Lelaki Berlongyi Biru - 9

Written By Unknown on Jumat, 28 Desember 2012 | 12.40

Cerber Endah Raharjo

Bagian 7

Kepala berambut gondrong lurus itu menghadap layar laptop. Kudengar ketukan ritmis dan cepat pada keyboard, menandakan si pemilik kepala sedang asyik bekerja. Aku berdiri di belakangnya, di bukaan partisi, semacam pintu menuju ruangannya. Meja panjang diletakkan mepet dinding, berbatasan dengan jendela kaca. Di atas meja itu segala rupa peralatan berserakan.

Di pojok ada printer lawas, setumpuk kertas HVS teronggok di atasnya. Tiga kardus penuh dokumen dijejer di kolong meja, menyisakan sedikit ruang untuk kakinya yang panjang. Sebagian ujung longyi birunya menjuntai menyentuh lantai. Punggungnya lebar, dibingkai sepasang lengan yang kuat.
"Hai," sapaku dengan suara rendah, nyaris berbisik.
Ia menoleh.
"Hai."
Mata kami beradu. Selama beberapa detik aku tidak bisa bicara, menikmati tatapan mata almonnya.
"Maaf atas kejadian tadi pagi."
"Aku yang seharusnya minta maaf. Aku seharusnya memberi tahu kalau Soe Phyu mungkin akan berselisih paham denganmu. Aku hanya tidak mengira terjadi begini cepat. Aku berencana memberi tahu hari ini, setelah kamu bertemu Thiri dan selesai rapat dengan Nanda." Ia menunduk. Baru kali ini aku melihat matanya dibuang ke lantai. "Apakah kamu sudah jadi bertemu Thiri?"
"Sudah. Sekarang aku kaya," aku mencoba bercanda. Aku tahu yang ia maksudkan adalah mengambil jatah uang saku. "Biar forum yang mengelola dana kegiatanku."
"Kamu tahu itu hakmu. Boleh kamu gunakan untuk semua hal yang mendukung kegiatanmu."
"Ah. Soe Phyu benar, aku belum mengerti apapun. Aku hanya bertugas membantu. Lagi pula aku tidak membutuhkan dana untuk kegiatanku. Semua perlengkapan sudah disediakan kantor. Aku...."
"Sebaiknya kita bicara di sana," Kyaw memotong, tangannya menunjuk ruang rapat kecil.
Kami berjalan beriringan. Kurasakan beberapa pasang mata mengikuti kami berdua. Kyaw menutup pintu setelah menyilakan aku duduk duluan.
"Ya? Ada yang perlu kuketahui di balik drama tadi pagi?"
"Sebenarnya sejak kemarin aku sudah merasa kalau Soe Phyu tidak menyukaiku. Ia menyindirku karena aku tinggal di hotel, sementara ia sering tidur di kantor. Aku sempat terganggu dengan kata-kata pedasnya itu, namun kuabaikan, kuanggap ia hanya capek atau semacam itu. Apakah teman-teman di sini tahu bahwa aku tidak begitu saja ada di sini? Aku terpilih dari puluhan pelamar dan panitia seleksi bukan orang-orang sembarangan. Mereka berasal dari beberapa negara dengan pengalaman puluhan tahun. Kalau mereka telah salah memilih, itu bukan persoalanku. Kalau aku berbuat salah di sini, selama dua hari ini, baru aku bersedia ditegur..."
"Bree...."
"Aku belum selesai."
"Okay."
"Kamu harus tahu bahwa selain hotel, uang saku yang kuterima tidak seberapa, aku tidak digaji."
"Aku tahu semua itu."
"Tunggu dulu," sergahku, "aku tinggal di hotel untuk alasan keamanan dan ini program jangka pendek. Apa orang-orang di sini tahu itu? Apa Soe Phyu tahu? Kalau kedatanganku di sini hanya menambah beban, mulai besok aku akan berhenti. Aku bukan orang tolol yang membiarkan diri dilecehkan hanya karena…."
"Please, Bree. Stop."
Aku senang Kyaw menghentikanku karena aku mulai marah. Aku bisa bicara keras dan kasar bila harga diriku direndahkan.
"Semua tahu mengenai alasan keberadaanmu di sini. Semua setuju kami perlu pendamping yang bisa mempercepat pekerjaan kami. Bukan hanya kamu dan Stephanie yang jadi relawan ahli, ada lima lainnya yang tidak berkantor di sini. Soe Phyu tahu semuanya. Dia bukan anak kemarin sore." Kyaw menghentikan kata-katanya seperti ada sesuatu yang menahannya.
"Lalu mengapa ia bersikap seperti itu?"
"Aku akan memintanya menemuimu. Besok pagi. Tidak sekarang. Dia sedang di kantornya sendiri."
Semua pengurus forum, kecuali May dan Thiri, punya kantor tempat mereka bekerja full time. Di forum ini mereka menjadi pengurus inti, ditunjuk oleh semua LSM yang menjadi anggota.
"Jadi? Aku bisa kembali bekerja?" Kulihat arloji, pukul lima kurang seperempat.
Kyaw menghela nafas. Matanya menyorot lembut, membuatku ingin menunduk, menyembunyikan perasaanku.

Namun aku setengah mati bertahan menegakkan kepala. Aku tidak ingin terlihat lemah di depannya, meskipun aku menipu diri kalau kukatakan aku tidak ingin merebahkan kepalaku di dadanya. Aku merutuki diri, mengapa perasaan romantis semacam ini, perasaan yang lama kutunggu-tunggu, justru muncul di saat yang tidak tepat.
"Ada yang kamu perlu tahu, Bree. Ayah Soe Phyu meninggal akibat TBC, saat ia masih balita. Dua kakak lelakinya, ditangkap militer dan dibawa entah ke mana, untuk dieksekusi, bersama pelajar lainnya saat Uprising 8888. Ibunya jadi gila. Ia baru 10 tahun." Suara Kyaw datar tanpa emosi.
Tadi di kedai kopi Stephanie tidak menceritakan hal itu. Mungkin ia tidak tahu. "Ya. Waktu itu kakimu tertembak juga," kataku sambil berdiri.
"Bree? Kamu tahu dari mana?"
"Stephanie sudah cerita."
"Apa saja katanya?"
"Banyak."
"Bree?" Lengan kekarnya terulur, tangannya memegang lenganku, langkahku menuju pintu jadi tertahan, "apa saja katanya?"
"Aku harus menyelesaikan pekerjaanku," tubuhku sedikit mundur, memberi isyarat agar ia melepaskan pegangannya pada lenganku. "Aku bukan hantu. Semoga kamu tahu itu."
"Bree!" Matanya membelalak. Bukan amarah yang kulihat, melainkan luka dan rasa terkejut menjadi satu. Ia tidak mencegahku berlalu. Kurasakan tatapannya menembus tengkukku. Aku sangat menyesal telah mengatakan hal semacam itu.


Anda sedang membaca artikel tentang

Lelaki Berlongyi Biru - 9

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2012/12/lelaki-berlongyi-biru-9.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Lelaki Berlongyi Biru - 9

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Lelaki Berlongyi Biru - 9

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger