Puisi-puisi Rico Mangiring Purba

Written By Unknown on Sabtu, 12 Januari 2013 | 12.40

1. Kota
:yang memusuhi penarik layang-layang

Di sebuah kota yang tanjung dan teluknya telah lama
memusuhi para pelaut itu, kini juga telah memusuhi
para penarik layang-layang. Jangankan petak-petak
tanah lapang, sawah kering pun hilang. Tak ada lagi
desis benang membelah udara mengantar lelayangan
mengangkasa. "Kau bilang harus ku gantungkan
mimpiku diantara kejora gemintang, sementara
layang-layangku pun tak lagi bisa bersigantung menuju
lelangitan."

Di kota yang kini memusuhi para penarik layang-layang
itu, walikota sering bilang kalau ini kota ramah anak.
Dan di kota ini anak-anak sudah pensiun bermain
layang-layang. Di kota itu layang-layang terbang
dalam bayang-bayang.

(141012)

2. Arca

Ada sekeping arca yang kuyup ditimpa hujan. Di depan
teras bermarmer lebar dan tiang beton yang lupa
betapa dirinya adalah raksasa di rumah itu. Tentang
arca itu, yang diluar dia menahan gigil, tak ada yang
pernah peduli.

Apalah arti sekeping batu yang dipahat? Bukankah
semua juga begitu. Bukankah dia memang diukir untuk
dipajang. Di rumah. Di halaman. Di depan teras
bermarmer lebar dan tiang penyangga yang raksasa.
Dari beton. Dan menggigil menahan dingin.

Tapi barangkali si empunya tak ingat. Bahwa batu karang
kikis dibasuh ombak. Batu cadas retak ditikam
hujan. Ada yang tak kekal dikolong langit. Ada yang tak
abadi selain kematian itu sendiri. Dan apakah arca?
Selain batu berukir yang menyiapkan kematiannya sendiri.

siapa yang peduli pada betapa sang artis telah
banjir peluhnya, legam kulitnya dan betapa kapal-kapal
ditangannya telah lebih keras dari batu itu sendiri. Betapa
tak perlu kita bermelankolik tentang sebuah arca. Dia hanya
dilihat karena rupa. Siapa peduli cerita dibaliknya.

Tapi arca tetaplah arca. Batu. Bukan prasasti. Dia hidup
sementara karena rupa lalu akan lekas mati. Di
halaman. Di depan teras bermarmer lebar yang tiangnya
raksasa-raksasa. Beton yang lupa diri.

Tapi bagiku ini semua tentangmu. Tentang cinta.

2012

3. Commuter

Dari Bogor sampai ke ulu jakarta.
Merekalah seribu raga yang jadi satu rangkai.
Delapan gerbong. Di ujung-ujung, nona-nona
manis meronce.

Hak asasi disini tercerabut. Toleransi tak punya nyali.
Ibu-ibu berdiri. Laki-laki hahahihi. Duduk dikursi.
Tapi disini tak pernah sepi meski mereka acap kali jeri.

Tuan-puan sebentar lagi sepur kita tiba di Manggarai.
Sampai bertemu besok lagi. Pagi-pagi.

2012

4. Dari Keping-keping ricik hujan

Dari keping-keping ricik hujan. Ada denting pental dingin
yang mengental. Terlempar ke sebuah teras, persis
ketika kamu sedang mendamaikan hatimu. Lamat ia
rambat. Jadi sesosok bayang. Jadi sebingkai diorama.
Tentang kesalahan masa lalu. Memintal kata yang dicegat
kerongkongan. Tak boleh diucapkan.

Dari keping-keping ricik hujan.

2012

Rico Mangiring Purba, Alumnus FH Unila, dilahirkan di Bandarlampung 2 Agustus 1985. Menulis sajak dan opini sejak bergiat sebagai jurnalis magang di Lampung Post.


Anda sedang membaca artikel tentang

Puisi-puisi Rico Mangiring Purba

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/01/puisi-puisi-rico-mangiring-purba.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Puisi-puisi Rico Mangiring Purba

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Puisi-puisi Rico Mangiring Purba

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger