Lelaki Berlongyi Biru - 5

Written By Unknown on Rabu, 19 Desember 2012 | 12.40


Cerber Endah Raharjo

Bagian 4

Dengan langkah panjang-panjang petugas concierge mendatangiku. "Taksinya sudah tiba, Miss. Saya sudah memilih yang ber-AC dan supirnya mengerti bahasa Inggris. Saya juga sudah bilang kalau Anda minta diantar jemput serta akan memakainya selama tiga minggu. Namun untuk urusan tarif, silakan Anda bicara langsung. Namanya Htet Lin Thu."
"Bisa minta tolong dituliskan namanya di sini?" Kuberikan buku kecil bersampul merah saga. Di situ kucatat banyak sekali nama, pengucapannya, serta ciri-ciri menonjol pemiliknya.
"Boleh saya panggil Lin?" tanyaku sopan pada Htet Lin Thu, berharap ia akan mengijinkan.

Tidak mudah mengucapkan dan mengingat-ingat nama-nama mereka. Ini bukan salah mereka, tentu saja. Mungkin hal semacam ini terjadi karena aku terlalu sering menonton film Hollywood. Sampai-sampai nama-nama semacam Billy Bob Thornton, Mary-Kate Olsen, Leonardo DiCaprio, Scarlett Johansson,

Catherine Zeta-Jones, Sarah Jessica Parker, dan Michelle Pfeiffer terasa lebih mudah diucapkan dan ditulis, meskipun hurufnya lebih banyak dan rumit.
"Yes, Miss. Lin fine. Lin fine." Supir yang rambutnya mengkilap oleh pomade itu mengangguk-angguk. Ia paham maksudku. Aku punya alasan untuk tertawa senang.
"Okay, Lin! Kita ke kantorku. Di sini." Kutunjukkan selembar kertas berisi alamat dan peta. "Kamu tahu?"
"Yes, Miss. Saya tahu." Taksi yang dikendarai Lin termasuk cukup bersih dibandingkan taksi lain yang lalu-lalang di jalan. Mungkin karena ber-AC. Kuperhatikan central-lock-nya masih berfungsi, juga power-window-nya, namun kedua kaca pintu belakang berderit ketika ditutup dan yang sebelah kiri tidak bisa tertutup sempurna, menyisakan lubang 3 mili.

Aku sepakat membayar Kyat 2.500 sekali jalan dari hotel ke kantor atau sebaliknya; kira-kira setara Rp 32.000. Tarif itu lebih mahal dari yang dibayar warga lokal. Lin menjemput setiap pagi di hotel pada pukul 8.30, atau sesuai permintaanku. Bila sore atau malam aku menelponnya untuk menjemputku di kantor atau di tempat lain, tergantung jadwalku. Kalau tempat lain itu jaraknya lebih jauh dari kantor, aku membayar kekurangannya, tergantung jaraknya.

Aku langganan taksi bukan karena kaya, hanya agar cepat dan praktis. Aku diberi akomodasi di hotel yang taripnya tidak boleh lebih dari US$ 90 semalam termasuk sarapan, serta uang saku sekedar cukup untuk membayar taksi, makan dan komunikasi. Selain karena prosedur, aku ditempatkan di hotel demi keamanan. Tugasku juga jangka pendek, hanya 3 minggu. Aku tidak menerima gaji namun mendapat asuransi komplit: kesehatan dan keamanan termasuk kecelakaan dan huru-hara.

Bila aku makan di restoran atau nongkrong di kedai kopi high-end seperti Network yang harga makanan dan minumannya lebih besar dari jatah, aku harus merogoh kocek sendiri. Tapi aku senang melakukannya. Tak ada nyawa yang harus kuhidupi selain milikku sendiri. Tugas semacam ini bukan perkara uang namun sangat penting untuk mematangkan pengalaman dan menuas kualifikasiku di dunia internasional.

"Ya. bangunan itu!" seruku. Kurang dari 20 menit aku sudah sampai di depan kantor. Kuserahkan uang Kyat 2500 yang diterima Lin dengan wajah bungah.
Di lobi gedung kantor kulihat May sedang bercakap-cakap dengan dua orang lelaki bule. Ia memintaku berhenti untuk berkenalan. Mereka menyapa ramah. Aku pasti akan lupa wajah dan nama mereka bila sore nanti atau besok pagi kami bertemu. Terlalu banyak orang kutemui sejak aku datang. Kusebutkan namaku: Febria.
"Bree," celetuk May. "Kyaw Win memanggilnya Bree dan kami semua setuju." May tertawa. Dua bule itu ikut-ikutan tertawa meskipun aku yakin mereka tidak paham maksud May.
"Aku harus ke atas. Banyak pekerjaan menunggu." Aku menuju tangga. Mereka mengucapkan 'bye Bree' bersamaan.

Semalam aku mengirim email ke Papa dan Mama di Jogja. Kutulis kalau di kantor aku diberi nama baru: Bree. Kuceritakan juga kalau aku langsung terpesona pada sang ketua forum LSM. Kutuliskan sampai rinci bagaimana aku menyukai sosoknya, mata almonnya, rambut gondrongnya, dan tentu saja longyinya. Email itu juga kukirim ke semua kakakku. Aku ingin mereka tahu kalau si bungsu bertemu pujaannya di negeri orang.

Dalam usiaku ini aku belum minat punya pacar. Bukan karena ada trauma atau hal-hal semacam itu. Hanya tidak terpikir saja, seperti aku tidak memikirkan mengoles eye-shadow, atau menghias rambut dengan pita, atau memakai sepatu warna hijau menyala. Sesederhana itu.

Aku pernah jatuh cinta sekali, dulu, di SMA. Cinta monyet, kata kakak-kakakku. Cinta monyetku itu berakhir hanya beberapa hari sebelum aku mulai kuliah di jurusan arsitektur. Sejak itu aku belum berpapasan lagi dengan cinta jenis yang lain.

Aku sesekali iri pada teman-temanku yang hidupnya berjalan sesuai rencana: ketemu kekasih di kampus, tunangan menjelang lulus sarjana, lalu menikah selepas wisuda, berikutnya punya anak bertepatan dengan ulang tahun pertama pernikahan pertama. Wah. Tampaknya hidup semacam itu sangat indah, mulus sempurna, bagai lantai marmer yang tiap hari dipel dengan ampas kelapa.

Aku curiga, jangan-jangan ini kesalahan tiga kakak lelakiku: Mas Okto, Mas April dan Mas Janu. Sebagai bungsu, dan satu-satunya anak perempuan, aku mereka limpahi perhatian yang membuatku lupa kalau ada lelaki lain di luar keluarga.

Kakak sulungku, Mas Okto, yang waktu remaja selalu minta dilayani Mama, yang sekarang kaya raya dan punya anak dua, sering mengirim uang diam-diam. Tahu-tahu saja tabunganku bertambah. Sewaktu aku kecil ia suka sekali dengan rambutku yang keriting seperti mi instan, yang anehnya berubah jadi ikal begitu aku mendapat menstruasi.

Mas April lain lagi, saat aku di SMP, ia suka mengganggu teman-teman perempuanku. Ia memang playboy. Sampai kini. Bahkan setelah menikah ia masih suka bicara tentang perempuan yang menarik minatnya. Aku khawatir istrinya suatu saat tidak tahan lalu minta cerai.

Kemudian Mas Janu. Usianya terpaut 4 tahun dariku. Ia pendiam, seperti Mama. Ia yang paling baik, siap setiap saat membantuku, persis iklan deodoran itu. Ia pernah memutuskan pacarnya hanya gara-gara si pacar memarahiku.

Sesekali aku ingin merindukan lelaki selain tiga kakakku. Aku juga ingin seperti perempuan muda lainnya: dipacari, digandeng, dirangkul atau dicium. Apalagi sehabis menonton film romantis, malamku bisa kuhabiskan dengan berharap agar tiba-tiba aku kejatuhan cinta, merasa punya birahi.

Oh, sungguh dalam usiaku ini aku masih perawan dalam arti seluas-luasnya. Tak jarang aku khawatir kalau-kalau aku tidak normal. Maka, ketika aku kesengsem oleh Kyaw, kabar gembira itu segera kubagi dengan orang tua dan kakak-kakakku.

"Selamat pagi," sapaan Stephanie mengejutkanku. Ia menikmati rokok di hall penghubung tangga dengan ruang lift. Tepat di depan pintu menuju tangga ada jendela yang kacanya bisa dibuka. Sejak kemarin aku melihat beberapa orang merokok di situ.
"Hello!" balasku. "Apa kabar?"
"Tidurmu pasti nyenyak. Wajahmu sejernih langit Yangon," Stephanie tertawa. Kami sama-sama memandang ke luar jendela, melihat langit pagi yang menyerupai hamparan sutera biru tak bernoda.

"Kamu sudah ditunggu Kyaw Win. Sepertinya semalam dia tidur di kantor."

Tanpa berbasa-basi dengan Stephanie aku langsung menuju pintu kantor. Kubuka sepatuku dan kupakai selop merah dari bahan kaus esktra tebal, semacam kasut yang biasa dipakai di dalam masjid. Aku tidak mau kaus kakiku kotor oleh debu. Selain itu aku tidak biasa bertelanjang kaki – termasuk di rumah – bisa masuk angin kalau kupaksakan.

Orang Myanmar kebanyakan memakai sandal jepit menyertai longyi mereka. Memang sangat nyaman untuk cuaca panas dan lembab seperti ini. Namun kuperhatikan teman-temanku di kantor ini kebanyakan bersepatu, cuma Kyaw yang memakai sendal.

Suasana kantor seperti tanpa penghuni, hanya terdengar gerungan pelan dari beberapa AC yang sudah tua, bahkan telingaku tak menangkap ada suara keyboard diketuk.
"Min-gala-ba," seorang lelaki mengucap salam dengan bahasa Burma.
"Min-gala-ba," sahutku, menoleh ke arah sumber suara, sedikit meringis karena aksenku yang buruk.

Kulihat Yan Naing, staf humas, asyik membaca di meja bundar. Di depannya ada dua buah bakpao dibungkus plastik dan cangkir yang tepiannya bernoda bubuk kopi.
"Bagus. Bagus," pujinya.
"Ce-zu naw," kuucapkan terima kasih, masih dengan meringis. Yan Naing tertawa tanpa suara.
"Bree."
Mendengar suara Kyaw memanggilku dua belah pipiku menghangat. Aku menoleh. "Hai, Kyaw. Apa kabar?"
"Baik. Minta waktumu sebentar." Ia membuka pintu ruangan paling kecil, kepalanya memberi isyarat agar aku mengikutinya. Sebagian rambut di keningnya berjatuhan menutupi mata kirinya. Kali ini ia memakai kemeja lengan pendek abu-abu muda, longyinya tetap berwarna biru, bermotif kotak-kotak kecil merah marun atau merah bata, dari jarak tiga meter sulit kuterka.


Anda sedang membaca artikel tentang

Lelaki Berlongyi Biru - 5

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2012/12/lelaki-berlongyi-biru-5.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Lelaki Berlongyi Biru - 5

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Lelaki Berlongyi Biru - 5

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger