Tomik Subagio, 80 Tahun Masih Giat Membantu Sesama WNI

Written By Unknown on Rabu, 13 Maret 2013 | 12.40

KOMPAS.com — Dari penuturannya yang runtut dalam bahasa Indonesia, barangkali banyak orang tidak menyangka dia sudah tinggal di Australia selama lebih dari 50 tahun. Dari penampilan dan kesegaran wajahnya, tidak kentara usianya akan mencapai 80 tahun pada 7 Mei 2013. Itulah Tomik Subagio yang ditemui Kompas di kantornya di kawasan elite Adelaide, Unley Park, beberapa waktu lalu.

Pekerjaannya sebagai penerjemah, baik tulisan maupun lisan, membuatnya harus runtut ketika berbicara dalam satu bahasa, entah itu bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia, tidak mencampuradukkannya seperti banyak orang yang merasa memahami kedua bahasa tersebut.

Menekuni profesi penerjemah sejak 1990, Subagio banyak mengetahui "rahasia" warga Indonesia di Adelaide dan juga warga di tempat lain.

Sampai saat ini, Subagio masih menjadi satu-satunya penerjemah lisan berlisensi untuk bahasa Indonesia-Inggris di Adelaide. Oleh karena itu, dia banyak menerima order untuk menerjemahkan dokumen-dokumen penting, seperti surat kenal lahir, KTP, dan paspor bagi WNI yang harus melengkapi dokumen mereka untuk urusan izin tinggal.

Subagio juga sering menjadi  penerjemah di pengadilan ataupun di rumah sakit secara lisan. "Menjadi penerjemah dalam kasus-kasus keluarga adalah pekerjaan paling berat bagi saya. Bukan karena apa yang harus diterjemahkan, melainkan karena isinya. Kasus, misalnya pembagian harta, atau masa perwalian anak, saya kadang ikut menangis mendengarkan pertengkaran mereka," ungkap ayah dari dua anak tersebut menceritakan suka dukanya selama lebih dari 30 tahun menjadi  penerjemah.

Setiap bulan, Subie, panggilan Subagio, rata-rata menerjemahkan sekitar 20-30 dokumen. Jadi, dalam 30 tahun, paling sedikit 15.000 dokumen sudah lewat di tangannya untuk diterjemahkan.

Sebagai salah satu warga Indonesia paling senior di Adelaide, tidak heran, Subagio kadang menjadi rujukan bagi warga Indonesia. Banyak hubungan yang semula dimulai dari hubungan bisnis kemudian menjadi hubungan pribadi dengan Subagio harus memberikan bantuan keuangan dan bantuan lainnya.

"Kadang saya harus membantu mereka yang mengalami kesulitan keuangan. Tahun ini saja, saya membantu tiga keluarga dengan meminjamkan mereka uang senilai Rp 400 juta. Saya tentu masih berharap uang tersebut kembali, tetapi kalau tidak, ya, apa boleh buat," tuturnya sambil menunjukkan dokumen berisi penghitungan utang tersebut.

Ada juga WNI yang dibantunya untuk melanjutkan pendidikan, dengan biaya yang dikeluarkan dari kantong sendiri. Tahun lalu, seorang warga asal Riau mengalami kecelakaan ketika hendak menuju ke tempat kerja sebagai pemetik buah. Wanita tersebut mengalami luka serius di bagian otak. "Saya membantunya selama di rumah sakit dan juga kemudian di pusat rehabilitasi. Dia sempat kehilangan ingatan dan kemampuan berbahasa Inggris," kata Subagio.

Sekarang, warga tersebut sedang dalam taraf penyembuan di Sydney, tinggal bersama sanak keluarga, dan Subagio masih membantu uang saku 50 dollar untuk perempuan muda tersebut.

Sering kali dia juga membantu menerjemahkan dokumen-dokumen berkenaan dengan perceraian, tanpa bayaran hanya untuk membantu WNI yang sedang menjalani proses tersebut.

Menurut Subagio, semua ini bisa terjadi karena istrinya, Janet, seorang wanita asli Australia, sangat mengerti dan berjiwa sosial, memahami perlunya usaha membantu sesama yang mengalami kesulitan.

Bersahabat dengan possum

Dilahirkan di Solo, orangtuanya memberi nama Subagio Nitipustoko, tetapi belakangan dia menambah namanya menjadi Tomik, dan juga menggunakan nama samaran Possum. "Nama Tomik bermula dari tokoh film koboi dari masa kecil, nama bintang filmnya Tom Mix , tetapi supaya lebih mudah dilafalkan, saya pakai Tomik," kata Subagio.

Nama Possum berasal dari binatang sejenis tikus yang merupakan binatang khas Australia, semacam tupai. "Selama beberapa tahun, ada seekor possum yang selalu mendatangi kantor saya. Kami bersahabat," katanya sambil menunjukkan beberapa  gambar possum yang diambilnya.

Subagio datang ke Adelaide tahun 1955 sebagai mahasiswa di Universitas Adelaide. Sempat pulang ke Indonesia setelah selesai menjalani pendidikan menjadi insinyur teknik mesin tahun 1962. "Saya sebenarnya tidak berencana untuk tinggal dan hidup di Australia. Saya ke sini karena setelah menikah, saya memilih tinggal bersama istri," katanya.

Sebelum memutuskan tinggal di Australia, Subagio sempat bekerja selama lima tahun di Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan di Jakarta. Ketika di sana, Subagio muda menghadapi dilema ibunya kala itu mengidap kanker mulut rahim. Di satu hari, Subagio mendapatkan pengalaman mistis. Dia merasa diberi tahu agar nasib ibunya diserahkan kepada Yang Maha Kuasa.

Oleh karena itu, Subagio kemudian memutuskan menetap di Adelaide dengan istrinya, Janet Rosemary Melville, dan mereka kemudian dikarunia dua anak, Bimo Subagio dan Ria Djuwita.

Sebagai insinyur mesin, Subagio kemudian bekerja di Departemen Teknik dan Pasok Air (Department of Engineering and Water Supply) sampai pensiun tahun  1992. Keahliannya sebagai insinyur mesin masih ditekuninya setelah pensiun, dan menurut dia, sebenarnya berpotensi menjadikannya  jutawan, tetapi materi bukanlah tujuan utama hidupnya.

Ketika bekerja, Subagio menciptakan sebuah katup kupu-kupu (butterfly valve) untuk mengatur aliran air. Paten tersebut adalah atas nama Subagio, tetapi kepemilikannya diserahkan kepada departemen tempatnya bekerja. Hak paten itu, menurut dia, sampai sekarang sudah bernilai ratusan ribu dollar.

Dan setelah pensiun, Subagio mengatakan kesibukannya membantu orang-orang yang membutuhkan jasanya sebagai penerjemah menjadi salah satu faktor yang membuatnya "awet muda".

Hidup sehat

Sampai sekarang, untuk urusan transportasi, Subagio menggunakan sepeda. Kebiasaan bersepeda sudah dimulainya hampir 40 tahun lalu. Kota Adelaide yang tidak terlalu besar memungkinkan perjalanannya dengan sepeda dilakukan dengan gampang.

Hal lain dalam menjaga kesehatannya agar tetap prima adalah kebiasaannya untuk tidak menyantap daging yang terlalu banyak. "Saya bukan vegetarian, tetapi saya sedikit sekali makan daging. Kalau bisa juga menghindari lemak dan gula dan banyak menyantap sayur dan buah-buahan," katanya mengenai menu sehari-hari yang disantapnya.

"Saya juga sekarang sudah tidur jam 6 sore dan bangun jam 6 pagi, terus ke kantor menjermahkan kalau ada order atau ke pengadilan, ke rumah sakit atau ke kantor penerjemah di kota," tuturnya.

Walau sudah lama menetap di Australia, Tomik Subagio masih tetap memegang paspor Indonesia. "Tidak pernah satu saat pun saya berpikir atau berniat melepaskan kewarganegaraan Indonesia. Indonesia tetap akan menjadi negeri saya," katanya.

Di tahun-tahun belakangan, memegang paspor Indonesia bukanlah hal yang mengenakkan bagi perjalanan internasional. "Memperpanjang paspor Indonesia beberapa tahun sekali bukanlah hal yang merepotkan buat saya," ujarnya.

Mengapa tidak pernah berpikir untuk menjadi warga Australia? "Rasa nasionalisme saya besar. Saya bisa ke Australia karena Indonesia merdeka dan itu berkat jasa-jasa pahlawan dulu, orang seperti Bung Karno dan lain-lain."

Sekarang di usianya yang senja, Subagio mengatakan bila meninggal nanti, dia akan dikuburkan di Australia saja. "Saya orangnya praktis. Saya tidak mau menyusahkan banyak orang. Saya ingin dikubur di sini saja."


Anda sedang membaca artikel tentang

Tomik Subagio, 80 Tahun Masih Giat Membantu Sesama WNI

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/03/tomik-subagio-80-tahun-masih-giat.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Tomik Subagio, 80 Tahun Masih Giat Membantu Sesama WNI

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Tomik Subagio, 80 Tahun Masih Giat Membantu Sesama WNI

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger