Balada Tarling di Tepi Laut...

Written By Unknown on Senin, 04 Maret 2013 | 12.40

Balada Tarling di Tepi Laut...

Oleh Putu Fajar Arcana

Suara Teni Suteni (55) menyayat hati. Setelah melewati gang sempit, suaranya yang melengking tinggi itu seperti menyusup ke tepi laut di utara kampung. Tak ada hajatan. Hanya pentas kecil yang berlangsung di teras rumah Djana Partanain (76), pemimpin kelompok tarling Candra Kirana, akhir Februari 2013. P

Teni, salah satu dari dua pesinden Candra Kirana, sedang menembangkan "Kiser Saida-Saeni", salah satu tembang klasik dalam seni tarling cirebonan. Ia tampak begitu dekat dengan tembang itu. Bukan semata lantaran itu "tembang wajib" dalam pementasan tarling, "Kiser Saida-Saeni" seperti mewakili ungkapan rasa paling dalam dari para seniman tarling. "Kisahnya sedih, mewakili kami orang-orang miskin," kata Teni.

Pesinden yang sudah bergelut di dunia tarling sejak usia muda ini kini sehari-hari cuma penjual rujak di sekitar kampung Pesisir Samadikun, Kebonbaru, Cirebon, Jawa Barat.

Kampung Pesisir Samadikun terletak di tepi laut bagian utara Kota Cirebon. Dulu, kampung ini berupa tanah-tanah timbul di tepi laut. Cukup sulit menemukan rumah Djana Partanain, tempat kelompok tarling Candra Kirana bermarkas. Setelah menyusur tepi laut, tempat tambak-tambak udang berderet, ada jalan kecil yang mengantarkan kita ke sebuah selokan. Bahkan, sebelum itu kita harus melintasi timbunan sampah dan sisa genangan rob yang berbau. Rumah Mang Djana, begitu seniman tarling itu dipanggil, beralamat di Jalan Kapten Samadikun Gang Melati Nomor 7, Cirebon. Jalan Kapten Samadikun lebih menyerupai gang ketimbang sebuah jalan. Sementara Gang Melati adalah lorong sempit, yang menjulur sampai ke tepian.

Alamat markas Sanggar Tarling Candra Kirana, yang didirikan Mang Djana bersama puluhan seniman lainnya, di sebuah gang sempit seolah mewakili nasib para seniman.

Teni menceritakan, selain Mang Djana yang "gagah" hidup dari tarling, seniman lain umumnya berprofesi sebagai buruh bangunan, tukang ojek, nelayan, dan pedagang kecil. "Mana mungkin bisa makan dari tarling, tetapi kami tak menyerah," ujarnya.

Mang Djana, menurut istrinya, Kartini (70), pernah berprofesi sebagai tukang becak, buruh bangunan, dan nelayan. "Semuanya demi anak-anak. Ya ndak bisa hidup dari tarling. Tetapi dia kepala batu," kata Kartini sembari menunjuk Mang Djana. Seniman tarling sepuh itu cuma nyengir mendengar kisah istrinya. "Itu satu anak saya sampai ndak bisa ngomong karena step waktu kecil," kata Kartini dengan logat Cirebon yang kental.

Pentas

Rombongan wartawan kebudayaan yang mengunjungi Candra Kirana dalam rangka Trip Sampoerna Asyiik Fest mendapatkan suguhan istimewa. Sejak sore Mang Djana dan para seniman tarling menunjukkan bagaimana memainkan, menjaga, dan mengembangkan tarling.

Sanggar Candra Kirana, ujar Mang Djana, boleh jadi adalah satu-satunya sanggar yang tetap memainkan tarling sebagaimana awal mula dikembangkan tahun 1960-an. Kelompok ini bukan menolak kombinasi tarling dengan dangdut, sebagaimana kini banyak ditemukan di Cirebon, melainkan menjaga tarling sesuai aslinya jauh lebih penting. "Kalau bukan kami, siapa lagi yang menjaga tarling," kata Mang Djana.

Tarling diperkirakan lahir sekitar tahun 1930 di pesisir Cirebon dan Indramayu. Para seniman setempat mencoba mengombinasikan gitar dan suling bambu. Kata tarling berasal dari kata gitar dan suling. "Ya, dulu alat musik tarling cuma itu. Sebagian nada dalam gamelan dimainkan dengan gitar," kata Mang Djana.

Budayawan Cirebon, Dino Syahrudin, mengatakan, dalam perkembangannya, tarling diberi tari dan sandiwara. "Umumnya kisah-kisah tentang kehidupan rakyat kecil," katanya.

Tarling memang satu bentuk kesenian terbuka, yang elok saja kalau disisipi jenis-jenis seni baru. "Sekarang sebagian besar tarling diselipi dangdutan. Kalau tidak begitu, anak-anak muda tidak suka," kata Dino.

Mang Djana tidak pernah menutup diri terhadap upaya-upaya pengembangan atau aktualisasi terhadap tarling. "Yang suka dangdut silakan, tetapi tarling kami biarkan saja begini," katanya.

Tarling Candra Kirana tetap seperti ketika awal mula Mang Djana menekuni musik ini pada usia 10 tahun. Mereka tetap memainkan tembang-tembang klasik seperti "Kiser Saida-Saeni", "Pegat Balen", "Lair Batin", "Bayuan", dan "Kiser Panggugah".

Kelompok ini juga setia memainkan tembang-tembang yang lebih baru, seperti "Warung Pojok" atau "Pemuda Idaman", serta memasukkan unsur-unsur sandiwara di dalamnya.

Pada suatu masa dalam babakan tahun 1960-1970, tarling ibarat ekspresi komunal kaum pesisiran. Ia ditanggap dan dipentaskan di mana-mana, seolah tiada hari tanpa tarling.

Ketika jenis musik seperti dangdut dan organ tunggal dikenal, tarling beramai-ramai diboyong menjadi bagian dari perkembangan seni terbaru itu. Tentu, sebagai kesenian rakyat, tarling terbuka untuk diadaptasi untuk memunculkan satu jenis "seni baru" lagi, sebagaimana dulu tarling digagas dari gitar dan suling.

Kini, jejak masa lalu tarling klasik itu (mungkin) cuma "teronggok" di gang sempit Kampung Samadikun, Kota Cirebon. Dan Mang Djana, pendiri Sanggar Tarling Candra Kirana, tak menyerah oleh desakan goyang musik dangdut dan getar teknologi organ tunggal. Tubuh dan usianya boleh makin ringkih, tetapi "ideologinya" makin kokoh: tarling tak boleh mati....


Anda sedang membaca artikel tentang

Balada Tarling di Tepi Laut...

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/03/balada-tarling-di-tepi-laut.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Balada Tarling di Tepi Laut...

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Balada Tarling di Tepi Laut...

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger