Sejarah dan Mitos

Written By Unknown on Senin, 07 Januari 2013 | 12.40

• Judul: Bukan 350 Tahun Dijajah 
• Penulis: GJ Resink 
• Penerbit: Komunitas Bambu 
• Cetakan: I, 2012 
• Tebal: xxxiv + 366 halaman 
• ISBN: 978-602-9402-06-3 

Ketika Cornelis de Houtman pertama kali mendarat di Banten tahun 1596 dan VOC tahun 1610 menjadikan Ambon sebagai kantor gubernur jenderalnya, maka sejak itu "penjajahan" Belanda dihitung. Hingga 1942, dengan "sedikit" pembulatan, dikatakan penjajahan Belanda atas Indonesia telah berlangsung 350 tahun. Diabaikan dalam narasi besar penjajahan dan perjuangan melawannya adalah bahwa Indonesia bukan hanya Banten dan Ambon, bahwa banyak kekuatan politik lain, baik besar maupun kecil, tak pernah takluk atau bahkan tak pernah berurusan dengan VOC ataupun pemerintah kolonial hingga awal abad ke-20. Dilupakan bahwa penandatanganan perjanjian antara penguasa pribumi dan VOC ataupun dengan Kerajaan Belanda belum tentu sama dengan penyerahan kedaulatan.

Karya-karya GJ Resink yang dikumpulkan dalam buku berjudul Indonesia's History Between the Myths dan kini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berusaha menjalin detail-detail penting untuk argumen yang besar. Tidak banyak karya tentang Indonesia seperti karya Resink yang mengalami beberapa kali reinkarnasi dan dalam aneka perwujudannya memiliki dampak penting tersendiri yang berbeda-beda dalam masa yang berbeda pula.

Tulisan Resink terbit pertama kali dalam berbagai jurnal berbahasa Belanda di antara tahun 1950-1960, di masa hiruk-pikuk proses dekolonisasi. Suasana batin dekolonisasi—juga dekolonisasi penulisan sejarah yang juga Resink lakukan—menjadi konteks penulisan karyanya. Pada penerbitan pertama, tulisannya segera menimbulkan reaksi yang beragam dari kalangan sarjana Belanda. Terjemahannya mendapat reaksi yang umumnya positif dari kalangan pembaca bahasa Inggris dan argumen utamanya cepat memperoleh popularitas dan dukungan.

Penjajahan 40 tahun

Argumen utama Resink adalah bahwa banyak penguasa pribumi di Nusantara tetap mempertahankan kedaulatannya. Kedaulatan mereka ini diakui oleh pelaut, pedagang, dan kemudian pemerintah kolonial Belanda. Kedaulatan mereka sebagai prakondisi sahnya perjanjian yang mereka tanda tangani dengan Kerajaan Belanda. Dengan kata lain, tanpa adanya anggapan atas diterimanya kedaulatan mereka, seluruh perjanjian mereka dengan Kerajaan Belanda tidak akan dapat diterima dalam hukum internasional oleh kekuatan-kekuatan Eropa lainnya (dan Amerika) yang selama abad ke-19 berlomba untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Hubungan antara penguasa lokal dan pemerintah Kerajaan Belanda baru berubah akibat dari serangkaian perang imperialisme yang dikobarkan pemerintah kolonial untuk menaklukkan para penguasa lokal pada awal abad ke-20 sejalan dengan berdirinya negara kolonial modern di Hindia. Mengikuti alur pikiran ini, maka banyak masyarakat di Hindia hingga runtuhnya pemerintah kolonial pada tahun 1942 "hanya" dijajah selama kurang dari 40 tahun.

Akan tetapi, mitos tak gampang mati. Hingga kini angka "350 tahun" sebagai kata kunci (atau, tepatnya angka kunci) mudah digunakan dalam suasana pasca-Orde Baru yang penuh slogan lama dan baru yang serba gaduh asal kedengaran populis dan patriotis. Bahkan dalam beberapa situs web lembaga negara, angka tersebut masih tetap terpancang. Penerjemahan buku ini dengan judul barunya yang catchy diharapkan dapat menawarkan preposisi yang berbeda.

Namun, bagi sejarawan saat ini perdebatannya dapat lebih jauh lagi.

Jika argumen utama Resink mengenai kedaulatan penguasa pribumi diikuti, maka pertanyaannya adalah seperti apakah bentuk tubuh politik "teritorial" negara kolonial? Apa dampak perang imperialisme yang secara sistematis dilancarkan utamanya di Hindia bagian timur terhadap bentuk negara kolonial ini? Salah satu perdebatan di awal kemerdekaan adalah sejauh mana tubuh politik republik muda kita merupakan warisan tubuh politik negara kolonial? Apakah kita sekadar mengganti nama dan membalik citra? Ditambahkan dan kemudian "lepasnya" Timor Leste dari tubuh politik Republik Indonesia seolah menjadi pengingat bahwa tubuh politik ini berubah-ubah dan tidak tetap batas-batasnya sejalan dengan pergerakan zaman. Bagaimana pula kita melihat laut-laut yang mengitari aneka pulau? Apakah laut-laut tersebut adalah juga bagian dari wilayah teritori Hindia (dan kemudian Indonesia)?

Deklarasi Juanda pada tahun 1957 seakan memotong perdebatan ini ketika kemudian Republik Indonesia menyatakan kedaulatannya atas laut. Tidak mengherankan bahwa argumen utama Resink yang berakibat ditolaknya mitos "350 tahun" menjadi sumbangannya yang paling penting dan paling mudah diingat. Namun, sumbangannya bukan sekadar mematahkan satu mitos dan mengganti angka 350 dengan angka yang lain. Argumennya tentang keberdaulatan satuan-satuan politik di Hindia menjadi bahan dalam perdebatan ilmu hukum dan ilmu hukum internasional.

Perspektif regiosentris

Bagi ilmu sejarah, sumbangan Resink dalam ikut meletakkan dasar-dasar penulisan sejarah yang tidak lagi belandasentris sungguh sangat penting meski sering diabaikan di balik penulis dan sejarawan lainnya seperti JC van Leur dan John Smail. Sekurangnya 5 bab dalam bukunya Resink menyarikan perkembangan pemikiran dan perspektif kajian Indonesia dari belandasentris hingga indonesiasentris melalui apa yang disebutnya regiosentris. Apabila kini perspektif belandasentris adalah perspektif yang sudah dengan sangat puitis dirangkum oleh Van Leur sebagai perspektif "dari atas geladak kapal" (dalam hal ini kapal VOC tentu saja) dalam melihat sejarah dan aneka masyarakat di Hindia, maka perspektif regiosentris dan indonesiasentris tidak terlalu mudah dipahami. Perspektif regiosentris, menurut Resink, muncul dari fokus dan kedekatan para peneliti (yang kebanyakan adalah orang Belanda atau juga orang Hindia yang, menggunakan istilah Resink, "berdarah setengah asing") terhadap kajian bahasa, arkeologi, dan masyarakat "lokal" di Hindia—satu perspektif yang kini dalam dunia akademis di Indonesia sering disebut kajian lokal.

Di antara belandasentris dan regiosentris muncul indonesiasentris yang utamanya, menurut dia, sebuah usaha Politis (dengan P besar) yang muncul dari keinginan orang-orang seperti Muhammad Yamin dan Sutan Takdir Alisjahbana untuk membayangkan satu komunitas merdeka yang disebut Indonesia. Tidak mengherankan karenanya bahwa para penulis Indonesia ini mengaitkan kajian bahasa dengan politik bahasa: menyeberangi dari bahasa-bahasa (dan tentu saja tradisi, dan sejarah) "lokal" kepada bahasa Indonesia yang satu. *

Dias Pradadimara Pengajar Jurusan Sejarah Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan • Judul: JB Sumarlin: Cabe Rawit yang Lahir di Sawah • Penulis: Bondan Winarno • Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2012 • Tebal: xiii + 346 halaman • ISBN: 978-979-709-681-6

Dua kata kunci ditemukan pada judul biografi Sumarlin ini. Cabe rawit dan lahir di sawah. Frasa terakhir bukanlah kiasan. Sumarlin memang dilahirkan ketika sang bunda, Karmilah, sedang bekerja di sawah. Ia dinamai Katoebin, yang secara harfiah berarti 'lahir di sawah pada hari Minggu'. Tepatnya 7 Desember 1932. Namanya berganti menjadi Sumarlin karena nama pertama dianggap berat dan membuatnya sakit-sakitan.

Nama itu pemberian kakeknya, Kakek Toedjo, yang selalu mengajari nilai keutamaan hidup dan menasihatinya supaya jangan manja dan jangan malas. Sumarlin mengenang wejangan Kakek Toedjo pada suatu malam yang mengubah seluruh perjalanan hidup dan kariernya. Berdisiplin tinggi, tekun, berkepribadian kuat, dan berani melakukan terobosan menjadi pertimbangan majalah Euromoney memilihnya sebagai Menteri Keuangan Tahun 1989. Pengakuan yang dicapai Sumarlin setahun setelah menjabat Menteri Keuangan, selepas dari posisi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas 1983-1988.

Predikat "cabe rawit" mewakili Sumarlin yang berperawakan kecil, berparas lembut, dan berbicara santun, namun "pedasnya minta ampun". Caranya membereskan krisis di Krakatau Steel dan Pertamina secara obyektif dan tegas mendasari penugasannya sebagai Koordinator Operasi Tertib (Opstib) Pusat. Berduet dengan Sudomo, Ketua Opstib Pusat, Sumarlin menjalankan fungsi menyerupai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyalahgunaan, penyelundupan, penyuapan ditangani dengan cepat dan tidak pandang bulu. Hakim, bupati, kepala cabang bank pemerintah adalah sebagian pejabat terkena jerat hukum akibat pasal pelanggaran itu.

Tiga teladan bisa dipetik dari pengabdian Sumarlin selama tiga dasawarsa. Pertama, sikap dan perilaku pemimpin dan elite yang beradab. Kedua, profesionalisme, kemampuan birokrasi merealisasikan program pemerintah. Ketiga, partisipasi dan tanggapan positif masyarakat. Peran serta dan kemampuan masyarakat perlu diberdayakan untuk mencapai tujuan bersama. (THA/Litbang Kompas)

 ***

• Judul: Last Call at the Oasis: the Global Water Crisis and Where We Go from Here 
• Penyunting: Karl Weber 
• Penerbit: PublicAffairs, 2012 
• Tebal: xiii + 248 halaman 
• ISBN: 978-1-58648-978-6

Segala sesuatu tentang air berubah. Polusi, pemanasan global, dan pertumbuhan populasi menempatkan persoalan krisis air menjadi isu global yang menyita perhatian. Ketersediaan air yang terbatas membuat manusia mulai berpikir soal pasokan air, penggunaan air, dan pengelolaan air.

Menyikapi krisis ini, negara-negara di dunia mulai menyusun peraturan untuk menjamin ketersediaan air bagi ekosistem alami dan kalangan miskin. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan aturan perolehan air sebagai hak untuk setiap manusia. Berbagai upaya pun dilakukan untuk mengatasi persoalan kecukupan air.

Untuk negara kaya, teknologi baru mulai diterapkan di sektor industri. Salah satunya adalah penggunaan sedikit air dalam proses produksi barang dan jasa. Upaya lain yang dilakukan mereka adalah meningkatkan standar air bersih lebih tinggi lagi dan juga membiarkan air sungai menjadi lebih banyak sebagai ekosistem alami.

Sementara di belahan dunia lain, negara miskin melakukan berbagai upaya baru untuk memberikan layanan air bersih dan sanitasi yang jauh lebih baik. Dengan cara ini diharapkan anak-anak perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah daripada bekerja mengumpulkan air. Selain itu, juga untuk memastikan bahwa air memang digunakan untuk tujuan ekonomi yang produktif.

Buku ini ditulis berdasarkan film dokumenter Last Call at the Oasis yang disutradarai oleh Jessica Yu. Di sini dipelajari tentang psikologi penggunaan air, termasuk penyalahgunaannya. Dijelaskan pula bagaimana sebaiknya membangun sistem pengorganisasian dan pendistribusian air yang merata. (TSD/Litbang Kompas)


Anda sedang membaca artikel tentang

Sejarah dan Mitos

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/01/sejarah-dan-mitos.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Sejarah dan Mitos

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Sejarah dan Mitos

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger