Mamik Ambar, Kesahajaan Seniman Cepung Lombok

Written By Unknown on Kamis, 27 Desember 2012 | 12.40

Khaerul Anwar

Masyarakat etnis Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, sudah akrab dengan kesenian Cepung. Apalagi kesenian Cepung lahir, tumbuh, dan berkembang di tanah Lombok. Naskah Lontar Monyeh, sumber cerita seni teater tutur itu, ada yang beraksara Sasak Jejawan (turunan Hanacaraka) berbahasa Sasak, Bali, dan Jawa. Lontar gubahan Mamik Mihram itu kemudian dibawa dan dipelajari seniman Bali, hingga melahirkan kesenian tersebut.

Popularitas kesenian Cepung tidak bisa dilepaskan dari peran Lalu Ambare alias Mamik Ambar yang sekarang berusia 90 tahun. Warga Jalan Jaya Sena, Mayura, Cakranegara, Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu selama tujuh dekade telah menekuni teater tutur ini.

Ambar, panggilannya, ngamen di berbagai tempat, dari pentas resmi sampai ke berbagai pelosok desa guna meramaikan acara pernikahan, khitanan, dan hajatan lainnya.

Ambar seolah mewakili liku-liku kesahajaan hidup seniman tradisi. Demi mempertahankan kesenian Cepung, dia rela berjalan kaki sampai separuh hari, menuju tempatnya berpentas. "Itu perkara biasa," ujarnya.

Sering kali pula Ambar menginap semalam di rumah kenalannya yang berdekatan dengan tempat dia akan manggung. Ia kemudian baru melanjutkan perjalanan esok harinya. Itu bukan soal bagi Ambar. Demi sampai ke tujuan, ibaratnya berenang menyeberangi sungai yang airnya melimpah saat musim hujan pun akan dia lakoni.

Penatnya dalam perjalanan itu terbayar dengan kemeriahan sambutan khalayak penonton. Apalagi Ambar pun memiliki kemampuan menghibur. Aksi panggung Ambar, antara lain, menirukan suara gamelan dengan mulut disertai gerakan tubuh dan mimik yang bisa membuat penontonnya terhibur.

Awak kesenian Cepung ini meliputi pemain suling, redep (rebab dalam gambang kromong, Betawi), pemakhitanaos (pembaca naskah lontar), penyokong (pendukung), dan punggawa (penerjemah).

Dalam seni teater tutur ini, Ambar bertugas sebagai pemakhitanaos. Selain membaca naskah cerita, dia juga sering kali ikut menjadi penyokong.

Ambar menembang bersahut-sahutan dengan personel lainnya. Mereka menirukan lirik lagu dengan bunyi instrumen gamelan memakai mulutnya. Di sini ada fonem dang, ding, dung, diucapkan pada akhir kata. Misalnya dalam kata doang (berarti hanya), fonemnya menjadi dung.

Trio maestro

Kesenian Cepung menjadi "hidup" di tangan Ambar dan dua rekannya, almarhum Ketut Bagiada (penerjemah) dan almarhum Ridin (pemain redep). Tak heran kalangan seniman menyebut mereka sebagai Trio Maestro Cepung. Meskipun terkadang ada pemain lain yang membantu mereka saat berpentas, trio ini tetap tidak terpisahkan.

"Ya, kami sudah spel (kompak)," kata Ambar memberi alasan sambil meringis.

"Sudah dua bulan saya cuma duduk dan tidur, dari sini ke sini saja. Saya merasa lemas," kata dia sambil menunjuk bagian paha dan kakinya yang terserang stroke sejak akhir 2005. Sebelumnya Ambar menjalani operasi hernia atas biaya pemerintah lewat fasilitas jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas).

Secara fisik, Ambar tampak lemah. Dia berbaring dalam ruangan berdinding gedek seluas sekitar 2,5 meter x 4 meter. Dipannya berkasur lusuh. Untuk makan dan minum, harus ada orang yang menyuapi dia. Shalat dan berwudu pun dilakukan Ambar di kamarnya.

Rumah di atas tanah 1 are (100 meter persegi) yang ditempati Ambar bersama anak tertua, menantu, dan cucu-cucunya itu adalah pemberian warga. Penerangan di rumahnya berasal dari listrik tetangganya. Seluruh biaya hidup Ambar ditanggung dua anak dan cucu-cucunya. Adapun cicitnya bertugas melayani keperluan makan-minumnya. Kedua istri Ambar sudah meninggal.

Namun, energi Ambar muncul seketika saat berbicara tentang Cepung. Suaranya yang semula lirih berubah lantang, posisi duduknya menjadi tegak. Ia pun bisa bercanda, dan memelesetkan namanya menjadi Ngambar (berkeliling), atau keluyuran menghibur masyarakat.

Sejurus kemudian Ambar nembang, istilah dalam seni membaca naskah lontar. Ia mengutip prolog naskah Lontar Monyeh dalam bahasa Sasak.

"Tabik pade warga sanak, wayah, mamik, bini-laki, te coba ngarang, penyelemor ngantih nasi…. porok sang ne inik isi ate jari oat bingung, sak ngadu kesemelan, apek diri jeneng ririh, mule tetentu sa ngadu lelakon doang." Artinya, tabik saudaraku, bapak-ibu, saya belajar mengarang (lagu) sambil menunggu nasi (matang), iseng-iseng sebagai pelipur hati yang bingung, saya mungkin ceroboh tetapi sejatinya ini semua sekadar cerita.

Lontar Monyeh mengisahkan seorang putri raja yang disisihkan delapan saudaranya. Bahkan, ia diusir oleh sang ayah dari istana karena fitnah saudara-saudaranya. Sang putri lalu melukis wajah dan sketsa nasib yang menimpanya. Hasil gambarnya itu diterbangkan angin, dan jatuh di istana kerajaan tetangga.

Putra kerajaan tetangga yang menemukan gambar itu lalu menyamar menjadi monyet (monyeh). Sang pangeran kemudian menemui dan menemani sang putri dalam pengembaraan. Sampai suatu saat sang putra raja mengubah diri menjadi manusia. Keduanya pun menikah dan hidup bahagia.

Sejak kecil

Perkenalan Ambar dengan Cepung dimulai sejak masih duduk di sekolah rakyat (SR, setingkat SD). Di lingkungan tempat tinggalnya nyaris setiap hari ada pentas Cepung. Bahasa dan aksara dalam naskah lontar (bahasa Sasak dan Jawa, beraksara Jejawan) bukan halangan bagi Ambar.

"Semua itu menjadi mata pelajaran di sekolah saya," kata Ambar. Setiap siang ada acara memaos, dan dia selalu menyimak teknik nembang berikut cengkoknya. Lambat laun ia menjadi fasih, dan sering kali diminta menjadi pembaca naskah Lontar Monyeh.

Lalu, dia juga menjadi tempat bertanya para seniman dan narasumber peneliti dari dalam dan luar negeri. Ambar yang putus sekolah saat duduk di kelas 4 SR juga membagi ilmunya kepada anak muda dan dewasa yang mau belajar kesenian Cepung.

"Saya suka sedih kalau ada orang yang pengetahuannya tentang kesenian (Cepung) masih terbatas, tetapi malah mengklaim diri sebagai pakar. Itu namanya 'beloan kentok dait tanggek' (merasa lebih panjang daun telinganya dibandingkan tanduk hewan)," katanya.

Ambar memilih bersikap seperti padi yang kian berisi kian merunduk. Dia suka menertawakan diri sendiri karena "kelemahannya" itu. Ketika dia berpentas di Jakarta, misalnya, Ambar merasa seperti "katak di bawah tempurung" melihat hiruk-pikuk suasana Ibu Kota.


Anda sedang membaca artikel tentang

Mamik Ambar, Kesahajaan Seniman Cepung Lombok

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2012/12/mamik-ambar-kesahajaan-seniman-cepung.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Mamik Ambar, Kesahajaan Seniman Cepung Lombok

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Mamik Ambar, Kesahajaan Seniman Cepung Lombok

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger