekuatan gaib. Pernah ada seorang warga yang mencoba menebang, esok harinya ia jatuh sakit. Ada lagi warga lain yang mencoba menebas sebagian dahan pohon agar tak menghalangi pandangan, esoknya dikabarkan kecelakaan. Pohon yang sangat besar itu sudah menarik perhatian banyak masyarakat. Hanya dari mulut ke mulut saja berita mengenai pohon kramat itu sampai. Dari kasak-kusuk yang entahlah siapa dulu yang memulai, pesan itu berubah menjadi mitos yang  akhirnya dipercaya oleh warga secara turun temurun.

"Tapi ini! Lihatlah ini, sudah ada korban gara-gara pohon ini!" sergah bapak yang lain. Orang-orang mulai keluar dari kendaraan masing-masing, lalu sibuk menyalahkan satu sama lain.
"Hei, Pak, yang kecelakaan di depan pohon itu, bapak tahu gak siapa? Itu kan anggota ormas Front Penentang Syirik yang katanya kemarin koar-koar mendatangi walikota, minta pohon itu ditebang. Nah, nanti Bapak bisa-bisa bernasib sama lagi!"

Si bapak yang diperingati tiba-tiba diam. Gelisah menyergap. Lututnya gemetaran. Agak lemas ia melangkah meninggalkan kerumunan yang masih kasak-kusuk itu. Ia masuk kembali ke dalam mobil. Berdoa agar malam ini tidak akan bermimpi buruk, atau didatangi sang penunggu pohon.
Sirine berbunyi nyaring. Polisi datang dan segera memasang garis pembatas. Tempat kejadian perkara dirapikan satu per satu. Seorang anak berseragam putih-merah masih batuk-batuk di dalam angkot, seorang bayi yang digendong ibunya belum juga berhenti menangis, seorang remaja sudah bosan mendengarkan musik yang itu-itu saja, sementara seorang lelaki paruh baya kembali masuk ke dalam kendaraan mewahnya dengan keringat membasahi sekujur kening. Kondisi lalu lintas mulai berubah, merayap pelan, hingga akhirnya kembali normal.
****
Keesokan harinya, karena kecelakaan yang menyebabkan kemacetan itu, media mulai berdatangan untuk meliput. Tapi bukan kecelakaan yang menjadi fokus, bukan juga kelalaian pemerintah yang tak sigap menebang pohon yang sudah sangat besar dan menghalangi jalan itu, bukan pula ketidakcekatan polisi dalam memindahkan bangkai mobil. Wartawan lebih tertarik memberitakan unsur mistik pohon besar dengan sulur yang memanjang, akar yang mencuat ke permukaan, serta batang yang diameternya lebih besar dari lebar trotoar. Pagi-pagi sekali, di Warta Jekardah tertulis headline besar-besar:
POHON SAKTI MANDRAGUNA DI JALAN MARGANDA

Pemberitaan itu membuat banyak orang penasaran. Pada malam-malam tertentu, beberapa orang sering datang untuk meminta berkah, pesugih, jodoh, dan permintaan-permintaan aneh lainnya. Dari mulut ke mulut, kesaktian pohon itu tersebar, dan makin banyaklah orang datang menengok. Bahkan dari seberang kota Jekardah. Makin membludaklah jama'ah pohon kramat tersebut saat seseorang berteriak-teriak terimakasih sambil berlari-lari menuju pohon.

"Terimakasih Mbah, terimakasih Mbah, saya dapat undian berhadiah mobil!!" teriaknya membuat orang di sekitarnya mendelik, sekaligus iri, dan tentu saja semakin rajin datang meminta kepada pohon yang berdasarkan konvensi dipanggil si Mbah itu. Ada lagi yang mengaku sembuh dari penyakit asma setelah merebus sulurnya sebagai jamu. Ada lagi yang bilang suaminya kembali setelah bertahun-tahun menyia-nyiakannya di Malaysia, dan sebagainya, dan sebagainya.

Jalan protokal semakin ramai, tidak terkendali dan menimbulkan kemacetan parah. Polisi semakin sering diterjunkan. Ratusan petisi melayang ke pemerintahan kota, meminta agar pohon ditebang, tapi tak sedikit juga yang menghendaki pohon itu tetap berdiri, atau kalau tidak, akan semakin banyak orang mati tanpa sebab. Setiap kali mobil sang walikota melewati pohon itu, yang ada dalam pikirannya adalah, "periode selanjutnya, periode selanjutnya..." sambil memandang harap ke arah rimbun daunnya yang tumbuh subur itu.
***
"Tiiiiin....tiiin" suara klakson sambar menyambar kembali. Mendung menggelayut di atas langit kota Jekardah. Tidak lebih kelabu dibanding wajah para pengguna jalan di tengah kemacetan jalan protokol yang semakin parah saja. Makian para supir semakin terdengar keras, tapi sebagian besar hanya bisa menelan ludah karena takut kualat.

Sejak media memberitakan eksistensi pohon tersebut dalam berbagai sudut pandang, berbagai ormas keagamaan mulai merumuskan untuk menebang pohon itu bersama-sama. Sementara itu, para wartawan memburu Ki Jaka Bada, seorang paranormal, untuk dimintai wawancara. Ki Jaka Bada hanya melontarkan kata-kata sederhana, "Bagus kalau untuk pariwisata. Buat pendapatan daerah itu bagus".

Dalam kemacetan yang parah, para anggota ormas berpakaian putih-putih itu maju tanpa tedeng aling-aling. "Kami akan buktikan, tidak akan ada apa-apa dengan kami! Pohon ini sudah menimbulkan banyak kemudharatan!" teriak salah satu anggotanya. Mesin pemotong pohon sudah dinyalakan. Suaranya bergetar, menyaingi suara guntur yang sambar menyambar di langit kota Jekardah.

"Jangan!!!" kata sebagian orang yang tidak sepakat
"Serbu saja!"
"Stoooop!"
"Ayo tebaang!!"
"Hentikan!"
Akhirnya terjadilah perkelahian. Argumen dengan argumen. Mata dengan mata. Tangan dengan tangan. Kaki dengan kaki. Bahu dengan bahu. Semua beradu menjadi satu.
Saat mencapai titik puncak, dari arah yang tiada disangka-sangka, "Taaaar!" petir menyambar pohon besar itu, dan krek..krek...suara patah-patah. "Awas menyingkiiiir!" teriak seseorang dari kejauhan. Kerumunan orang itu menyingkir sigap. Lari tunggang langgang begitu tahu pohon itu hendak tumbang.

Brug! Pohon itu jatuh menghantam badan jalan, bersamaan dengan suara deras hujan dan guntur yang bersahutan. Rimbun daunnya basah oleh hujan dan air mata para pemuja, kegagahannya seketika hilang, batangnya yang kokoh menyisakan bekas hangus. Untungnya tak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Orang-orang yang semula bertengkar di sekitar pohon itu tercengang dan kehabisan kata, tetapi tidak dengan headline warta Jekardah esok harinya:
RATUSAN WARGA MENGAMBIL SISA-SISA POHON SAKTI MANDRAGUNA
YANG TUMBANG TERSAMBAR PETIR

Penulis adalah mahasiswi pascasarjana UI, founder Komunitas Langit Sastra. Pernah aktif di kelas penulisan Rumah Dunia asuhan Gol A Gong. Penulis dapat dihubungi di alfi.syahriyani@gmail.com atau www.majalah-katajiwa.tumblr.com


Anda sedang membaca artikel tentang

Si Mbah

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/02/si-mbah.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Si Mbah

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Si Mbah

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger