Lelaki Berlongyi Biru - 7

Written By Unknown on Jumat, 21 Desember 2012 | 12.40

Cerber Endah Raharjo

Bagian 5


Longyi berlatar hitam bermotif garis-garis hijau di ujung bawah yang dikenakan Thiri membuatku iri. Aku harus membeli yang semacam itu untuk kubawa pulang ke Jogja, seruku dalam hati. Aku harus mengajaknya ke pasar akhir pekan nanti.
"Bree?" Thiri memiringkan kepala ke kiri, mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya mencoba mencari-cari mataku yang mengagumi longyinya. "Ada yang bisa kubantu?" ia duduk sambil berkecak pinggang. Perempuan tengah baya bertubuh ramping ini memang lucu. Sejak kemarin kuperhatikan ia suka sekali menggunakan bahasa tubuh untuk menunjukkan pikirannya.
"Longyimu cantik sekali."
"Aaah. Ini di pasar Bogyoke banyaaak. Muraaah." Tawanya menghidupkan ruangan yang masih sepi.
Sekilas tadi kulihat Stephanie sudah duduk di depan laptopnya. Yan Naing sudah tak terlihat di meja bundar. Kantor forum LSM ini baru mulai sibuk sekitar pukul 10. Kira-kira 15 menit lagi aku akan rapat dengan Nanda dan tiga wakil LSM yang bergabung di forum ini, yang bertanggungjawab untuk urusan advokasi.
"Kyaw memintaku menemuimu," aku duduk di kursi di depan mejanya.
"Ya. Uang saku dan dana kegiatanmu sudah kami terima."
"Dana kegiatanku?"
"Ya. The White Dove memberimu dana kegiatan juga. Kamu tidak tahu?"
Aku menggeleng. "Untuk apa? Bukannya semua sudah dibiayai forum? Lagi pula aku tidak akan membuat kegiatan sendiri."
"Kamu tidak menerima ini?" Thiri membuka map hijau, mengeluarkan dokumen tipis, seperti sebuah surat dengan beberapa lembar lampiran. "Kemarin sudah kutaruh di atas mejamu."
"Itu bukan haknya!" Suara ketus kudengar dari belakangku. Suara Soe Phyu. "Itu hak lembaga. Dia tidak berhak mengelola dana."
Aku menengok cepat, seperti ada sesuatu menyengat leherku dari belakang.
"Tidak begitu. Aku tahu pasti, Bree berhak mengelola dana itu untuk kegiatannya, bukan..."
"Dia cuma diperbantukan. Lagi pula dia tahu apa? Bahasa Burma saja dia tidak bisa."
Ada sesuatu, entah apa, mungkin rasa dengki, yang membuat tatapannya serupa malam, gelap dan mengancam. Kakiku seperti terpaku, jantungku berdebar-debar. Aku tidak bisa memutuskan antara membela diri atau menunggu Thiri bicara atas namaku.
"Kita perlu dia. Kita yang mengajukan bantuan dan mereka berbaik hati mengirimnya ke sini.  Kita sama sekali tidak keluar biaya. Kecuali uang sakunya, dia tidak tahu kalau ada dana lain. Tapi aku wajib memberi tahu. Bisa saja dana itu ia serahkan untuk dikelola forum atau dia akan merancang sendiri penggunannya. Terserah dia."

Soe Phyu menjawab Thiri dengan bahasa Burma. Mereka beradu mulut tentang diriku, dengan bahasa yang tak kumengerti, seolah aku tidak ada di dekat mereka.
"Jadi kamu yang mengambil dokumen itu dari mejanya." Thiri kembali berbahasa Inggris.
Namun Soe Phyu tetap menjawab dengan bahasa Burma. Ia sengaja mempermalukanku, membuatku jadi cecunguk. Suara mereka makin keras. Aku yakin semua yang ada di kantor bisa mendengar, termasuk Stephanie dan Nanda yang tadi kulihat masuk ke ruang rapat. Aku seharusnya bergabung dengan mereka.
"Cukup!" Kyaw keluar dari ruangannya. "Kalian mempertengkarkan sesuatu yang tidak penting."
Soe Phyu membantah dalam bahasa Burma. Matanya mencereng di balik kacamatanya.
"English, please! Respect yourself by respecting others! Do you want to be treated the way you're treating her?"
"Oh! Sekarang kamu membela orang asing!"
"Ini bukan urusan bela-membela. Ini urusan Thiri memberi tahu Bree kalau ada dana yang bisa dipakai untuk kegiatannya. Tapi kamu mencampuri urusan mereka."
"Aku punya hak untuk tahu semua urusan forum. Aku tidak setuju orang asing mendapat hak mengelola dana."
"Ini bukan uang kita. Ini uang The White Dove yang dititipkan kita untuk kegiatan Bree."
"Bree! You named her as if she's your pet!" Soe Phyu mencibir ke arahku, matanya setajam belati, mengoyak harga diriku. "Bree atau Labya?" Lelaki kurus itu mengangkat tinggi dagunya, nafasnya memburu, dua lengannya sedikit membuka, seakan siap menerkam Kyaw.
Aku tidak tahu apa itu 'labya' yang diucapkan Soe Phyu dengan sinis. Suasana hening. Dengan ekor mata kulihat Stephanie membuka pintu ruang rapat, menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu.
"Kamu keluar, atau aku?" Suara Kyaw rendah, sangat rendah hingga menyerupai geraman. Ia memang menggeram, seperti binatang terluka.
Soe Phyu menuding Kyaw tanpa kata-kata, mengibaskan longyi coklatnya, kemudian bergegas pergi. Diriku seakan keluar dari tubuhku, melayang-layang. Selama hidup aku belum pernah berada dalam situasi semacam ini. Dijadikan obyek perdebatan seolah aku tak ada. Aku kesulitan kembali memasuki ragaku, sampai Thiri menyentuh pundakku.
"Duduk, Bree," katanya, menarik kursi. Aku menuruti kata-katanya.
"Jelaskan pada Bree semua yang ia perlu tahu." Kyaw memandangku dan Thiri bergantian. "Maaf, Bree. Seharusnya ini tidak terjadi. Ini salahku." Ia berbalik, melangkah ke luar. "Kalian rapat tanpa aku. Aku butuh udara segar," katanya melewati Stephanie. 

Aku membeku seperti manekin, lidahku lengket di dalam mulut, namun mataku masih bisa berkedip- kedip, memandang punggung lelaki itu. Aku merasa terkucil, tidak berarti, disepelekan. Mungkin seperti inilah perasaan seorang ibu tiri. Aku pernah melihat staf LSM di Jogja bersikap sinis terhadap relawan ahli yang diperbantukan dalam programnya. Ia juga berulah mirip Soe Phyu. Ia merasa lebih berpengalaman dan lebih mengenal berbagai situasi di wilayah kerjanya; merasa lebih berhak atas semua urusan di dalam lembaganya.

Ia tak ingin otoritasnya diganggu orang asing yang tiba-tiba datang – dari awang-awang – membawa segala macam ilmu dari tempat lain; bersikap seakan serba tahu.
Aku merasa tidak bersikap sok jago di kandang orang seperti itu. Atau jangan-jangan tanpa kusadari aku memang demikian? Siapa yang bisa melihat kurap di hidung sendiri? Aku harus mencari cermin.

Harus kutanyakan pada seseorang di sini kalau-kalau aku telah berlaku arogan sejak pertama datang, sampai-sampai ada yang merasa terganggu.
"Bree." Thiri mengusap-usap tangan kananku yang terkulai di atas mejanya, "kamu baik-baik saja?"

Suaranya khawatir.
"Ya. Tidak apa-apa," kataku, mencoba mengumpulkan diriku ke dalam ragaku. "Katakan, Thiri, apakah aku telah berbuat keliru? Jujurlah. Aku tidak ingin menjadi semacam kerikil dalam sepatu."
"Soe Phyu memang keras dan sedikit tinggi hati. Dia selalu bersikap begitu terhadap orang asing.

Stephanie juga pernah merasakannya. Soe Phyu beranggapan orang asing tidak mengerti persoalan kami, tidak berhak ikut campur urusan kami. Kamu sabar saja. Nanti lama-lama dia berubah kalau sudah melihat hasil kerjamu."
"Aku tidak akan lama di sini. Hanya tiga minggu." 
"Kalau begitu, tak perlu buang waktu membahas soal ini. Mereka sudah menunggumu," Thiri menoleh ke arah Stephanie. Perempuan Inggris itu masih menyenderkan tubuhnya ke kusen pintu, matanya tak berkedip memandangku. Nanda tetap duduk di ruang rapat, hanya bagian atas kepalanya saja yang bisa kulihat. Aku yakin Yan Naing dan entah siapa lagi yang berada di dalam kantor pasti mendengar dan elihat drama yang tak selesai itu.
"Bree?" Thiri mengguncang lenganku.
"Ya. Kita bicarakan nanti saja."
"Akan kubuatkan kopinya." Thiri menepuk-nepuk dokumen keuangan yang tadi hendak ia tunjukkan adaku, yang salinannya ternyata diambil Soe Phyu dari atas mejaku.
"Oke. Ce-zu naw," kataku. Thiri tersenyum indah sekali, berusaha membuatku tenang. Perempuan itu idak hanya piawai memilih longyi, ia juga pintar membuat orang merasa nyaman.
"Longyimu. Kamu harus mengantarku membeli yang seperti itu." Sekali lagi kupuji longyinya, untuk encairkan suasana.
Aku memasuki ruang rapat bersamaan dengan masuknya tiga orang wakil LSM anggota forum. Untung ereka sedikit terlambat, kalau tidak, penonton drama satu babak tadi pasti bertambah banyak.

***


Anda sedang membaca artikel tentang

Lelaki Berlongyi Biru - 7

Dengan url

http://oaseseo.blogspot.com/2012/12/lelaki-berlongyi-biru-7.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Lelaki Berlongyi Biru - 7

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Lelaki Berlongyi Biru - 7

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger