Lelaki Berlongyi Biru - 22

Written By Unknown on Sabtu, 19 Januari 2013 | 12.40

Cerber Endah Raharjo

Bagian 15

Ray benar-benar menjagaku dari kerumunan orang. Bob berdiri manis di sebelahnya, sesekali menggamit lengannya.

"NLD mengingatkan pendukungnya untuk hati-hati terhadap perkembangan pariwisata. Tidak selalu baik, apalagi bila masyarakat hanya menjadi obyek, hanya menjadi penari di pusat-pusat pertunjukan atau penjaja suvenir di jalanan. Mereka mengecam keras terhadap pengusiran atau perebutan lahan milik masyarakat agar para pemilik modal bisa mendirikan hotel dan berbagai fasilitas untuk wisatawan. Biasanya wisatawan tidak tahu hal ini, mereka hanya mau semuanya serba nyaman, karena sudah membayar."

Aku sepenuhnya setuju dengan ucapan Ray. Apa yang dia katakan itu terjadi hampir di semua negara-negara miskin dan berkembang, di Asia, Afrika dan Amerika Selatan; tentunya juga di Indonesia. Yang lebih buruk, di Myanmar banyak pekerja digaji sangat rendah, hampir serupa kerja paksa.

Feri penuh penumpang yang memakai longyi, laki-laki dan perempuan. Namun tak satupun yang mirip Kyaw. Semilir angin sungai justru membuat aku makin terbuai memikirkan lelaki yang tumbuh dewasa di Kanada itu. Selama sekitar 15 menit menyeberangi sungai Yangon, Ray terus saja bercerita tentang kondisi ekonomi dan politik Myanmar. Sebagian besar sudah kudengar atau kubaca.

Sesampai di seberang sungai aku terkesima. Terminalnya selain lebih kecil juga sangat sederhana, mengingatkanku akan gudang atau direksi kit di proyek-proyek di Indonesia. Begitu keluar dari terminal, kupingku diserbu suara hiruk pikuk supir becak, tukang ojek, calo angkot dan supir taksi mencari penumpang. Pelataran luas – mungkin dimaksudkan sebagai tempat parkir – di luar terminal ini dipenuhi pedagang angkringan, becak, angkot, dan sepeda motor. Ya, di kawasan seberang sungai ini sepeda motor diperbolehkan. Semua kendaraan itu selain tua juga kotor, jelas-jelas tidak dirawat.

Orang-orang hilir mudik berlalu-lalang di antara timbunan barang dan aneka kendaraan. Ada tiga orang lelaki kurus – semuanya bermulut merah karena mengunyah pinang – mengendusku sebagai orang asing. Mungkin celana bermuda, kaus, dan sneakers-ku; mungkin kamera digital yang kutenteng dan tak henti-henti kujepretkan; mungkin caraku celingukan dan mataku yang menyapu orang-orang penuh rasa takjub.

Mereka mendekatiku, salah satunya mengatakan sesuatu pada Ray. Dari caranya berbicara ia tahu aku tidak bisa berbahasa Burma. Kulihat mata Ray melotot lalu mereka segera menjauh.
"Apa katanya?" tanyaku penasaran.
"Mereka mengajakmu ke rumah yatim tak jauh dari sini."
"Oh? Apakah hal semacam itu biasa terjadi?"
"Ya. Lihat." Ray menunjuk beberapa poster besar tertempel di tembok-tembok warung, katanya isinya memeringatkan orang agar mengawasi anak-anak mereka, jangan sampai diculik dan diperjualbelikan. Ada salah satu spanduk berbahasa Inggris 'Human trafficking is a crime against humanity!' dibentangkan di dekat pintu masuk terminal. "Mereka sering mengatakan rumah yatim, padahal bukan. Mereka itu anak-anak yang diperjualbelikan. Kebanyakan anak yang lahir karena ibunya diperkosa."

Aku sudah membaca dan mendengar hal ini, namun ketika melihat dan mendengar langsung, bulu-bulu tengkukku meremang.

"Saya juga anak tanpa bapak. Ibuku diperkosa di pengungsian." Ekspresi wajah Ray tidak berubah. Telingaku berdenging beberapa detik. Aku tak mendengar sebagian ceritanya. Ia bukan bercerita tentang ibunya yang diperkosa, namun tentang lelaki Bangladesh yang menolong ibunya, yang menjadikannya istri kedua.

Sinar matahari dengan rakusnya menjilati tubuhku. Bisa kurasakan seluruh permukaan kulitku basah oleh keringat. Ray cepat-cepat memanggil taksi lalu tawar-menawar dengan pengemudinya. Ia bersedia dibayar Kyat 8.000 untuk mengantar kami berputar-putar sekitar 1 jam. Bob mengingatkan agar kami harus sudah sampai di terminal sebelum pukul 4.

Taksi di sini jauh lebih buruk dari taksi di kota. Seperti mobil bobrok. Joknya mirip onggokan sofa rusak di tempat pembuangan sampah, penuh pasir dan baunya apek. Aku khawatir benda yang kami sewa itu akan mogok di jalan atau remuk saat melintasi jalanan yang penuh lubang.
Dalam perjalanan dari hotel ke terminal feri Bob mengatakan kawasan seberang sungai Yangon jauh berbeda dengan pusat kotanya. Istilah 'jauh berbeda' sungguh tidak tepat. Di seberang sungai Yangon ini tak ada jalanan rata. Hanya jalan utama saja yang beraspal, itupun berlubang-lubang.
Ray meminta pengemudi berbelok ke kiri, ke sebuah kampung. Jalanannya seperti kali asat - seperti sungai kering. Debu beterbangan dari tanah merah yang kerontang. Rumah-rumah kayu di kanan kiri jalan lebih mirip gubuk, menyerupai bedeng-bedeng di pinggiran kali di Jakarta; atau lebih buruk lagi. Sebagian besar rumah panggung. Lantainya kira-kira setinggi 60 cm dari muka tanah. Beratap rumbia, berdinding gedek dan sebagian besar jendelanya tanpa daun. Pemandangan yang sungguh kontras dengan hotel yang kutempati.

Jangan-jangan dulu keluarga Soe Phyu tinggal di salah satu rumah di kawasan ini, pikirku. Aku ingat cerita Kyaw tentang ibunya yang gila dan kini tak diketahui keberadaannya.

Aku hanya mengambil beberapa foto saja. Tidak tega melihat para penghuni rumah itu menatapku dengan pandangan kosong. Aku tak ingin berada di kawasan itu lebih lama lagi. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang berguna bagi masyarakat di tempat itu, aku merasa bersalah telah mengambil foto-foto mereka.

"Sudah cukup?" Bob bertanya, mengerlingkan mata kanan, tak terlihat ada sesuatu yang mengganggu perasaannya. Ketika kutanyakan pendapatnya tentang kondisi permukiman di situ ia menjawab dengan enteng. Katanya ia tidak begitu peduli dengan persoalan yang terjadi di negaranya.

"Sejak aku lahir tahun 1990 situasinya sudah seperti ini. Kadang-kadang ada demo dan protes. Kadang-kadang memakan korban, sesekali damai. Bukannya di semua negara kekerasan dan konflik semacam ini terjadi? Cuma beda tempat, beda waktu, beda pelaku, beda alasan. Tapi sama-sama kekerasan. Sejarah membuktikan, pertikaian, peperangan, saling bunuh, dan kekerasan itu sudah terjadi sejak jaman pra sejarah. Aku tidak terganggu." Ia mengangkat bahu. "Di Indonesia juga, kan?"

Ray mengatakan kalau anak-anak muda di Yangon, apalagi yang keluarganya berkecukupan, sama dengan anak-anak muda di kota-kota besar di dunia. Sebagian berprestasi dan peduli pada negaranya, sebagian belajar mati-matian demi mengejar sekolah dan karir di negara-negara kaya, sebagian sibuk dengan Facebook, Twitter dan berdandan meniru artis Korea dan Amerika.
Memang begitulah yang kusaksikan sendiri. Di kedai-kedai kopi kelas atas, di restoran-restoran mahal, di hotel-hotel dan pusat perbelanjaan, orang-orang yang tampak sejahtera mondar-mandir, datang dan pergi, tak terpengaruh apapun di sekelilingnya, apalagi konflik dan kekerasan yang terjadi di kawasan perbatasan.

Tak beda dengan diriku sendiri. Di Jogja aku jarang merasakan penderitaan warga Papua atau orang-orang yang tinggal di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia; bagaimana mahalnya bahan bakar dan barang-barang keperluan sehari-hari di sana. Pun aku sulit membayangkan beratnya hidup berhimpitan di bantaran kali. Sekedar menikmati acara TV dengan tenang mungkin tak bisa. Suaranya sabur limbur dengan TV atau adu mulut atau rengekan anak dan tangisan bayi tetangga.
Bila ingat hal itu, tak jarang aku ragu-ragu akan pekerjaanku: benarkah aku mengerti kebutuhan mereka; bisakah aku mewakili kemauan mereka; berhakkah aku bicara atas nama mereka?

Apa mau dikata, inilah wajah dunia. Kebanyakan orang hanya melakukan apa yang dibutuhkan dan diinginkan, tidak ada niat mencelakai orang. Namun banyak juga yang memelihara makhluk buas bernama keserakahan di dalam hatinya, terus menerus memberinya makan, apapun akan dilakukan demi menjaga agar si makhluk kenyang.

Orang yang hidup seperti kucing kampung, mengorek sampah sekedar untuk bisa makan, mungkin tak bisa merasakan bedanya tinggal di negara merdeka atau terjajah, negara demokrasi atau tirani. Kehidupan telah lebih dulu menjajahnya; hanya kematian yang akan memerdekakan mereka. Orang-orang seperti ini ada dimana-mana, tak hanya di Myanmar, juga di Indonesia.
Kuhisap nafas kuat-kuat dengan hidung, kurasakan partikel debu berlomba memasuki lubangnya, mengotori paru-paruku. Aku terbatuk-batuk.

Kami bertiga tidak banyak bicara dalam perjalanan kembali ke terminal feri. Bob dan Ray sama-sama tidak tahu pukul berapa feri terakhir membawa penumpang menuju kota.
"Ini belum pukul 4. Feri masih ada," hanya itu jawaban Bob.

Pemandangan yang baru saja kusaksikan menurunkan semangatku untuk berbicara. Pikiranku terasa buntu. Saat taksi berhenti kulihat kapal feri sudah hampir merapat. Kami harus cepat. Sekali lagi Ray berpesan bila aku perlu bantuan aku bisa menelponnya.
"Semua teman Kyaw Win adalah temanmu juga," katanya.

Kyaw, dimana kamu saat ini, tanyaku dalam hati. Dalam kerumunan orang yang antri hendak menaiki feri aku merasa sepi.

***


Anda sedang membaca artikel tentang

Lelaki Berlongyi Biru - 22

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/01/lelaki-berlongyi-biru-22.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Lelaki Berlongyi Biru - 22

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Lelaki Berlongyi Biru - 22

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger