Lelaki Berlongyi Biru - 15

Written By Unknown on Rabu, 09 Januari 2013 | 12.40

Cerber Endah Raharjo

Orang mendatangi mal-mal, mengelilinginya dengan takzim, untuk memuja benda-benda, menyerahkan segalanya demi memperoleh barang-barang itu. Amboi, Tuhan, manusia hanyalah satu dari isi alam raya, ada buruk ada baik, ada ujung ada pangkal, ada datang ada pergi, ada awal ada akhir, serupa siang dan malam, tak penat berkejaran, tak pernah bersilangan, saling melengkapi juga saling meniadakan.

"Bree." Kyaw menyentuh pundakku hati-hati. Aku tersadar dari ketepekuranku.
"Indah sekali."
"Sebentar lagi matahari tenggelam," ujarnya, menghadap ke barat. "Kamu lupa membawa kamera?"
"Oh!" Buru-buru kukeluarkan kamera dari ransel kecil. Kyaw membiarkanku mengambil foto sementara ia menyalakan lilin dan dupa untuk mengawali doa. Kuambil beberapa fotonya tengah khusyuk berdoa, bersimpuh bersama beberapa orang. Kulihat sesekali ia menyembah.
"Mau menyirami patung Budha?" Kyaw melihat salah satu patung Budha yang diletakkan di atas petilasan bulat berdiameter antara 1 sampai 1,5 meter, setinggi 1 meter. Tiap-tiap petilasan dikerumuni dua sampai enam orang. Kyaw menunjuk salah satu yang kosong, beberapa langkah ke kiri dari tempat kami berdiri.

"Apa boleh?"
"Tidak ada yang melarang," Kyaw tersenyum.

Kami melangkah melewati pagar setinggi sekitar 70 cm, pembatas plaza dengan deretan petilasan dan patung-patung budha kecil yang mengelilingi stupa utama. Di pagar itu pula ditata tempat-tempat lilin dan dupa.

"Apa aku boleh sekalian berwudlu?" tanyaku. Aku membawa mukena di ranselku, namun aku tidak tahu dimana bisa sembahyang maghrib.
"Ya?" Kyaw tidak paham. Lalu kujelaskan bahwa aku perlu sembahyang dan perlu bersuci dulu. "Oh? Mungkin bisa di sini, kalau tidak masalah buatmu."
"It's okay. I think." Aku mengangkat bahu. Pelan-pelan aku berwudlu, memakai air yang sama dengan yang dipakai Kyaw memandikan patung Budha. Ekor mataku melihat dua orang wisatawan kulit putih mengamatiku, lalu mengambil fotoku. Kyaw juga mengikuti setiap gerakanku.
"So, you're clean now?"
"Ya. Bisakah kita cari tempat yang agak sepi?"
"Tempat seperti apa yang kamu perlukan?"
"Di mana saja, yang penting bersih. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian. Aku harus memakai ini," kutunjukkan mukenaku. "Apa dilarang?"
"Kupikir tidak akan ada yang melarang. Ikuti aku," Kyaw berjalan ke kiri, menjauh dari stupa dan deretan patung-patung Budha. Kami menemukan tempat yang cukup sepi, di balik salah satu bangunan tempat orang duduk-duduk. "Di sini bisa?"
"Ya, Terima kasih. Kamu akan mengawasi di sini?"
"Tentu saja." Kyaw lalu duduk bersila. Meskipun aku tidak melihat, aku tahu ia mengamatiku dengan takjub, mulai dari saat aku menggelar sajadah, mengenakan mukena yang bisa dilipat jadi buntalan cantik mungil itu, melakukan takbir pertamaku, hingga mengucap salam.
"Wow! It's a privilege to see you doing your prayer," ucapnya setelah aku melepas mukenaku.
"Terima kasih sudah mengijinkanku berdoa di pagodamu."
"That's an interesting attire. May I touch it?"

Mukena itu kuberikan padanya. "Kami memakai ini kalau sedang di perjalanan. Praktis. Aku punya banyak mukena semacam ini. Ada yang dari sutera dengan hiasan bordir, biasanya kupakai saat hari raya," lalu kujelaskan perkara mukena itu sambil melipat sajadah. Ia mengucapkan 'mukena' dengan fasih.

Sebelumnya aku tak pernah mengulurkan tanganku pada lelaki selain Papa dan tiga kakakku. Namun untuk kedua kalinya aku melakukannya pada Kyaw, dan ia menyambut begitu saja, sepertinya memang itulah yang seharusnya kami lakukan.

Tangannya menggenggam tanganku. Bahagia itu mungkin semacam yang tengah aku rasakan ini: ringan namun penuh terisi, manis, damai, dan hangat.

Kami berjalan lambat-lambat mengelilingi pagoda, searah jarum jam, seperti semua pengunjung lainnya. Setelah beberapa meter tanganku kutarik pelan-pelan lepas dari tangannya. Aku ingat pernah membaca artikel yang menyatakan kalau laki-laki dan perempuan Myanmar jarang menunjukkan kemesraan di muka umum, terlebih di kompleks pagoda. Yang kami lakukan – aku sebanarnya merasa tidak berhak mewakili isi pikiran Kyaw – adalah naluri spontan. Kyaw mungkin tidak lagi sensitif terhadap hal-hal semacam itu, ia lama tinggal di Vancouver, Kanada.


Anda sedang membaca artikel tentang

Lelaki Berlongyi Biru - 15

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2013/01/lelaki-berlongyi-biru-15.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Lelaki Berlongyi Biru - 15

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Lelaki Berlongyi Biru - 15

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger