Lelaki Berlongyi Biru - 29 Tamat

Written By Unknown on Minggu, 03 Februari 2013 | 12.40

Cerber Endah Raharjo

Bagian 20

Fred ikut Soe Phyu dan Stephanie mengantarku ke bandara. Ia berjanji akan mampir ke Jogja bila pulang ke Australia nanti. Kubilang sekarang ada low-cost carrier dari Yangon ke Jogja lewat Kuala Lumpur; terbang setiap hari. Ia memelukku lama sekali seakan aku telah menjadi sahabatnya sepanjang hidupnya.

"Big girl don't cry…." Fred menepuk pelan pipi kiriku, menatap mataku yang digenangi air.
Dari sejak check-in hingga mendarat di bandara Swarnabhumi aku merasa sedang mimpi. Apa yang kulakukan dan kukatakan dalam perjalanan udara tak sampai 1 jam itu nyaris tak kusadari. Yang bisa kuingat hanya keputusanku untuk menikmati rasa nyeri sendirian, tanpa melibatkan keluargaku, terutama tiga kakakku.

Aku bohong pada mereka. Kukatakan kalau tugasku di Yangon sudah selesai dan sisa waktu harus kujalani di Bangkok. Tidak sepenuhnya bohong memang, aku hanya tidak menceritakan masalah yang sebenarnya.

Aku memilih hotel berbeda dari yang ditempati Ma Cho dan timnya. Aku tidak ingin salah ucap atau melakukan kekeliruan yang tidak perlu di depan mereka. Aku ingin merasa lebih aman, jadi kupilih hotel bintang lima. Uang dari Mas Okto masih utuh. Di Bangkok aku juga bisa memakai kartu kredit dan ATM.

Begitu masuk ke kamar hotel, tanpa berganti baju dulu, tanpa peduli waktu aku langsung bekerja menyelesaikan laporanku. Saat jemariku mulai terasa kaku baru aku berhenti. Kulihat jendela, langit sudah lama gelap, kota dan deretan pencakar langit bermandi cahaya lampu. Sudah pukul 9 dan aku belum makan sejak sarapan, lebih 12 jam lalu.

Dalam situasi seperti ini aku bersyukur. Umumnya orang memilih bengong termangu-mangu bila sedang gundah. Aku justru menjelma energizer bunny, melompat-lompat tanpa henti. Sambil menunggu layanan kamar diantar, kuurut jemariku dengan minyak zaitun. Sehabis makan aku ingin bekerja lagi, sampai jatuh tertidur.

Hari berikutnya, aku baru keluar kamar sekitar pukul 4 sore. Pekerjaanku tuntas sempurna. Semua formulir sudah pula kuisi dan kutandatangani. Selama berjam-jam di kamar itu aku tidak mendengar apapun kecuali ketukan jariku pada keyboard dan sesekali guyuran air shower dan toilet di kamar sebelah, serta samar-samar suara orang bercakap-cakap atau pelayan kamar bekerja di lorong.
Baru kusadari kamarku berada di lantai 12 saat mau turun ke lobi. Aku hendak mencetak dokumen di business center. Sementara laporanku dijilid, kukirim surel ke Stephanie dan Soe Phyu, melampirkan soft copy dokumen yang sudah kuformat PDF.

Kubayar kurir khusus untuk menyerahkan dokumen pada Ma Cho. Mengingat namanya aku tersenyum sendiri, perempuan itu bertubuh mungil seperti gadis SMP.
Berikutnya kuminta petugas hotel menjadwal-ulang penerbanganku ke Jogja. Aku ingin pulang dengan pesawat paling pagi.

"Saya ingin upgrade ke business class," pesanku. Uang Mas Okto bisa menambal luka hatiku; meskipun hanya untuk sementara waktu.

**

Hanya selang sehari sejak tiba di rumah, kulayangkan tiga lamaran pekerjaan ke tiga LSM yang memerlukan staf jangka pendek untuk wilayah-wilayah di luar Jawa: Makassar, Palangkaraya, dan Pidie. Aku berharap bisa bekerja di Pidie, namun aku tidak diterima. Entah apa alasannya. Yang pasti mereka hanya mengirimiku surel, mengatakan kalau aku belum bisa bergabung dan berharap ada kesempatan lain. Basa-basi.

Pekerjaan di Makassar berhasil kudapatkan. Aku girang. Selama enam bulan ke depan aku akan sibuk. Berharap tak punya waktu memikirkan lelaki berlongyi biru dengan tiga luka tembak di tubuhnya itu.

Sungguh baru kali ini kurasakan patah hati. Perih. Ngilu. Suwung. Dan entah apa lagi. Namun aku merasa menjadi dewasa dan lebih mandiri secara emosi. Kepedihanku tidak kuceritakan pada siapapun. Kutelan sendiri. Sesekali aku menangis menjelang tidur. Bila ingat Kyaw, kapan saja, mataku mbrebes mili.

Aku mulai bekerja awal Juli. Bekerja di luar Jawa bagiku tak berat. Apalagi di Makassar. Ada enam maskapai penerbangan yang melayani rute Jogja-Makassar setiap hari.

Sebelum berangkat ke Makassar aku sempat Skype sekali dengan Fred dan dua kali dengan Stephanie. Kata Stephanie seminggu selepas aku pergi ada tiga anggota militer datang ke kantor forum, menanyakan beberapa hal tentang Kyaw, termasuk keberadaan Indonesian agent. Aku terkekeh panjang. Membayangkan diriku jadi Ziva David, salah satu tokoh sexy dalam serial NCIS itu. Paling tidak rambutku mirip rambutnya.

Dalam kondisi patah hati aku ternyata cenderung menertawai diri, bukan bersedih atau meratap. Betapa rumpilnya perasaanku ini. Saat ada banyak lelaki untuk dipilih, tak satupun kuminati. Saat aku berada di tempat yang tak kukenal, di sana kutemukan sesuatu yang kuyakini sebagai cinta pada diri lelaki yang hanya bersamaku selama tiga hari.

Bila rinduku pada Kyaw memuncak, akan kukenakan longyi, sekedar meredakan gejolak hati. Setiap bangun pagi aku tak pernah lowong berdoa agar mendapat kesempatan bertemu kembali dengannya. Begitu pula bila malam turun, menjelang mataku terpejam, doa untuknya tak lupa kupanjatkan.

**

Sebulan di Makassar hubunganku dengan teman-teman di Yangon, terutama Stephanie dan Fred, sebatas saling bertukar surel, seminggu sekali, atau bila ada hal penting untuk dikabarkan. Akan halnya Soe Phyu, dia dua kali mengirim surel dan sekali menelpon, memberi tahu kalau The White Dove puas atas hasil kerja kami dan segala sesuatu berkaitan grand proposal berjalan baik. Dua dari kegiatan mereka sudah didukung sebuah lembaga donor Eropa. Kini ia mengkoordinir forum. Ia sama sekali tidak menyebut Kyaw.

Fred batal menemuiku di Makassar, seperti rencananya, ada hal penting harus segera ia kerjakan di Afrika. Sebelum libur Natal dia akan menemuiku, entah di Jogja atau di Makassar atau di manapun aku berada. Itu janjinya.

Stephanie pernah bertemu Kyaw dua kali. Di Mandalay dan di Naypyidaw. Namun mereka tidak sempat berbincang santai. Aku tidak bertanya tentang Kyaw lebih lanjut. Aku tahu dia tidak mengikuti sepak terjangnya, apalagi setelah ia tidak lagi mengkoordinir forum.

Aku bertemu beberapa lelaki Bugis yang menarik, sayangnya aku tidak tertarik. Merekapun belum tentu tertarik padaku. Tapi siapa tahu? Paling tidak – yang bisa kurasakan – ada satu yang sering kedapatan menatapku, dan sering mencari cara agar bisa makan siang bersamaku. Namun Kyaw masih betah menghuni hatiku.

Seminggu selepas libur Lebaran. Seperti biasa, menjelang Isya Mama meneleponku. Selain cerita ini-itu, katanya ada paket untukku.
"Dari siapa?" tanyaku.
"Ini dikirim pakai kurir," jawabnya, menyebut sebuah layanan kurir.
"Iya. Dari siapa?"
"Sebentar. Ini… Kyaw Win Hlaing… waaah namanya susah dibaca."
Darahku menderas ke kepala, membuat wajahku panas dan pasti memerah. Aku sesaat tak bisa bicara.
"Dikirim dari Bangkok. Kayaknya nama kantor. Center for Conflict Analysis and Prevention…." 
Kata-kata Mama selanjutnya tak lagi kuperhatikan. Aku melonjak-lonjak seperti monyet keruntuhan setandan pisang dan sekarung kacang.
"Febie?"
"Ma, tolong paketnya besok pagi langsung dikirim ke sini, ya. Ke alamat kantor. Tolong, ya. Pakai kurir, lho. Jangan pos biasa. Pokoknya yang paling cepet dan paling aman. Berapapun taripnya. Ya?"
"Walaaah… Iya… Iya…"
Kubayangkan Mama menggeleng-gelengkan kepala mungilnya sambil mendecakkan lidahnya.

**

Aku merasa sangat gerah dalam rapat sore ini. Tak sabar ingin segera pulang ke tempat kos. Paket dari Kyaw tiba pukul 3, sudah kusimpan di dalam ranselku. Rasanya ingin berbohong pada boss: mau ke dokter, sakit perut, ada keluarga datang dari Jogja, atau semacamnya. Namun pikiran curang itu berhasil kutaklukkan.

Tepat pukul 6 sore rapat selesai. Segesit tupai aku berkelit keluar. Panggilan Viona, si bendahara, yang memintaku mengambil uang transpot minggu lalu tidak kuhiraukan. Untung aku masih cukup sabar di jalanan, tidak jelalatan memacu sepeda motor kantor.

Sesampai di kamarku, kulempar ranselku, lupa kalau di dalamnya ada kamera digital SLR yang baru kubeli bulan lalu. Aku tak bisa berpikir apapun selain melihat isi paket itu.

Sembari membuka bungkusan napasku berdesakan keluar mulutku. Aku jadi terengah-engah.
"Longyi!" jeritku. Sebuah amplop terjatuh begitu longyi itu kugelar di atas tempat tidur.  Dadaku berdebar sedemikian keras rasa-rasanya tali bra-ku akan lepas. Kujumput amplop itu. Hati-hati kuletakkan di atas bantal.
"Sutera," bisikku, mengelus longyi warna biru safir berhias sulaman benang perak bercorak hati terserak di sana-sini, makin ke bawah bentuk hatinya makin besar. Longyi itu sudah bertali di kedua ujungnya, tinggal dililitkan saja. Hatiku mekar. Kubuka amplopnya, berisi surat. Ditulis tangan di atas kertas HVS biasa.

Dear Bree,

Tidak mudah memilih warna dan merancang corak yang mungkin kamu suka. Longyi ini ditenun oleh seorang teman, khusus untukmu. Perlu waktu sebulan untuk menyelesaikannya. Semoga kamu senang.

Aku bekerja di Bangkok sejak seminggu lalu. Aku akan berada di Bali bulan Oktober ini, menghadiri lokakarya selama 3 hari. Mungkin kita bisa bertemu di sana, kalau kamu ada waktu. Sementara itu, mulai detik ini, setelah selesai membaca surat pendek ini, kamu bisa menelponku. Ini nomerku: +66 850 875 094.

Salam,
KWH – 4 Sept 2012

Mekar hatiku makin merona. Aku menari-nari, kesurupan asmara, keteguran cinta.

Ketika kutulis kisah ini – awal Desember 2012 – aku sudah bertemu Kyaw tiga kali: di Bangkok, di Bali, dan di Jakarta. Secara teknis aku masih perawan, namun paling tidak aku sudah dicium berkali-kali oleh lelaki yang kucintai, yang masih saja memakai longyi meskipun tidak berada di negerinya sendiri. Saat-saat romantis yang bertahun-tahun kutunggu itu juga sudah kualami.
Kyaw bekerja di Bangkok hanya 8 bulan. Ia akan kembali ke Myanmar April atau Mei 2013. Dalam pertemuan pertama kami, kutanyakan hubungannya dengan KIA.

"Aku memihak pada apapun dan siapapun yang kupercaya benar. Aku memegang janjiku untuk meneruskan hubungan kita karena aku percaya yang kita miliki ini benar, meskipun awalnya buruk. Saat ini kita berdua di sini, berpegangan tangan, karena kita saling mencintai. Mungkin ada orang yang melihat hubungan kita ini salah. Bila mereka itu menanyakan hubungan kita padamu, kira-kira apa jawabanmu?"
"Entahlah. Mungkin berbohong. Mungkin menjelaskan. Mungkin kuabaikan. Tergantung siapa yang bertanya."
"Bila mereka memintamu meninggalkan aku, kira-kira apa tindakanmu?"
"Aku akan mempertahankanmu karena aku mencintaimu. Bila orang itu penting buatku, aku akan berusaha mencari cara agar mereka bisa menerimamu."
"Kalau aku percaya yang dilakukan KIA itu benar, berjuang untuk masyarakat Kachin yang menginginkan kedaulatan atas tanahnya, tapi kamu melihatnya salah, apakah kamu akan memintaku meninggalkan mereka?"

Aku diam. Berpikir. Aku paham maksudnya. Aku percaya yang ia lakukan benar. Jawabanku berupa pelukan erat. Sejak itu aku tak bertanya-tanya lagi.

Fred akan mengunjungiku di Jogja seminggu sebelum Natal. Tak lama lagi. Mama sudah membersihkan kamar tidur tamu yang lebih sering kosong. Katanya gordennya juga sudah diganti. Stephanie kembali ke Inggris akhir November, dua minggu lebih cepat dari rencana. Ia memutuskan istirahat dulu sebelum mencari pekerjaan lagi. Ia tinggal di rumah milik keluarganya, di Bristol.
Koleksi longyiku bertambah, dari beberapa lembar hingga hampir memenuhi separuh lemari. Kini yang jadi prioritasku hanya satu: mencari cara mempertemukan Kyaw dengan keluargaku.

~ t a m a t ~


Anda sedang membaca artikel tentang

Lelaki Berlongyi Biru - 29 Tamat

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/02/lelaki-berlongyi-biru-29-tamat.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Lelaki Berlongyi Biru - 29 Tamat

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Lelaki Berlongyi Biru - 29 Tamat

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger