Lelaki Berlongyi Biru - 8

Written By Unknown on Sabtu, 22 Desember 2012 | 12.40

Cerber Endah Raharjo

Bagian 6

Rapat bersama divisi advokasi yang dikoordinir Nanda berjalan cepat dan efektif. Kami langsung membahas program dan kegiatan. Salah satu wakil LSM yang hadir sudah menyiapkan banyak informasi, termasuk satuan-satuan biaya dan tarip, tinggal dimasukkan ke dalam rencana anggaran oleh Stephanie.
Dalam rapat sepanjang 2 jam itu aku bersikap serius. Tidak berusaha bercanda seperti kemarin. Ketika mereka membuat lelucon aku pura-pura tidak mendengar, berlagak mencatat sesuatu dengan iPad. Kalau semua rencana berjalan mulus seperti ini, mungkin dalam dua minggu pekerjaanku bisa kelar. Insiden pagi tadi membuatku ingin cepat pulang.
"Bree?" Stephanie menyentuh pundakku. Aku sedang memasukkan barang-barangku ke dalam ransel. Hanya tinggal Stephanie dan diriku di ruang rapat. Nanda dan tiga orang wakil LSM sudah pindah ke ruang yang lebih kecil. Masih ada hal-hal teknis yang harus mereka bahas.
"Ya?" aku tidak menoleh, pura-pura menata isi ransel.
"Kamu baik-baik saja?"
"I've had better days."
"Yeah..."
"Sebenarnya kemarin aku sudah melihat tanda-tanda kalau Soe Phyu tidak suka sama aku," kataku.
"Soe Phyu memang begitu. Jangan diambil hati. Tapi di luar itu, sebenarnya ada sesuatu yang – mungkin – kamu harus tahu," ada jeda beberapa detik dari kata 'mungkin' dan 'kamu harus tahu'. Mata abu-abu Stephanie lekat ke mataku.
"Ruang rapat akan dipakai," Yan Naing melongokkan kepalanya di ambang pintu.
"Oke!" Aku dan Stephanie bangkit bersamaan. 
"Kita teruskan di ruanganku? Atau..." Stephanie minta pertimbangan. Ia melihat sekeliling. Ada beberapa tamu yang hendak rapat bersama Yan Naing. Apapun yang hendak kami bicarakan sebaiknya tidak didengar orang lain. Sekilas kulirik ruangan Kyaw di sudut. Tak kulihat bagian atas kepalanya. Ia belum kembali. Mungkin ia berada di kantornya di lantai enam, atau bisa di mana saja meredakan amarahnya.
"Aku tidak ada acara sampai jam 3 nanti." Kulihat arlojiku. Pukul 12.30. Saatnya makan siang.
"Kita ke Network?"
"Boleh. Aku ambil dokumen dulu." Kudekati Thiri yang sedang duduk di meja bundar, makan mi Burma, semacam mi ayam berkuah santan. Kutanyakan dokumen yang tadi dikopi untukku. Katanya ada di mejanya, di dalam map merah, ia memintaku mengambil sendiri. Aku ucapkan terima kasih, memberi tahu kalau aku dan Stephanie akan keluar makan siang. Aku tak perlu minta ijin atau lapor siapapun soal jam istirahatku, namun aku ingin ada yang bisa menjawab kalau-kalau Kyaw muncul dan menanyakan keberadaanku.

Tak sampai lima menit kami sampai di kedai kopi Network. Hanya ada satu meja kosong, itupun di dekat pintu menuju toilet. Aku mengangkat bahu ketika Stephanie minta pendapatku. Di sebelah Network ada juga kedai kopi, namun tanpa AC dan tidak tersedia akses internet.
"Aku tidak butuh online. Kamu?" Stephanie berdiri di ambang pintu, memandang meja di dekat toilet itu.
"Aku juga tidak."

Kami menuju kedai kopi di sebelah. Lebih kecil, sederhana, bergaya lokal, mirip warung-warung soto di Jogja. Bedanya di atas meja tidak ada kaleng kerupuk. Hanya ada dua orang yang duduk di situ, keduanya bule, di meja terpisah, asyik dengan laptop masing-masing. Dua belas meja lainnya kosong. Kami memilih yang paling dekat jendela. Stephanie ingin merokok.

"Kamu tidak akan lama di sini. Hanya tiga minggu. Jadi sebaiknya kamu segera tahu," perempuan bertubuh langsing itu menyulut rokoknya. Kuamati raut wajahnya. Di pinggir pipinya, di dekat telinga, ke bawah hingga ke dagunya ditumbuhi bulu-bulu lembut warna terang. Sepasang alis matanya tebal, lebih terang dibanding rambutnya yang berwarna chesnut. Ia sudah setahun berada di Myanmar namun kulitnya masih pucat.
"Soe Phyu tadi menyebut nama Labya." Ia mengangkat mata dari rokoknya.
"Labya itu nama orang?"
"Ya. Labya. Nama seorang perempuan. Kekasih Kyaw Win. Labya Roi San. Perempuan Kachin."
"Was a Kachin woman?" kuuulangi kata-katanya, dengan penekanan pada 'was'.
"Ya. Sudah meninggal."
"Oh!"
"Wajahnya mirip kamu. Sangat mirip. Hanya ia lebih kurus dan rambutnya lurus. Kalian pantas menjadi kakak-adik," ia menghisap rokoknya kuat-kuat, sampai aku kuatir seluruh batangnya akan tersedot masuk ke paru-parunya. "Tragis."
"Kenapa memangnya?"
"Labya itu mata-mata KIA. Ia menyamar, menjadi pacar seorang letnan militer Burma. Selain itu, sesekali ia ikut menyelundupkan opium ke wilayah Yunnan, mencari tambahan dana untuk biaya operasional. Membeli senjata, suplai, apa saja," Stephanie mematikan rokoknya yang masih lebih separuh. Ia lalu meraih cangkir kopi, menyeruput pelan-pelan, memandang ke luar jendela.

Langit Yangon sudah tak sejernih pagi tadi. Tampak gumpalan awan berserakan, mengambang.
"Ia perempuan pemberani dan keras. Ketika mulai pacaran, kabarnya Kyaw Win tidak tahu kalau Labya itu mata-mata. Kyaw Win jatuh hati pada perempuan itu. Ia menyukai perempuan berkarakter kuat. Ia baru tahu setelah Labya dibunuh oleh militer, ketahuan sebagai mata-mata. Ia disiksa, diperkosa beramai-ramai berhari-hari, sampai mati. Ia ditelanjangi, tubuhnya diikat di batang pohon yang dirobohkan, kambiumnya dibacok begitu rupa, setiap kali ada lelaki menindihnya kulit punggungnya tergores..."
"Cukup!" Aku merinding sampai bintil-bintil di kulitku menyerupai kulit kodok.
"Aku tahu sebulan setelah bekerja di sini. Seorang anggota KIA yang bercerita, teman baik Zau Bawk."
"Apakah banyak yang tahu?"
"Sudah tentu. Orang saling bicara tentang orang lain. Dimana-mana begitu. Tapi satu-satunya orang kantor yang tahu persis hanya Soe Phyu. Sejak itu Kyaw Win selalu sembunyi-sembunyi kalau ke Kachin."
"Dia takut?"
"Lelaki seperti dia?" Stephanie mendengus keras. "Bukan takut. Ia tidak ingin mati konyol. Ia punya misi besar dan ia tidak ingin gagal hanya karena salah perhitungan. Ia memilih menolong lewat jalan damai."
"Kasihan Labya."
"Tidak. Ia sadar kalau menjadi mata-mata berarti menyabung nyawa. Keluarganya bangga, percaya ia tidak mati sia-sia. Ia mati untuk memperjuangkan perdamaian, merebut hak kaumnya dari cengkeraman Burma. Keluarganya sekarang entah di mana. Mungkin di Thailand. Yang pasti tidak di China."
"Mengapa kamu menceritakan hal ini?"
"Karena peristiwa tadi pagi. Karena aku tidak ingin ada hal buruk terjadi padamu."
"Mengapa ada hal buruk mengancamku?"
"Mungkin tidak ada. Tapi kamu perlu waspada. Lihatlah cara Soe Phyu menyerangmu tadi."
"Apakah ada mata-mata di tubuh forum?"
"Aku tidak tahu, tapi kemungkinan selalu ada. Mungkin tidak di dalam tim pengurus inti, mungkin staf LSM anggota."
"Untuk apa? Bukannya kegiatan kalian fokus pada bantuan kemanusiaan."
"Ah! apa kamu senaif itu?"
"Mungkin saja aku naif kalau sudah sampai pada urusan politis begini."
"Kamu tahu mengapa bantuan kemanusiaan dipersulit masuk ke wilayah konflik? Banyak petinggi militer, konglomerat dan elit pemerintah yang tidak ingin kelompok etnis minoritas berdaya"
"Ya. Tentu saja. Tapi apa hubunganku dengan Soe Phyu. Mengapa ia menyerangku?"
"Ia sudah lama berteman dengan Kyaw Win. Mereka menjadi aktivis sejak masih remaja. Kyaw Win tertembak kakinya dalam tragedi 1988. Usianya saat itu baru 10 tahun." Jadi usia Kyaw sekarang 34 tahun, pikirku. Aku sudah membaca dokumen tentang pemberontakan di Myanmar yang dikenal dengan the Uprising 8888 itu. "Soe Phyu kenal baik dengan Labya. Katanya dulu dia sudah memberi tahu kalau Labya itu mata-mata KIA, namun Kyaw Win tidak peduli." Stephanie meletakkan siku kanan di atas meja, menopang dagunya. "Labya mati sangat muda. Dua tahun lalu, usianya kira-kira baru 23 tahun," Stephanie menarik nafas, "Soe Phyu sejak awal menuduh Kyaw Win memilih kamu karena kemiripanmu dengan Labya. Kalau rambutmu lurus dan diponi begini, kalian orang yang sama," dengan gerakan lima jari tangan Stephanie membuat poni di depan keningnya.

Stephanie menarik sebatang rokok dari kotaknya. Kali ini ia tidak menyulutnya, hanya mempermainkan dengan jemarinya. Tiba-tiba rasa laparku hilang.
Aku datang ke negeri ini atas keinginanku sendiri. Meskipun hanya menjadi semacam sekrup, aku ingin ikut andil dalam menggelindingkan roda keadilan dan menegakkan fondasi demokrasi di negeri yang lama dilupakan orang ini. Aku tiba-tiba merasa kecil, tidak berguna, asing, dan sendiri.
Aku jadi kangen sahabatku, Riana, akuntan di sebuah perusahaan internasional ternama di Surabaya. Sebagai sesama jomlo, kami sering menghabiskan akhir pekan bersama. Sebelum aku berangkat ke Yangon, kami pergi ke Bali, menginap dua malam di rumah sahabat kami, Tristi, yang menikahi lelaki Australia dan punya homestay di Gianyar.

Waktu itu Riana dan Tristi meledekku, mengapa aku begitu getol hendak menyelematkan dunia. Tentu saja mereka melebih-lebihkan. Aku hanya ingin bisa memberikan keahlianku pada orang-orang yang menurutku berhak menerima. Sebagai arsitek aku bisa bekerja pada konsultan atau kontraktor bangunan di Jakarta atau di kota-kota besar lain.

Mas Okto pernah mengenalkanku pada teman baiknya, orang Jerman yang punya biro arsitek di Singapura. Waktu itu ia menawariku magang di kantornya, kalau kinerjaku baik, setelah enam bulan aku akan diangkat menjadi staf. Namun aku menolak. Mungkin saja aku akan banyak uang karenanya, namun ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa diukur dengan uang, salah satunya kusebut kemanusiaan.

Aku yakin, konflik di muka bumi ini terjadi akibat dilecehkannya kemanusiaan. Orang lebih menghargai barang-barang, benda-benda. Demi memiliki segala benda yang ia ciptakan sendiri, manusia rela menyingkirkan, melukai, bahkan membunuh sesamanya; lupa bahwa barang-barang itu semestinya hanya sekedar alat bantu, bukan tujuan.

Aku pertama kali mengenal dunia LSM sehabis terjadi gempa bumi di Jogja pada Mei 2006. Saat itu aku hampir lulus sarjana. Aku menjadi relawan di sebuah LSM lokal. Selain bertugas membantu masyarakat mendirikan temporary shelter – yang sering disingkat T-shelter lalu dibakukan jadi huntara, dari hunian sementara – aku juga ditugasi membantu manajer program menyusun proposal, karena kemahiranku berbahasa Inggris dan Jerman.

Aku cepat belajar. Setelah wisuda, beberapa bulan kemudian, aku direkrut oleh sebuah LSM internasional yang punya field office di Jogja. Aku bekerja di lembaga itu sampai akhir 2009, saat program penanganan pasca-gempa yang mereka kelola berakhir. Aku dinilai pintar menyusun proposal – kata atasanku proposalku sangat realistis dan mudah dipahami serta diterapkan oleh masyarakat awam. Aku lalu direkrut oleh lembaga donor. Tugasku mengevaluasi dan menyelia semua proposal yang diajukan oleh para mitra. Aku pernah ditugaskan di Manila, Thailand dan India.
"Bree? Are you still with me?" Suara Stephanie sayup-sayup membangunkanku dari lamunan.
"Kita sebaiknya kembali ke kantor. Sore ini juga aku harus menyelesaikan bagian proposal yang tadi kita sepakati," kataku.
"Kita tidak jadi makan."
"Aku tidak lapar," kuhabiskan minumanku.
"Biar aku yang bayar."
"Hey! Aku akan bayar sendiri. Aku juga akan membeli roti itu. Sepertinya enak," mataku meneliti etalase kecil di samping meja kasir.
"Aku juga mau satu."
"Mungkin sebaiknya aku beli dua."
"Kamu sudah menerima uang saku?" Stephanie melihat dompetku.
"Belum. Tapi aku punya cukup uang. Tidak apa-apa. Aku kaya." Aku tertawa. Mas Okto memberiku 20 lembar Uncle Ben, begitu caranya menyebut uang pecahan seratus dolar.
"Soal dana kegiatanmu itu?"
"Jangan khawatir. Aku hanya akan menerima uang saku. Biar saja dana itu dikelola forum. Soe Phyu benar, meskipun dia kasar. Aku tidak begitu paham tata cara di sini, kalau forum yang mengatur, pasti lebih tepat sasaran."

Stephanie menatapku penuh rasa terima kasih. Aku merasa tidak berhak menerima tatapan semacam itu. Aku datang ke Yangon bukan untuk uang. Aku yakin Stephanie juga bukan orang yang mementingkan uang. Kalau itu yang kami cari, kami jelas telah salah memilih cara dan lembaga.


Anda sedang membaca artikel tentang

Lelaki Berlongyi Biru - 8

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2012/12/lelaki-berlongyi-biru-8.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Lelaki Berlongyi Biru - 8

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Lelaki Berlongyi Biru - 8

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger