Republik Seni Lukis Batuan

Written By Unknown on Senin, 24 Desember 2012 | 12.40

Oleh Wayan Kun Adnyana

Batuan, sebuah desa internasional, ruang di mana arus konsumsi modern bercampur luruh dengan cecap tradisi pedesaan. Tidak berapa jauh di selatan, ada pasar seni Sukawati, tempat aneka barang kerajinan dan suvenir dijajakan. Begitu pula di utara, ada barisan art shop dan galeri seni, membentang sampai ke Desa Mas, hingga Ubud.

Di balik alur jalan raya berpintu gerai dan toko seni itu, berliku jalan sempit saling menyapa; nyaris setiap pekarangan rumah berarsitektur Bali, dengan pola bagi ruang berdasar tutur leluhur. Tembok pekarangan tidak memotong pandang, malah memperindah wajah pedesaan dengan beragam ritual dan aktivitas seni. Sangat banyak seniman hebat lahir dari ruang-ruang bersahaja ini.

Sejak antropolog Gregory Bateson dan Margaret Mead mengeja laku kreatif pelukis Batuan di tahun 1936-1938, dalam tulisannya tentang psikologis manusia Bali, dan juga mulai mengoleksi karya seni lukis berkarakter magis ini, gelombang apresiasi tak pelak mulai menelisik riwayat tangan terampil desa ini. Sebelumnya pelukis I Ngendon dan I Patera telah bergaul dalam praktik seni lukis Ubud, yang ketika itu tengah berlangsung arena baru melibatkan pelukis negeri manca: Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Bahkan pelukis I Made Djata dipilih sebagai guru pada lembaga Pita Maha (1936-1942); lembaga seni rupa beranggotakan 125-an pelukis, pematung, dan perajin dari desa seputaran Ubud, Mas, Nyuh Kuning, Pengosekan, Batuan, Denpasar, dan juga Kamasan. Seiring publisitas Pita Maha yang menggema, beberapa pelukis berbakat dari Batuan juga terangkat, seperti Ida Bagus Widja, Ida Bagus Made Jatasura, Dewa Kompiang Kandel Ruka, Ida Bagus Ketut Togog, dan lain-lain.

Sesungguhnya yang menarik dalam sirkuit kreatif pelukis pedesaan Bali adalah menjadikan keluarga dan lingkungan desa sebagai republik seni yang merdeka; setiap pelukis senior yang telah diakui namanya, berserah untuk berbagi bakat dan ilmu pada garis keluarga dan lingkungan desa. Kehadiran mereka menjadi pertanggungjawaban publik; galib ketokohan yang lahir dari rahim masyarakat. Di sinilah kecakapan pribadi yang melembaga dan berbau wangi menjadi spora penyubur bakat generatif yang terpendam, seakan membangun daya tanding dengan desa lain. Sebagaimana dari I Ngendon lahir guru berwibawa seperti I Ketut Tombelos, I Ketut Kicen, I Wayan Taweng, dan lain-lain, kemudian mewariskan kepada murid-murid yang dalam dua dasawarsa belakangan begitu populer, sebut I Made Budi, I Wayan Bendi, maupun I Ketut Sadia.

Sistem pewarisan ini, dengan penuh pesona diwartakan film dokumenter produksi National Geografic, Bali Masterpiece of The Gods, (1990), produser Tim Kelly dan Thomas Skinner. Film ini meliput secara cermat bagaimana garis generasi seni Batuan tumbuh, diwakili seorang tokoh serba bisa, I Wayan Kantor, beserta anak-anaknya, yang selain piawai menari topeng juga gambuh dari didikan sang ayah, I Wayan Kakul, juga biasa melukis. Begitu pula, mereka hidup dalam alur lingkaran prosesi ritual dan praktik agraris. Pun menjadi bagian kegelisahan masyarakat desa yang semakin dikepung arus turisme.

Arena yang meluas

Sebuah pameran besar seni lukis Batuan, bertajuk sama dengan buku karya Bruce Granquist yang diluncurkan pada saat pembukaan yakni, Inventing Art The Paintings of Batuan Bali di Agung Rai Museum of Arts (ARMA), Ubud, berlangsung Sabtu (15/12) hingga 15 Januari 2013, menawarkan temuan kembali Batuan yang hidup dalam arena republik kreatif pedesaan. Batuan yang semakin dikepung pariwisata, juga ingar-bingar laku konsumsi kota, tetap menyisakan kemerdekaan untuk bersama menggurat garis sakti warisan tetua, dan juga menawarkan kecakapan pribadi.

I Made Cekeg, Gde Widyatara, Wayan Eka Mahardika, Made Griyawan, dan lain-lain, adalah bagian dari nama-nama baru pelukis Batuan yang mengetengahkan tema karya penuh daya kritisisme; menoreh batas kekaguman sekaligus riwayat penuh tanya dan selidik; mewarta tanpa kehilangan selera tertawa. Menjadi berbeda dengan seni lukis Batuan di era 1930-an yang membentang kisah penuh citra magis dan seram, kini semakin riang penuh warna.

Sebagai catatan, meskipun daulat estetika kolektif menjadi karakter jualan dalam republik seni lukis Batuan, sudah semestinya pribadi-pribadi pelukis tetap mengejar genial bahasa visual dan konsep ungkap. Tidak bisa dipungkiri memang, bahwa daya pukau dari artistik seni lukis Bali yang njelimet, rumit, memenuhi bidang gambar, tetap memesona khalayak pencinta seni. Namun, pergulatan kreativitas baru hendaknya selalu menggema dalam arena yang lebih luas, yang membutuhkan daya magis anyar untuk selalu memenangi pertarungan. Kabar gembira, sejak medio 1990-an, karya Wayan Bendi misalnya, telah disama kasta dan derajat dengan karya-karya kontemporer Asia pada umumnya. Semestinya banyak generasi kini desa Batuan berkompetisi mencari hal baru sambil mempertanyakan yang mapan. Semoga Komunitas Pelukis Baturulangun Batuan yang kini mewadahi praktik seni pelukis Batuan eksis sebagai arena pergulatan kreatif.

Wayan Kun Adnyana, Mahasiswa Program Doktor Pengkajian Seni Rupa ISI Yogyakarta.


Anda sedang membaca artikel tentang

Republik Seni Lukis Batuan

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2012/12/republik-seni-lukis-batuan.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Republik Seni Lukis Batuan

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Republik Seni Lukis Batuan

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger