Sebuah Perjumpaan

Written By Unknown on Senin, 03 Desember 2012 | 12.40

Cerpen Iwan Setiawan

Aku punya seorang teman,  sebut saja namanya Ridho yang memiliki sejuta mimpi dalam kepalanya. Namun ia merasa tidak satupun yang benar-benar berhasil ia keluarkan dari benda yang  hanya sedikit lebih besar dari  kelapa itu. . Ketika usia kami masih sama-sama 20an, bisa jadi hal ini bukan masalah. Namun kini,telah mencapai kepala 4, ia mulai gelisah.

Ketika usia kami masih sama-sama belasan, ketika teman-teman sebaya kami bergabung dengan kelompok pecinta alam, tim basket atau grup musik, Ridho malah merintis sebuah ekstrakurikuler baru di sekolah. RPK atau Remaja Peduli Kebersihan.

Pagi-pagi sekali, dia telah mengajak saya menempelkan dan membagikan selebaran kepada teman-teman satu sekolah.Sekolah kami memang membuka kesempatan untuk membentuk sendiri ekstrakurikuler,mendapat dana dari sekolah dan menggunakan ruangan untuk berkumpul, asal berhasil menarik pelajar lain menjadi anggota,sekurang-kurangnya 50 prlajar . Sebagai teman dekat, sayalah anggota pertama yang ikut. Dipaksa ikut,tepatnya.

Selain membagikan dan mempelkan selebaran yang menjelaskan mengenai RPK, Ridho juga seringkali secara acak keluar masuk kelas, memin ta ijin untuk memberikan penjelasan mengenai apa itu RPK.

"Dengan mengikuti kegiatan ini, kita akan belajar bagaimana menanggulangi masalah sampah,banjir dan tentu saja bermuara pada terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat untuk semua.Mengenai bagaimana cara bergabung dan apa saja aktivitas RPK,teman saya, Indra, akan membagikan selebaran," Ridho melirik kepada saya yang semula malas masuk ke dalam kelas, menyaksikan ia bicara dari jendela.Namun karena ia melirik dan menyebut nama saya,maka seisi kelas mengarahkan pandangan kepada saya.saya pun tersenyum dan membagikan selebaran kepada semua  pelaar dalam kelas itu.

Perlahan tapi pasti, mulai terkumpul dan hanya butuh waktu seminggi, terbentuklah ekstrakurikuler aneh di waktu itu, dengan ridho sebagai ketua dan saya sebagai wakil. Walau awalnya dipandang aneh dan dianggap remeh, karena dibanding menjadi tim  basket yang membuka peluang ditaksir cewek-cewek cakep, menjadi pemulung sampah kertas jelas sangat tidak menarik .Namun bukan Ridho namanya kalau mudah menyerah.Kertas yang dikumpulkan, lalu didaur ulang,lalu dari kertas hasil daur ulang, Ridho membuat produk-produk yang unik dan tidak ada di took buku mana pun.  Jangan tanya ,darimana Ridho dapat semua pengetahuan itu.  Akupun, sebagai teman dekatnya hanya bengong, ketika bertanya, dann Ridho menjawab, "Makanya baca."

Hingga kami meninggalkan sekolah Menangah tersebut, RPK terus berjalan dan ternyata cuku mampu bersaing dengan tim basket dan anak band dalam meraih popularitas dianatara pelajar.Lebih dari itu, mereka member citra baik terhadap sekolah sekaligus penghasilan tambahan buat siapa saja yang bergabung di dalamnya.

Kami sama-sama meneruskan ke universitas yang sama dan mengambil fakultas dan jurusan yang sama. Jangan tanya sekarang, kenapa aku dan dia selalu bersama. Nanti aku jelaskan. Sekarang aku mau jelaskan hal gila lain yang dilakukan Ridho. Ketika menjelang akhir masa kuliah,  sebagai mahasiswa Komunikasi yang mengambil jurusan jurnalistik, kami diharuskan magang di sebua media. Namun bukan Ridho namanya kalau tidak mengambil langkah yang beda.

"Bagaimana jika saya membuat media untuk kampus ini? Sebuah tabloid internal kampus, yang selain member informas seputar kampus juga menjadi lahan ekspresi setap mahasiswa " katanya di hadapan ketua jurusan. "tokh tujuan dari magang adalah bekerja di media. Dengan menerbitkan media kampus, saya justru bukan saja belajar bekerja,tapi mendirikan," tambahnya.

Entah sihir apa yang ia punya, ia pun diizinkan.  Dan lagi-lagi saya menjadi reporter, sekretaris sekaligus pencari iklan untuk  kemudian diberi nama Matahari itu. Karena matahari itu, kami lulus dengan predikat terbaik.

Namun seusai kuliah ini juga yang membuat kami berpisah.  Kerusuhan 1998, ia memilih bergabung dengan para aktivis, tinggal di kampus dan berkejaran dengan aparat. Ia bukan sekedar aktivis,  dengan pengalaman yang ia miliki, ia menerbbitkan media, yang kemudian membuat ia makin dikejar-kejar karena dianggap menyebarkan provokasi.

"Saat ini Negara membutuhkan kita. Selama bertahun-tahun kita kuliah dengan biaya murah,karena mendapat subsidi uang rakyat. Kini Rakyat membutuhkan kita, kita harus gunakan yang kita miliki untuk memberikan yang terbaik pada rakyat," katanya  suatu ketika di rumah temannya, yang dijadikan sarang aktivis.

Entah sihirnya yang telah kehilangan kekuatan atau memang aku telah memakan ramuan ajaib, sehingga kali ini semua manteranya tidak lagi mampu mempengaruhi aku. Tanpa kata, aku mambalikkan badan, meninggalkan Ridho.

"Indra, aku hanya meminta kamu sekali ini saja.Berbuatlah sekarang atau kamu akan menyesal."
Aku mendengar, tapi tak lagi bermakna. Aku berjalan terus meninggalkan dia.

Kini, setelah hampir 15 tahun, semua sudah berubah. Negara tak lagi dalam keadaan terancam. Pemimpin yang waktu itu katanya otoriter dan kejam, kini telah berganti. Menjadi seorang peragu dan rajin mencipta lagu.  Aku pun kini telah bekerja  sebagai Presiden Direktur dari sebuah perusahaan media, yang seluruh sahamnya dimiliki seorang politisi, pemimpin partai yang memenangkan Pemilu.

Kemana Ridho ?

Ia dihadapanku.
Mengenakan kaos lengan panjang warna hitam bergambar tintin, kacamata tipis bulat ala Jhon Lenon dan rambutnya, yang sungguh mengagetkan, panjang hingga menyentuh pinggang. Entah telah berapa lama tak berkenalan dengan shampoo, tampak berkilat karena minyak dan warna leperakan lebih mendominasi. Kumis dan jenggot juga tumbuh liar.Aku nyaris tak mengenalinya.

"Akhirnya…" aku tersenyum lebar  sambil menyodorkan segelas kopi ke dekatnya.
"Kamu tahu, tidak pernah ada kata akhir buatku," tetap saja kemampuannya berkata-kata tak lagi hilang.
"Apa kabar?" kataku, tak maksud berbasa-basi. Aku benar-benar ingin tahu, apa kabarnya selama ini .selama 15 tahun.
"Aku mau nyari kerja, apa ada kerjaan untukku," katanya pelan dan mengakhiri kalimatnya dengan melepas napas, seperti melepas beban.
"Kamu? Mencari kerja?" saya menyeruput the hangat yang sejak tadi aku genggam guna menghangatkan tanganku.
"Sudahlah, aku tidak butuh belas kasihan . Kamu tahu aku punya kemampuan, akan bekerja untuk kamu," katanya kali ini dengan tatap mata yang nanar.
"Aku paham aku percaya, kamu bisa kerja. Tapi ke mana Ridho yang dulu?"
"Dia masih ada. Kini anak dan istrinya membutuhkan."

Aku tersenyum mendengar jawaban itu.
"Kalau masih ada, artinya  belum menyerah?"
"Entahlah. Aku kini justru sedang memunguti dan mencari kehidupanku yang pernah terlewatkan. Punya istri, bermain dengan anak dan menyaksikan semua keruwetan dunia, cukup melalui televisi Mungkin ini yang aku butuhkan sekarang."

Aku mengacungkan cangkir teh ku, begitu juga Ridho. Cangkir kami beradu, hingga menimbulkan bunyi. Dan kami tersenyum bersama. Dalam hati, aku tak tahu harus menangis atau tertawa.


Anda sedang membaca artikel tentang

Sebuah Perjumpaan

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2012/12/sebuah-perjumpaan.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Sebuah Perjumpaan

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Sebuah Perjumpaan

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger